Jumat, 27 Maret 2009
KELUARGA SEMUT
Pukul 22.30 WIB, huh ... lelahnya aku seharian menyelesaikan pekerjaan
Kantor yang tak habis-habisnya. Kurebahkan tubuhku di lantai depan
televisi,
sementara kubiarkan TV menyala untuk tetap menjaga agar aku tidak
terlelap.
Suhu yang sedikit panas memaksaku membuka kemeja dan membiarkan kulitku
bersentuhan dengan sejuknya lantai.
"aaauww ... brengsek!" gumamku Segera kutepis sesuatu yang menggigit
lenganku
hingga ia terjatuh di lantai, ternyata seekor semut hitam.
"Kurang ajar! Apa ia tidak mengerti kepalaku begitu penat dan tubuhku ini
seperti mau hancur? Apa ia juga tidak tahu kalau aku sedang beristirahat?"
pikirku seraya kembali merebahkan tubuhku.
Tapi, belum sampai seluruh tubuh ini jatuh menempel lantai, "addduuhhh!"
Lagi-lagi semut kecil itu menggigitku. Kali ini punggungku yang digigitnya
dan
gigitannya pun lebih sakit. "heeeh, berani sekali makhluk kecil ini,"
gerutuku
kesal.
Ingin rasanya kulayangkan tapak tangan ini untuk membuatnya mati tak
berkutik
'mejret' di lantai. Namun sebelum tanganku melayang, ia justru sudah
mengacung-acungkan kepalan tangannya seperti menantangku bertinju.
Kuturunkan
kembali tanganku yang sudah berancang-ancang dengan jurus 'tepokan maut',
kuurungkan niatku untuk menghajarnya karena kulihat mulutnya yang
komat-kamit
seolah mengatakan sesuatu kepadaku. Awalnya aku tidak mengerti apa yang
diucapkannya, tapi lama kelamaan aku seperti memahami apa yang
diucapkannya.
"Hey makhluk besar, anda menghalangi jalan saya! Apa anda tidak lihat saya
sedang membawa makanan ini untuk keluarga saya di rumah ..." Rupanya ia
begitu
marah karena aku menghambat perjalanannya, lebih-lebih sewaktu punggungku
menindihnya sehingga ia harus terpaksa menggigitku.
Akhirnya kupersilahkan ia melanjutkan perjalanannya setelah sebelumnya aku
meminta maaf kepadanya. Susah payah ia membawa sisa-sisa roti bekas
sarapanku
pagi tadi yang belum sempat kubersihkan dari meja makan. Kadang oleng ke
kanan
kadang ke kiri, sesekali ia berhenti meletakkan barang bawaannya sekedar
mengumpulkan tenaganya sembari membasuh peluhnya yang mulai membasahi
tubuh
hitamnya.
Kuikuti terus kemana ia pergi. Ingin tahu aku di pojok mana ia tinggal
dari
bagian rumahku ini. Ingin kutawarkan bantuan untuk membantunya membawakan
makanan itu ke rumahnya, tapi aku yakin ia pasti menolaknya. Berhentilah
ia di
sebuah sudut di samping lemari es sebelah dapur. Di depan sebuah lubang
kecil
yang menganga, ia letakkan bawaannya itu dan kulihat seolah ia sedang
memanggil-manggil semut-semut di dalam lubang itu. Satu, dua, tiga ....
empat
dan .... lima semut-semut yang tubuhnya lebih kecil dari semut yang
membawa
makanan itu berlarian keluar rumah menyambut dengan sukaria makanan yang
dibawa
semut pertama itu. Dan, eh ... satu lagi semut yang besarnya sama dengan
pembawa roti keluar dari lubang. Dengan senyumnya yang manis ia mendekati
si
pembawa roti, menciumnya, memeluknya dan membasuh keringat yang sudah
membasahi
seluruh tubuh semut pembawa makanan itu.
Hmmm ... menurutku, si pembawa roti itu adalah kepala keluarga dari
semut-semut
yang berada di dalam lubang tersebut. Kelima semut-semut yang lebih kecil
adalah anak-anaknya sementara satu semut lagi adalah istri si pembawa
roti, itu
terlihat dari perutnya yang agak buncit. "Mungkin ia sedang mengandung
anak ke
enamnya" pikirku.
Semut suami yang sabar, ikhlas berjuang, gigih mencari nafkah dan penuh
kasih
sayang. Semut istri tawadhu' dan qonaah menerima apa adanya dengan penuh
senyum
setiap rizki yang dibawa oleh sang suami, juga ibu yang selalu memberikan
pengertian dan mengajarkan anak-anak mereka dalam mensyukuri nikmat
Tuhannya.
Dan, anak-anak semut itu, subhanallah ... mereka begitu pandai berterima
kasih
dan menghargai pemberian ayah mereka meski sedikit. Sungguh suami yang
dibanggakan, sungguh istri yang membanggakan dan sungguh anak-anak yang
membuat
ayah ibunya bangga.
Astaghfirullah ..., tiba-tiba tubuhku menggigil, lemas seperti tiada daya
dan
brukkk .... aku tersungkur. Kuciumi jalan-jalan yang pernah dilalui
semut-semut
itu hingga menetes beberapa titik air mataku. Teringat semua di mataku
ribuan
wajah semut-semut yang pernah aku hajar 'mejret' hingga mati berkalang
lantai
ketika mereka mencuri makananku. Padahal, mereka hanya mengambil sisa-sisa
makanan, padahal yang mereka ambil juga merupakan hak mereka atas rizki
yang
aku terima.
Air mataku makin deras mengalir membasahi pipi, semakin terbayang
tangisan-tangisan anak-anak dan istri semut-semut itu yang tengah menanti
ayah
dan suami mereka, namun yang mereka dapatkan bukan makanan melainkan
justru
seonggok jenazah.
Ya, Allah ... keluarga semut itu telah mengajarkan kepadaku tentang
perjuangan
hidup, tentang kesabaran, tentang harga diri yang harus dipertahankan
ketika
terusik, tentang bagaimana mencintai keluarga dan dicintai mereka. Mereka
ajari
aku caranya mensyukuri nikmat Tuhan, tentang bagaimana perlunya ikhlas,
sabar,
tawadhu' dan qonaah dalam hidup.
Hari-hari selanjutnya, ketika hendak merebahkan tubuh di lantai di bagian
manapun rumahku aku selalu memperhatikan apakah aku menghambat dan
menghalangi
langkah atau jalan makhluk lainnya untuk mendapatkan rizki. Ingin rasanya
aku
hantarkan sepotong makanan setiap tiga kali sehari ke lubang-lubang tempat
tinggal semut-semut itu. Tapi kupikir, lebih baik aku memberinya jalan atau
bahkan mempermudahnya agar ia dapat memperoleh dengan keringatnya sendiri
rizki
tersebut, karena itu jauh lebih baik bagi mereka. Wallahu a'lam bishshowab
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar