Senin, 30 Maret 2009

Dongeng untuk Anak

TIMUN MAS Mbok Sirni namanya, ia seorang janda yang menginginkan seorang anak agar dapat membantunya bekerja. Suatu hari ia didatangi oleh raksasa yang ingin memberi seorang anak dengan syarat apabila anak itu berusia enam tahun harus diserahkan keraksasa itu untuk disantap. Mbok Sirnipun setuju. Raksasa memberinya biji mentimun agar ditanam dan dirawat setelah dua minggu diantara buah ketimun yang ditanamnya ada satu yang paling besar dan berkilau seperti emas. Kemudian Mbok Sirni membelah buah itu dengan hati-hati. Ternyata isinya seorang bayi cantik yang diberi nama timun emas. Semakin hari timun emas tumbuh menjadi gadis jelita. Suatu hari datanglah raksasa untuk menagih janji Mbok sirni amat takut kehilangan timun emas, dia mengulur janji agar raksasa datang 2 tahun lagi, karena semakin dewasa,semakin enak untuk disantap, raksasa pun setuju. Mbok Sirnipun semakin sayang pada timun emas, setiap kali ia teringat akan janinya hatinyapun menjadi cemas dan sedih. Suatu malam mbok sirni bermimpi, agar anaknya selamat ia harus menemui petapa di Gunung Gundul. Paginya ia langsung pergi. Di Gunung Gundul ia bertemu seorang petapa yang memberinya 4 buah bungkusan kecil, yaitu biji mentimun, jarum, garam,dan terasi sebagai penangkal. Sesampainya dirumah diberikannya 4 bungkusan tadi kepada timun emas, dan disuruhnya timun emas berdoa. Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. Timun emaspun disuruh keluar lewat pintu belakang untuk Mbok sirni. Raksasapun mengejarnya. Timun emaspun teringat akan bungkusannya, maka ditebarnya biji mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun memakannya tapi buah timun itu malah menambah tenaga raksasa. Lalu timun emas menaburkan jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon banbu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah raksasa terus mengejar. Timun emaspun membuka bingkisan garam dan ditaburkannya. Seketika hutanpun menjadi lautan luas. Dengan kesakitannya raksasa dapat melewati. Yang terakhit Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, akhirnya raksasapun mati. " Terimakasih Tuhan, Engkau telah melindungi hambamu ini " Timun Emas mengucap syukur. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sirni hidup bahagia dan damai. BATU RAJA Pada zaman dahulu kala, ada seorang Raja di negeri Antah Berantah bersifat sangat baik hati. Rakyat sangat menyenangi Raja, tetapi Raja juga mengetahui rakyatnya ada yang baik ada pula yang jahat. Raja menyadari di bumi ini selalu ada yang bersifat berbeda. Namun Raja menginginkan agar rakyatnya mempunyai hati nurani untuk saling sayang menyayangi sesamanya. Raja ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya yang mempunyai hati mulia. Setiap hari Raja selalu dikelilingi oleh orang-orang yang bermuka manis, tetapi belum tentu hatinya baik. Raja kemudian pergi ke jalan menuju ke istana dan meletakkan batu besar di tengah jalan. Raja menyingkir ke pinggir jalan dan mengintai dari balik pepohonan yang rimbun. Tak lama tampak serombongan pedagang kaya raya, mereka acuh berjalan melingkari batu tanpa berkata apapun menuju pintu masuk istana. Kemudian datang lagi banyak orang dengan berbagai macam pekerjaannya. Sebagian besar mereka memaki-maki batu tersebut, bahkan memarahi Raja karena tidak membersihkan jalan menuju istana. Namun tidak satu pun dari mereka yang ingin mengangkat batu tersebut. Tak lama kemudian datang tukang sayur istana. Beliau berhenti untuk meletakkan keranjang sayuran di tepi jalan. Raja memperhatikan tukang sayur tersebut dengan seksama. " Apa yang akan dilakukannya?", kata Raja dalam hati. Ternyata tukang sdayur dengan sekuat tenaga mencoba mendorong batu ke tepi jalanan. Juga tidak ada seorangpun yang mau membantunya. Mereka berjalan sambil melengos kepada tukang sayur. "Kasihan" , kata Raja. Tukang sayur tampak kelelahan dan badannya penuh dengan peluh keringatnya. Setelah berhenti sebentar, tukang sayur tergesa-gesa menuju istana untuk mengantarkan sayur-sayuran. Raja tersenyum, kemudian pergi ke istana menemui orang-orang yang akan bertemu dengannya. Dengan suara yang berwibawa, Raja memanggil tukang sayur dan diceritakan betapa luhurnya budi tukang sayur ini dibanding dengan pedagang kaya yang hadir di sini. Raja memberikan hadiah yang sangat tak diduga oleh tukang sayur tersebut. Satu kantung berisikan uang dan emas. Raja mengingatkan agar dijadikan modal untuk membuka toko, supaya tukang sayur tidak perlu lagi memikul dagangannya. Orang-orang lain terdiam dan malu kepada dirinya sendiri, karena tidak mempunyai nurani hanya untuk menolong mengangkat batu di jalan menuju istana. Padahal Raja selalu menolong mereka agar mereka dapat berdagang dengan sukses. SIBERIAN HUKY Pada suatu malam, saat badai salju di Alaska, ada seekor anak anjing Siberian Husky yang berumur dua bulan yang dibuang oleh pemiliknya. Anak anjing itu berjalan tanpa arah karena sedang ada badai salju. Karena dinginnya malam ditambah kelaparan ia akhirnya pingsan di depan sebuah rumah. Pagi harinya ada seorang anak perempuan yang berumur tujuh tahun yang menemukan anak anjing itu di depan rumahnya. Ia lalu bertanya kepada Ibunya apakah ia dapat memungut anak anjing itu. Karena Ibunya tidak melihat adanya kalung yang menyatakan pemilik dari anak anjing itu serta anaknya terus meminta, akhirnya ia memperbolehkannya. Anak anjing itu diberi nama ‘Whisper’. Kata Whisper berasal dari kata ‘wish’ yang berarti harapan karena anak itu berharap jika anak anjing itu sudah besar akan berlari terus untuk menang. Setahun kemudian Whisper telah menjadi anjing Siberian Husky jantan yang gagah. Pada suatu hari, ada satu keluarga yang hendak pergi ke kota untuk menjenguk keluarganya yang sedang sakit. Tapi di tengah jalan ada badai salju dan satu anaknya yang paling kecil hilang. Mereka sudah mencarinya tapi tetap saja tidak ditemukan. Lalu mereka kembali ke desa dan memasang pengumuman, “bagi yang berhasil menemukan anaknya yang hilang dalam keadaan apapun akan diberi imbalan”. Anak perempuan itu kasihan dengan anak kecil itu maka ia memutuskan untuk ikut serta. Ia meminta izin pada Ibunya tetapi Ibunya melarangnya. Akhirnya ia pergi dengan diam-diam. Malam itu ia pergi bersama Whisper lalu ia menyuruh Whisper memberi tanda pada pohon yang dilewati agar tidak tersesat dengan cara memberi cakar pada pohon yang dilewatinya. Ia dan Whisper berusaha dengan keras untuk menemukan anak kecil itu. Dan ternyata anak kecil itu ada di bawah jurang. Karena ia membawa tali ia mengikat tali itu di pohon dan turun. Sesampainya ia di bawah, ia segera mengikat tubuh anak itu dengan tali lalu menyuruh Whisper untuk menarik talinya. Tetapi, pada saat ia mulai naik talinya putus dari pohon dan untung saja Whisper segera menggigit talinya dan mulai menarik tuannya. Setelah itu ia menaikkan tubuh anak kecil itu ke atas kereta lalu menyuruh Whisper untuk mulai menariknya. Whisper dan anak perempuan itu dapat pulang dengan selamat dan anak kecil itu segera disambut oleh keluarganya. Anak perempuan itu ditanya oleh orang tua anak kecil itu, “kamu minta imbalan apa atas jasamu itu? Ia pun menjawab bahwa permintaan itu akan ia serahkan pada Ibunya karena ia telah melanggar perintah Ibunya. Ibunya pun berkata, “aku lebih mementingkan keselamatan anakku daripada imbalan yang sangat MIA DAN SI KITTY Mia adalah seorang anak yang baik hati. Ia tinggal bersama orangtuanya di suatu desa. Karena ramah dan baik hati, ia mempunyai banyak teman di lingkungan rumah maupun sekolahnya. Mia adalah anak terkecil diantara 4 bersaudara. Setiap harinya, Mia dan kakak-kakaknya selalu diajari kedisiplinan dan budi pekerti oleh orangtuanya. Mia sangat senang dengan binatang. Binatang yang ada dirumahnya, dipeliharanya dengan rajin. Sudah lama Mia ingin memelihara kucing, tetapi Ibunya melarang binatang peliharaan yang dipelihara di dalam rumah karena membuat dalam rumah kotor. Suatu hari, Mia sedang pergi menuju sekolahnya. Ia pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Jarak antara rumah dan sekolahnya tidak terlalu jauh hanya 300 meter. Di tengah jalan, ia melihat seekor anak kucing yang masih kecil terjatuh ke dalam selokan. Mia merasa kasihan dengan anak kucing itu. Lalu ia mengangkat anak kucing itu dari selokan dan menaruhnya di tempat yang aman kemudian Mia melanjutkan perjalanannya ke sekolah. Bel tanda masuk berbunyi. Mia dan teman-temannya segera masuk ke kelas. Di sekolahnya, Mia termasuk anak yang cerdas. Ia selalu masuk dalam rangking 3 besar. Ia sering mengadakan kelompok belajar bersama teman-temannya di waktu istirahat maupun setelah pulang dari sekolah. Dalam kelompok belajar itu, mereka membahas pelajaran yang telah mereka dapatkan dan juga membahas pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru. Kriiingg... Bel tanda waktu pulang berbunyi! Mia dan teman-temannya segera bergegas membereskan buku-bukunya dan segera keluar ruangan. Di perjalanan pulang, ketika sedang mengobrol dengan teman-temannya, Mia melihat anak kucing yang tadi pagi dilihatnya dalam selokan. Anak kucing itu mengeong-ngeong sambil terus mengikuti Mia. Mia tidak sadar ia diikuti oleh anak kucing itu. Sesampainya di rumah, ketika akan menutup pintu, Mia terkejut karena ada anak kucing mengeong sekeras-kerasnya. Mia baru menyadari kalau anak kucing yang ditolongnya, mengikutinya sampai rumah. Mia mohon pada Ibunya, agar ia di izinkan memelihara kucing kecil itu. "Tidak boleh!, nanti hewan itu membuat kotor rumah", ujar Ibu Mia. "Tapi bu, kasihan kucing ini! ia tidak punya tempat tinggal dan tidak punya orangtua", kata Mia. Setelah beberapa saat, akhirnya Ibu membolehkan Mia memelihara kucing dengan syarat binatang itu tidak boleh ditelantarkan dan jangan sampai mengotori rumah. Sejak saat itu, Mia memelihara anak kucing itu. Setiap hari ia memberi minum dan makan anak kucing itu. Lama-lama Mia menjadi sangat sayang dengan anak kucing itu. Mia memberi nama anak kucing itu Kitty. Semenjak dipelihara Mia, Kitty menjadi bersih dan gemuk, bulunya yang berbelang tiga membuatnya tambah lucu. Beberapa bulan kemudian, Si Kitty menjadi besar. Suatu hari, Mia melihat seekor burung kutilang yang tergeletak di halaman rumahnya. Mia mendekati burung kutilang itu dan mengangkatnya. Ternyata burung kutilang itu terluka sayapnya dan tidak bisa terbang. Mia merawat burung itu dengan penuh kasih sayang. Si Kitty merasa cemburu karena merasa Mia menjadi lebih sayang pada burung kutilang daripadanya. Padahal Mia tetap menyayangi si Kitty. Karena merasa tidak diperhatikan lagi, setiap Mia tidak ada, si Kitty selalu menakut-nakuti burung kutilang tersebut. Setelah dirawat Mia selama seminggu, burung kutilang itu jadi sembuh. Beberapa hari kemudian, ketika Mia baru pulang dari sekolah, ia melihat pintu kandang burung kutilangnya terbuka dan ada bercak darah di bawah kandang burung kutilangnya. Mia berpikir jangan-jangan si Kitty memakan burung Kutilangnya. Ketika melihat si Kitty, Mia jadi lebih curiga karena pada mulut si Kitty terdapat bercak darah. Karena saking kesalnya, Mia mengambil sapu dan mengejar si Kitty untuk dipukul. Si Kitty segera berlari masuk ke kolong tempat tidur. Ketika melihat ke kolong Mia sangat terkejut karena ada seekor ular yang sudah mati dibawah kolong tempat tidurnya. Akhirnya Mia sadar, si Kitty telah menyelamatkannya dengan menggigit ular tersebut. Mia baru ingat kalau ia lupa menutup pintu sangkar burungnya. Mia menyesal ketika ingat akan memukul si Kitty. Padahal kalau tidak ada si Kitty mungkin ular tersebut masih hidup dan bisa mencelakainya. Akhirnya Mia sadar akan kesalahannya dan memeluk si Kitty dengan erat. Sejak kejadian itu, Mia jadi lebih sayang dengan Si Kitty. BUNGA CHERRY Di suatu puri, hiduplah seorang bangsawan dengan putri tunggalnya yang jelita, bernama Manuella. Orang-orang biasa memanggilnya Putri Manu. Sejak kecil Manuella tidak memiliki ibu lagi. Ayahnya sangat menyayanginya. Segala keinginan Manuella selalu dipenuhi. Ini membuat Manuella menjadi sangat manja. Semua yang ia inginkan harus ia dapatkan. Dan ayahnya belum pernah menolak keinginan Manuella. Malah selalu segera mengabulkannya. Salah satu kegemaran Manuella adalah berganti-ganti pakaian. Dalam satu hari ia dapat berganti pakaian empat sampai lima kali. Di kamarnya terdapat enam lemari pakaian yang indah. Namun ia belum merasa puas. "Ayah, lemari pakaian Manu telah penuh. Buatkan lemari pakaian yang baru dan besar ya," pintanya pada suatu hari. "Tentu anakku. Ayah akan segera memanggil tukang kayu terpandai di negeri ini. Dan menyuruhnya membuat lemari pakaian di sepanjang lantai atas puri ini." "Oh Ayah! Manu tidak sabar menunggu lemari itu selesai. Dan mengisinya dengan pakaian-pakaian yang indah…" Ayahnya tertawa sambil memeluk Manuella dengan penuh kasih sayang. Dibelainya rambut anaknya yang berwarna keemasan. Begitulah kehidupan Manuella dari tahun ke tahun. Pada suatu hari di musim semi, ayahnya berteriak-teriak memanggil Manuella. "Manuella, kemari, Nak! Ayah ingin berbicara denganmu." Seminggu lagi hari ulang tahun Manuella yang ke 17. Ayahnya akan mengadakan pesta besar untuknya. Anak-anak bangsawan dari berbagai negeri akan diundangnya. Mendengar hal itu Manuella menari-nari gembira. "Ayah, di pesta itu Manu ingin memakai gaun terindah. Dan ingin menjadi putri tercantik di dunia." "Anakku, kaulah putri tercantik yang pernah Ayah lihat! Ayah akan segera mendatangkan para penjual kain. Juga memanggil penjahit terkenal untuk merancang gaun yang terindah untukmu…" Keesokan harinya datanglah para penjual kain dari berbagai negara. Mereka membawa kain-kain yang terindah. Manuella sangat gembira. Setelah memilih-milih, ia menemukan selembar kain sutera putih, seputih salju. Sangat halus dan indah luar biasa. Seorang penjahit yang terkenal segera merancang, mengukur dan menjahit gaun yang sesuai dengan keinginan Manuella. Manuella sangat puas melihat gaun barunya. Segera dikenakannya gaun itu, lalu menari-nari di depan kaca. Rambutnya yang panjang terurai keemasan… "Hm, kau sungguh putri tercantik di dunia. Setiap tamu akan kagum padamu nanti," gumam Manuella sambil meneliti apa lagi yang kurang pada penampilannya. Tiba-tiba ia sadar, tidak ada hiasan di kepalanya. Ia segera mencari ayahnya, "Ayah, Manu perlu hiasan untuk rambut Manu…." "Anakku, kenakan saja mahkota emasmu. Cocok dengan rambutmu yang keemasan," kata ayahnya. "Akh, Manu bosan ayah.." jawab Manuella. "Bagaimana kalau mahkota berlian? Ayah akan segera memesannya jika kau mau," bujuk ayahnya. "Tidak, tidak! semua itu tidak cocok dengan baju dan rambut Manu" teriak Manuella. "Oh..anakku..mutiara yang dikenakan ibumu ketika ia menikah dengan ayah sangat indah, kau boleh memakainya nak…ayah ambilkan ya…"kata ayahnya dengan sabar. "Tidak. Manu ingin yang lain yang terindah," katanya sambil berlari menuju halaman. "Manuella, kembali anakku, sebentar lagi akan datang tamu-tamu kita" teriak ayahnya. Tapi Manuella tak mau mendengar ayahnya, ia berlari ke halaman yang dipenuhi dengan pohon-pohon cheri, dimana bunga-bunganya yang putih bersih memenuhi setiap ranting-rantingnya, sehingga cabang dan rantingnya yang berwarna cokelat hampir tak tampak lagi. Manuella berlari dari satu pohon ke pohon yang lain, dan tiba-tiba ia berpikir "Betapa indahnya bunga-bunga cheri ini, aku ingin merangkainya menjadi mahkotaku." Ketika tangannya akan meraih sebuah bunga, terdengarlah suara yang halus. "Jangan sentuh kami, jauhilah kami. Kalau tidak, kami akan mengubahmu menjadi bunga!" Manuella menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi ia tak melihat seorang pun. Ia berlari ke sebuah pohon yang lain, dan ketika ia akan memetik bunganya, terdengar lagi suara yang sama. Dengan penuh kejengkelan berteriaklah Manuella sambil memandang pohon itu, "Hai, dengar! Tak ada seorang pun di negeri ini yang dapat melarangku, dan semua orang di negeri ini tahu, segala keinginanku harus terpenuhi! Siapa yang berani melarangku?" Tiba-tiba bertiuplah angin dan bersamaan dengan itu terdengarlah suara yang halus. "Dengar Manuella, tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mendapatkan segala yang diinginkannya. Tidak juga kau…" "Bohong, bohong, selama ini segala keinginanku selalu dipenuhi, dan sekarang aku akan memetik bunga-bunga ini untuk mahkotaku, dan tak seorang pun berhak melarangku" teriak Manuella sambil menendang pohon-pohon disekitarnya. "Kau akan menyesal Manuella, jika tidak kau jauhi kami…" Dan ketika tangan Manuella menyentuh sebuah bunga, berubahlah ia menjadi bunga, di antara bunga-bunga cheri yang lain yang ada di pohon itu. Ia menangis menyesali segalanya, tapi sudah terlambat. Ia melihat tamu-tamu berdatangan. Ia mendengar suara tawa tamu-tamunya, tapi ia tak dapat ikut serta. Ia menangis dan menjerit-jerit, tapi tak seorang pun mendengarnya. Hari semakin sore, lampu-lampu di seluruh puri dinyalakan, musik mulai diputar dan seluruh tamu yang diundang telah datang. Ayahnya bingung mencari Manuella diseluruh puri, kemudian ia bersama para pelayan mencari Manuella diseluruh halaman sambil berteriak. "Manuella…Manuella….dimana kau nak…." Manuella dapat mendengar suara ayahnya dan para pelayan yang berteriak-teriak memanggilnya. Ketika ia melihat ayahnya berdiri tepat di bawahnya, ia berusaha berteriak sekuat tenaga, tapi ayahnya tak dapat mendengar suaranya dan ia mulai menangis, air matanya menetes dan jatuh ke kepala ayahnya. Manuella melihat bagaimana ayahnya mengusap air yang menetes di kepalanya, dan bergumam perlahan. "Akh …mulai hujan, di mana engkau bersembunyi anakku.." Dengan menundukkan kepala ia kembali ke puri dan menyuruh seluruh pelayannya kembali karena dipikirnya sebentar lagi akan turun hujan. Setelah tamu terakhir meninggalkan puri, dan musik dihentikan, sang ayah diam termangu di depan jendela. Lampu-lampu puri dibiarkan menyala semua, karena ia berpikir anaknya akan kembali dan ia akan dapat dengan mudah melihat jalan menuju puri. "Anakku, diluar dingin. Dimana engkau nak…kembalilah anakku. Ayah sangat kuatir" gumam ayahnya seorang diri dengan sedih. Tiba-tiba bertiuplah angin yang membawa sura jerit Manuella "Ayah…ayah…tolong Manu ayah…tolong…" "Manuella…Manuella…di mana engkau nak, ayah datang…ayah akan segera datang nak" teriak ayahnya dengan penuh harapan. Ia segera membangunkan para pelayan untuk mencari Manuella di sekitar puri dan di seluruh halaman sekali lagi. Mereka mencari Manuella setapak demi setapak, tapi sampai pagi merekah, Manuella tak pernah ditemukan kembali. Sang ayah telah putus asa, dan ia berhari-hari hanya duduk di depan jendela, menanti angin datang yang kadang-kadang membawa jeritan anak tercintanya. Ia yakin itu suara anaknya, tapi ia tak pernah tahu dari mana suara itu sampai akhir hayatnya. SEGELAS SUSU Suatu hari, seorang anak lelaki miskin yang hidup dari menjual asongan dari pintu ke pintu, menemukan bahwa dikantongnya tersisa beberapa sen uangnya, dan dia sangat lapar. Anak lelaki tersebut memutuskan untuk meminta makanan dari rumah berikutnya. Akan tetapi anak itu kehilangan keberanian saat seorang wanita muda membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi meminta makanan, ia hanya berani meminta segelas air. Wanita muda tersebut melihat, dan berfikir bahwa anak lelaki tersebut pastilah lapar, oleh karena itu ia membawakan segelas besar susu. Anak lelaki itu meminumnya dengan lambat, dan kemudian bertanya "berapa saya harus membayar untuk segelas besar susu ini ?" Wanita itu menjawab : "Kamu tidak membayar apapun". "Ibu kami menajarkan untuk tidak menerima bayaran untuk kabaikan" kata wanita itu menambahkan. Anak lelaki itu kemudian menghabiskan susunya dan berkata : " Dari dalam hatiku akau berterima kasih pada anda." Bertahun-tahun kemudian, wanita muda tersebut mengalami sakit yang sangat kritis. Para dokter di kota itu sudah tidak sanggup menanganinya. Mereka akhirnya mengirimnya ke dokter besar, dimana terdapat dokter spesialis yang mampu menangani penyakit langka tersebut. Dr. Anwar dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Pada saat ia mendengar nama kota asal wanita tersebut, terbersit seberkas pancaran aneh pada mata Dr. Anwar. Segera ia bangkit dan bergegas turun melalui ruang rumah sakit, menuju kamar si wanita tersebut. Dengan berpakaian jubah kedokteran ia menemui si wanita itu. Ia langsung mengenali wanita itu pada sekali pandang. Ia kemudian kembali ke ruang konsultasi dan memutuskan untuk melakukan upaya terbaik untuk menyelematkan nyawa itu. Mulai hari itu, ia selalu memberikan perhatian khusus pada wanita itu. Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya diperoleh kemenangan??? Wanita itu sembuh !!. Dr. Anwar meminta bagian keungan rumah sakit untuk mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan kepadanya untuk persetujuan. Dr. Anwar menuliskan sesuatu pada pojok atas lembar tagihan, dan kemudian mengirimkannya ke kamar pasien. Wanita itu takut untuk membuka tagihan tersebut, ia sangat yakin bahwa tak akan mampu membayar tagihan tersebut walaupun harus diangsur seumur hidupnya. Akhirnya ia memberanikan diri untuk membaca tagihan tersebut, dan ada sesuatu yang menarik perhatiannya pada pojok atas lembar tagihan tersebut. Ia membaca tulisan yang berbunyi??" Telah dibayar lunas dengan segelas susu !! " tertanda, Dr. Anwar Yusuf. Air mata kebahagiaan membanjiri matanya. Ia berdoa : "Tuhan, terima kasih, bahwa cintamu telah memenuhi seluruh bumi melalui hati tangan manusia." PENGEMIS DAN PUTRI RAJA Tersebutlah seorang putri raja yang cantik jelita. Karena bergelimang harta, Sang Putri mempunyai sifat buruk. Ia selalu menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu. Sedangkan Sang Raja tak pernah menolak kemauan putrinya. Salah satu kegemaran Sang Putri adalah mengumpulkan perhiasan dari intan permata. Ia sudah memiliki berlaci-laci perhiasan dari berbagai negeri. Suatu saat Raja mengajak Sang Putri berkeliling kota. Setelah singgah di berbagai tempat, mereka berhenti di depan bangunan indah. Di depan bangunan itu terdapat air mancur. Sang Putri sangat terpesona dengan air mancur yang elok itu. Air mancur itu memancarkan butir-butir air yang sangat indah. Karena terkena sinar matahari, butiran-butir air itu memancarkan cahaya kemilau bak intan permata. Sang Putri semakin terpesona. Sepulang dari perjalanan, Sang Putri minta dibuatkan air mancur di depan istana. Raja mengabulkan permintaan itu. Maka berdirilah air mancur nan megah seperti keinginan Sang Putri. Bukan main gembiranya Sang Putri. Tiap hari ia memandangi air mancur itu. Suatu hari ketika Sang Putri duduk di pinggir air mancur itu, jari manisnya kejatuhan air mancur. Butiran air itu menjalar melingkari jari manis Sang Putri laksana cincin. Begitu tersinari matahari, lingkaran air itu memancarkan cahaya bak cincin permata. Sang Putri berdecak kagum. Ia berlari menemui Sang Raja. "Ayahanda, saya ingin dibuatkan cincin permata dari butiran air," pinta Sang Putri. Raja tak kuasa menolak keinginan putrinya. Segera Sang Raja memerintahkan abdi kerajaan mencari ahli permata. Datanglah seorang ahli permata. Raja lalu menceritakan keinginan putrinya. Sang ahli permata mendengarkan dengan seksama. "Ampun, Baginda. Hamba baru kali ini mendapatkan permintaan seperti itu. Hamba minta waktu untuk memikirkannya," kata ahli permata. Ia tampak kebingungan. "Kalau begitu, kuberi waktu dua hari. Tapi, kalau gagal, penjara telah menantimu!" tukas Sang Raja. Dua hari kemudian, ahli permata itu datang untuk memberitahu bahwa ia tak dapat memenuhi permintaan Sang Putri. Sesuai perjanjian, ahli permata itu dijebloskan ke penjara. Kemudian Sang Raja memerintahkan mencari ahli permata lain. Tapi, beberapa ahli permata yang datang ke istana mengalami nasib serupa dengan ahli permata pertama. Raja sudah putus asa. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi demi putri kesayangannya. Sementara itu, Sang Putri terus menuntut agar permintaannya dikabulkan. Tiba-tiba seorang pengemis tua terbungkuk-bungkuk mendatangi istana. "Kamu ahli permata?" sergah Sang Raja. "Bu … bukan, Baginda. Hamba hanya seorang pengemis. Tapi, mengapa Baginda menanyakan ahli permata?" Si Pengemis balik bertanya. Lalu Sang Raja bercerita tentang keinginan putrinya. "Izinkan hamba mencobanya, Baginda," ujar Si Pengemis kemudian. "Awas, kalau gagal, penjara tempatmu!" ancam Sang Raja. Si Pengemis kemudian memanggil Sang Putri. "Tuan Putri, tolong bawa butiran air itu kemari!" pinta Si Pengemis kepada Sang Putri seraya menunjuk air mancur di depan istana. Sang Putri menuruti saja perintah Si Pengemis karena ia sudah tak sabar memiliki cincin yang diidamkannya. Begitu berada di sisi air mancur ia menengadahkan tangannya. Sebutir air jatuh tepat di atas telapak tangannya. Cepat-cepat ia bawa butiran itu ke pengemis. Tapi, sebelum sampai ke pengemis, butiran air itu menguap habis. Sang Putri mengulanginya. Kini ia berlari. Namun apa daya, tetap saja ia tak mampu membawa butiran air. Memang hari itu sedang sangat panas sehingga membuat butiran air cepat menguap. Dan ini memang siasat Si Pengemis, ia datang pada saat cuaca panas. "Kalau butiran airnya tidak ada, bagaimana hamba bisa mengabulkan permintaan Sang Putri? Saya kira tak seorang pun mampu membuat cincin kalau bahannya tidak ada. Hamba khawatir Tuan Putri yang cantik dan pintar ini akhirnya mendapat julukan putri bodoh karena menginginkan sesuatu yang tak ada." Sesudah berkata demikian, Si Pengemis dengan tenang meninggalkan istana. Apa yang dikatakan Si Pengemis sangat menyentuh hati Sang Putri. Sang Putri menyadari kekeliruannya. Lalu ia meminta Raja membebaskan semua ahli permata. Seluruh perhiasan intan permata yang dimiliki Sang Putri dibagikan kepada ahli permata sebagai ganti rugi. Sejak saat itu Sang Putri hidup sederhana dan tidak pernah minta yang bukan-bukan.(DONGENG CHINA). RAJA DAN KURA-KURA Di Benares, India, hidup seorang raja yang sangat gemar berbicara. Apabila ia sudah mulai membuka mulutnya, tak seorang pun diberi kesem-patan menyela pembicara-annya. Hal ini sangat mengganggu menterinya. Sang menteri pun selalu memikirkan cara terbaik menghilangkan kebiasaan buruk rajanya itu Pada suatu hari raja dan menterinya pergi berjalan-jalan di halaman istana. Tiba-tiba mereka melihat seekor kura-kura tergeletak di lantai. Tem-purungnya terbelah menjadi dua. "Sungguh ajaib!" kata Sang Raja de-ngan heran. "Ba-gaimana hal ini dapat terjadi?" Lalu Raja mulai dengan dugaan-du-gaannya. Dia terus-menerus membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dengan kura-kura itu. Sang Menteri hanya mengangguk-anggukkan kepala menunggu kesem-patan berbicara. Kemu-dian dia merasa menemukan cara terbaik untuk menghilangkan kebiasaan buruk Sang Raja. Ketika Sang Raja me-narik napas untuk berbi-cara lagi, Sang Menteri segera menukas dan berkata, "Paduka, saya tahu kejadian sebenarnya yang dialami kura-kura naas ini!" "Benarkah? Bila begitu, lekas katakan," kata Raja penuh rasa ingin tahu. Dengan penuh keseriusan Sang Raja mendengarkan cerita menterinya. Sang Menteri pun mulai bercerita. Kura-kura itu awalnya tinggal di sebuah danau di dekat pegunungan Hima-laya. Di sana terdapat juga dua ekor angsa yang selalu mencari makan di danau tersebut. Mereka pun akhirnya bersahabat. Pada suatu hari dua ekor angsa itu menemui kura-kura yang sedang berjemur di tepi danau. "Kura-kura, kami akan segera kembali ke tempat asal kami yang terletak di gua emas di kaki Gunung Tschittakura. Daerah tempat tinggal kami adalah daerah terindah di dunia. Tidak-kah engkau ingin ikut kami ke sana?" tanya Sang Angsa. "Dengan senang hati aku akan turut denganmu," sahut kura-kura riang. "Tetapi, sayangnya aku tak dapat terbang seperti kalian," lanjutnya dengan wajah mendadak sedih. "Kami akan memban-tumu agar dapat turut bersama kami ke sana. Tapi selama dalam perjalanan kamu jangan berbicara karena akan membahayakan dirimu," kata angsa. "Aku akan selalu mengingat laranganmu. Bawalah aku ke tempat kalian yang indah itu," janji kura-kura. Lalu kedua angsa tersebut meminta kura-kura agar meng-gigit sepotong bambu. Kemudian kedua angsa tersebut menggigit ujung-ujung bambu dan mereka pun terbang ke angkasa. Ketika kedua angsa itu sudah terbang tinggi, be-berapa orang di Benares melihat pe-mandangan unik tersebut. Mereka pun tertawa terbahak-bahak sambil berteriak. "Coba, lihat! Sungguh lucu. Ada dua ekor angsa membawa kura-kura dengan sepotong bambu." Kura-kura yang suka sekali bicara merasa tersinggung ditertawakan. Dia pun lupa pada lara-ngan kedua sahabatnya. Dengan penuh kemarah-an dia berkata, "Apa anehnya? Apakah manusia itu sedemiki-an bodohnya sehingga merasa aneh melihat hal seperti ini?" Ketika kura-kura membuka mulutnya untuk berbicara, dua ekor angsa itu sedang terbang di istana. Kura-kura pun terlepas dari bilah bambu yang digigitnya. Dia terjatuh tepat di sini dan tempurungnya terbelah dua. "Kalau saja kura-kura itu tidak suka berbicara berlebih-lebihan, tentu sekarang dia telah tiba di tempat sahabatnya," kata Sang Menteri mengakhiri ceritanya sambil memandang Sang Raja. Pada saat bersamaan Raja pun memandang menterinya. "Sebuah cerita yang menarik," sahut Sang Raja sambil tersenyum. Dia menyadari kemana arah pembicaraan menterinya. Sejak saat itu, Sang Raja mulai menghemat kata-katanya. Dia tidak lagi banyak bicara. Tentu saja Sang Menteri amat senang melihat kenyataan itu.(DONGENG INDIA). SEPATU ABU KOSIM Abu Kosim adalah seorang laki-laki setengah baya yang hidup di kota Bagdad. Badannya kurus dan kecil, jenggotnya mirip jenggot kambing. Ia hidup seorang diri di rumah yang cukup sederhana. Selama ini Abu Kosim dikenal sebagai orang yang pelit pada dirinya sendiri. Barang-barang yang dimilikinya tidak akan dibuang atau diberikan kepada orang lain sebelum terlihat amat dekil. Salah satunya adalah sepatu. Sepatu terbuat dari kulit unta yang telah dipakai bertahun-tahun itu tetap dipertahankan meskipun sudah sangat dekil, berlubang di sana-sini dan menyebarkan bau tidak sedap. Suatu hari Abu Kosim bertemu dengan sahabat lamanya di kolam renang. Di tempat tersebut sahabatnya berjanji akan membelikan sepatu baru. "Karena saya lihat sepatu kamu sudah bau tong sampah," kata sahabatnya sedikit menyindir. "Wah, kalau begitu terimakasih," ucap Abu Kosim tanpa merasa tersindir sedikit pun. Sewaktu Abu Kosim selesai mandi, di dekat sepatu bututnya ada sepatu baru yang amat bagus. Warnanya hitam dengan hiasan warna emas di sana-sini. "Sahabatku memang baik," gumam Abu Kosim tercengang melihat sepatu itu. Ia kira sepatu itu dari sahabatnya. Tanpa berpikir panjang lagi ia memakainya dan membawanya pulang. Tetapi apa yang terjadi? Tidak lama setelah Abu Kosim duduk di ruang tamu rumahnya, datang seorang pengawal kerajaan membawa surat penangkapan. "Apa salah saya?" tanya Abu Kosim. "Kamu telah mencuri sepatu Gubernur," jawab pengawal. "Mencuri? Yang benar saja," Abu Kosim merentangkan tangannya. "Tadi saya memang baru diberi sepatu baru oleh sahabat lama saya. Bukan mencuri seperti yang kamu tuduhkan!" Abu Kosim tidak terima. "Saya hanya diminta menangkap tuan. Kalau keberatan, silakan tuan kemukakan alasan tuan di persidangan," ujar pengawal. Akhirnya dengan terpaksa Abu Kosim mengikuti pengawal. Di balairung ia sudah ditunggu Gubernur beserta Tuan Hakim. "Abu Kosim, kamu telah mencuri sepatu Gubernur dan menukarnya dengan sepatumu. Karena kamu telah melanggar hukum, kamu didenda 50 dinar," kata Hakim usai membacakan kesalahan Abu Kosim. Tanpa memberi alasan lagi Abu Kosim mengeluar-kan uang dendanya dan mengembalikan sepatu Gubernur serta mengambil sepatu bututnya. "Sepatu ini benar-benar membuat sial!" sungut Abu Kosim begitu keluar dari balairung, "lebih baik dibuang di sungai saja," putusnya kemudian. Hari itu juga, sebelum sampai di rumah Abu Kosim membuang sepatunya ke sungai. Namun dasar sedang sial, sepatu yang dibuang itu ternyata tersangkut di jala seorang nelayan miskin. Beberapa jam kemudian datang pengawal membawa surat penangkapan. "Sepatu yang kamu buang telah merusak jala seorang nelayan miskin, sehingga ia tidak mendapatkan ikan," alasan pengawal. Untuk kedua kalinya di hadapan Gubernur Abu Kosim didenda. Kali ini dia harus mengganti segala kerugian yang diderita nelayan itu, gara-gara sepatu bututnya. "Benar-benar sepatu sialan!" umpat Abu Kosim begitu kembali ke rumah, "Mungkin aku harus membuangnya di tempat yang tidak dilalui orang," terusnya sambil berpikir keras. Malam harinya Abu Kosim berjalan menyusuri kota dan menemukan bangunan kuno tertinggi di Kota Bagdad. Di atas genteng bangunan itulah ia membuang sepatunya. Ternyata apa yang diperkirakan Abu Kosim meleset. Memang bangunan itu tidak dilewati orang, tetapi di situ ada penghuninya, yaitu seekor kucing. Karena merasa terganggu dengan bau busuk sepatu Abu Kosim, kucing tersebut menjatuhkannya. Pada saat itu di bawah gedung ada seorang laki-laki lewat dan sepatu Abu Kosim mengenai kepalanya. Laki-laki itu langsung mengadu-kan kepada Gubernur. Sekali lagi Gubernur memanggil Abu Kosim. "Untuk ketiga kalinya kamu membuat kesalahan, karena itu selain didenda kamu juga ditahan selama satu minggu!" Hakim memutuskan di persidangan. Nah, di dalam sel itulah Abu Kosim baru sadar akan sifat pelitnya selama ini yang ternyata telah menyengsarakannya dan menyengsarakan orang lain. Setelah keluar dari penjara ia menghadap Gubernur. "Yang mulia, saya ingin membuat perjanjian," kata Abu Kosim sungguh-sungguh, "saya akan membuang sepatu butut ini dan akan membeli sepatu baru. Dengan begitu apa pun yang terjadi akibat sepatu ini jangan dikaitkan dengan saya," katanya lagi. Gubernur tersenyum tanda setuju. Terlebih lagi setelah Abu Kosim berjanji akan merubah sifat pelitnya selama ini. URASHIMA TARO Long ago there lived in a small fishing village by the southern shores of Japan a young fisherman named Urashima Taro. We will call him Taro in our story. One bright day while he was walking along the seashore with his fishing pole, Taro saw a group of children jumping and running about. All of the children seemed very excited. They were shouting with glee and seemed to be standing over some object lying on the beach. When Taro came nearer to the children, he saw that they were tormenting a little turtle. They threw stones at it, and then each one took his turn kicking the poor turtle. Taro felt great sympathy for the unfortunate turtle. He turned to the children and said, "Please don't be cruel to the little turtle. You should be kind to animals. If you will set the turtle free, I will give each of you some money." So Taro bought the turtle's freedom from the thoughtless children. Then he took it to the water's edge and set it free. Soon the turtle disappeared into the blue waves and in a moment Taro could see it no more. After a few days Taro again went fishing by the seashore. He cast his line into the water and, as he did so, he was surprised to see a big turtle appear from out of the waves. The huge turtle approached Taro and said, "Hello, Taro-san! Don't you remember me?" Taro stared at the turtle, and to his great surprise he saw that it was the same turtle whose life he had saved by rescuing it from the naughty children a few days before. But now the turtle was very large and looked very old. Smiling at Taro, the turtle continued, "Thank you very much for your kindness to me the other day. You rescued me from those bad children. I wish to reward you for your kindness. If you wish to go, I will take you to the Coral Palace. It is a beautiful palace in the middle of a kingdom down under the sea. Please get on my back, Taro. Then we will begin our journey." Taro was delighted with the invitation from the turtle. He jumped on the hard-shell back, and they started for the Coral Palace. Into the depths of the blue sea they plunged. It was the first time Taro had been so far under the water, and it was probably the first time anyone had lived to see the bottom of the ocean. The bottom of the ocean was a beautiful sight to Taro. For a minute he just blinked his eyes, for he could not believe what he saw. Strange and pretty grasses and trees grew on the bottom of the sea. They swirled and waved with the gentle current of the water. Glistening red, blue, and yellow fish of all sizes and shapes swam everywhere. Schools of tiny fish played among the pink and blue coral. Funny little sea horses fled from the larger fish. The shining coral reflected glittering shafts of light in every direction. Everything was like a dream. It was most beautiful and quiet. The turtle was a swift swimmer, and soon Taro saw the gates of the Coral Palace in the distance. At the palace, the queen awaited Taro. The queen was named Otohime, and she was delicate and sweet- looking. Otohime wore a long, white robe, and on her head rested a golden crown sparkling with many diamonds and pearls. As she moved, her skirt, which was covered with hundreds of pink shells, swayed and gleamed in the water. Each shell was like a twinkling star. Behind Otohime stood twenty maids in waiting. Each wore a different-colored dress, and in their hair they had interwoven green seaweed. With a smile on her tender face, Otohime spoke in a soft voice to Taro. "Welcome, Taro-san! It was so kind of you to have rescued my loyal turtle. All the inhabitants of my kingdom wish to reward you by entertaining you in my Coral Palace. You will see many strange and wonderful things beneath the sea." And then she beckoned and said, "Come with me, Taro. We will go into the palace." Taro followed Otohime, and the charming queen led him through one splendid room after another. Finally they came to a huge room filled with beautiful furniture and treasures. In the center of the room was a great table and it was laden with golden plates, knives, forks, and spoons, crystal glasses, silver trays, and delicate china. The food upon the table was the strangest and most inviting food Taro had ever seen. Taro had never tasted such delicious dishes, and he did not know any of the names of the strange delicacies. Otohime was a generous and charming hostess, and she offered Taro one wonderful dish after another. Then, when Taro could eat no more, he was delighted to see many beautiful fish dance into the banquet hall. They swam before the table where Taro sat with the queen, and after they bowed and shyly smiled at the guest, the fish began to dance to a lovely tune. Tiny fish swayed, and sunfish tossed their tails. Thousands of gleaming bubbles rose above the dancers. Goldfish danced to a soft waltz, and shafts of light shone on their gleaming gilt scales. It almost looked as if many mirrors were dancing. Then gleaming codfish and trout moved in rhythm to the gay tunes of oysters who clacked their shells open and shut. Off to one side, five small fish danced over the keys of the golden piano. They made a delicate, tinkling tone bubble out. Beside them a sweet rainbow trout stroked the strings of a silver harp. And in the background a group of proud lobsters played their violins while a huge, fat lobster led the musicians. Taro laughed at the lobster leader, for he had thick glasses resting on the end of his nose, and he looked very funny as he conducted the orchestra. Finally the feast and the entertainment were over. Otohime then showed Taro the treasures of the palace. She had so many treasures, too! She had more silver and gold and pearls than anyone on earth or under the sea. Taro spent many days at the Coral Palace. Every day was a new experience which ended with a splendid feast and an evening of entertainment. For a while Taro even forgot his friends and parents at home above the sea. But one day Taro felt a great longing for his own people. Taro did not wish the queen to think him ungrateful for her kindness, but he felt that he must tell her of his desire to return home. By then Taro was very homesick. So the next time he saw the queen, Taro approached her and said, "Thank you very much for your kindness, little Queen Otohime. I have never spent such happy days before. I love your palace and all your little friends. But now I feel a longing to see my home again. I must say good-by." Otohime was sorry to hear Taro speak these words. She cried bitterly to think of his leaving her kingdom, and all her little maidservants tried to persuade Taro to remain with them forever. Taro did not wish to see the queen cry, but he would not change his mind. The time came for Taro to leave. The big turtle prepared to carry Taro to the land above the sea, and he awaited him at the gates of the palace. Otohime, brushing away tears like pearls from her eyes, said to Taro, "I am sorry you are leaving my palace, Taro. But I do not wish you to be unhappy. Do not forget me, even though you go back to your own country and people." Then Otohime showed Taro a jewel-encrusted chest and said, "I wish to give you this as a token of farewell. It will bring great luck to you if you keep it. But one thing you must remember. You must never, never open it. Do not forget my words, Taro-san. It will only bring you luck if you keep it unopened." Then the queen handed the chest to Taro. Taro was delighted with his gift and he thanked the queen many times. Then, holding the precious chest in his hand, Taro got on the turtle's back and amid a swirl of water and bubbles they sped to the surface of the sea. They reached the beach, and Taro bid good-by to the turtle. Then Taro set out for home. When he arrived at the gates of his native village, he was surprised to see that everything was changed. Nothing was the same as before he had gone to the Coral Palace. Not one familiar face remained, and Taro felt like a stranger. Taro asked many people about his old friends, but hardly anyone seemed even to have heard of them. Only one or two old men remembered Taro's friends. These old men had heard their grandfathers speak of them, but that was many, many years ago. With disappointment and sorrow heavy in his heart, Taro looked for the home where he had once lived. But even that was no longer there, and strange people now lived on the site in a new house. Taro felt very lonely in this strange town where he was but a puzzling stranger to all the inhabitants. Taro plodded his weary way to the seashore and sat upon a rock where he could see the waves roll in. Suddenly he remembered the chest the queen had given him. Taro was so lonely he forgot the words of the little queen, and he began to open the chest. When the lid was open, a column of white smoke arose from the chest. The smoke was strange and surrounded Taro. And when the smoke disappeared, Taro had become an old man with hair as white as snow. For Taro had really been under the sea for many years, and now time had caught up with him. THE FOUR DRAGON Once upon a time, there were no rivers and lakes on earth, but only the Eastern Sea, in which lived four dragons: the Long Dragon, the Yellow Dragon, the Black Dragon and the Pearl Dragon. One day the four dragons flew from the sea into the sky. They soared and dived, playing at hide-and-seek in the clouds. "Come over here quickly!" the Pearl Dragon cried out suddenly. "What's up?" asked the other three, looking down in the direction where the Pearl Dragon pointed. On the earth they saw many people putting out fruits and cakes, and burning incense sticks. They were praying! A white-haired woman, kneeling on the ground with a thin boy on her back, murmured: "Please send rain quickly, God of Heaven, to give our children rice to eat.." For there had been no rain for a long time. The crops withered, the grass turned yellow and fields cracked under the scorching sun. "How poor the people are!" said the Yellow Dragon. "And they will die if it doesn't rain soon." The Long Dragon nodded. Then he suggested, "Let's go and beg the Jade Emperor for rain." So saying, he leapt into the clouds. The others followed closely and flew towards the Heavenly Palace. Being in charge of all the affairs in heaven, on earth and in the sea, the Jade Emperor was very powerful. He was not pleased to see the dragons rushing in. "Why do you come here instead of staying in the sea and behaving yourselves?" The Long Dragon stepped forward and said, "The crops on earth are withering and dying, Your Majesty. I beg you to send rain down quickly!" "All right. You go back first, I'll send some rain down tomorrow." The Jade Emperor pretended to agree while listening to the songs of the fairies. "Thanks, Your Majesty!" The four dragons went happily back. But ten days passed, and not a drop of rain came down. The people suffered more, some eating bark, some grass roots, some forced to eat white clay when they ran out of bark and grass roots. Seeing all this, the four dragons felt very sorry, for they knew the Jade Emperor only cared about pleasure, and never took the people to heart. They could only rely on themselves to relieve the people of their miseries. But how to do it? Seeing the vast sea, the Long Dragon said that he had an idea. "What is it? Out with it, quickly!" the other three demanded. "Look, is there not plenty of water in the sea where we live? We should scoop it up and spray it towards the sky. The water will be like rain drops and come down to save the people and their crops." "Good idea!" The others clapped their hands. "But," said the Long Dragon after thinking a bit, "we will be blamed if the Jade Emperor learns of this." "I will do anything to save the people," the Yellow Dragon said resolutely. "Let's begin. We will never regret it." The Black Dragon and the Pearl Dragon were not to be outdone. They flew to the sea, scooped up water in their mouths, and then flew back into the sky, where they sprayed the water out over the earth. The four dragons flew back and forth, making the sky dark all around. Before long the sea water became rain pouring down from the sky. "It's raining! It's raining!" "The crops will be saved!" The people cried and leaped with joy. On the ground the wheat stalks raised their heads and the sorghum stalks straightened up. The god of the sea discovered these events and reported to the Jade Emperor. "How dare the four dragons bring rain without my permission!" The Jade Em-peror was enraged, and ordered the heavenly generals and their troops to arrest the four dragons. Being far outnumbered, the four dragons could not defend themselves, and they were soon arrested and brought back to the heavenly palace. "Go and get four mountains to lay upon them so that they can never escape!" The Jade Emperor ordered the Mountain God. The Mountain God used his magic power to make four mountains fly there, whistling in the wind from afar, and pressed them down upon the four dragons. Imprisoned as they were, they never regretted their actions. Determined to do good for the people forever, they turned themselves into four rivers, which flowed past high mountains and deep valleys, crossing the land from the west to the east and finally emptying into the sea. And so China's four great rivers were formed -- the Heilongjian (Black Dragon) in the far north, the Huanghe (Yellow River) in central China, the Changjiang (Yangtze, or Long River) farther south, and the Zhujiang (Pearl) in the very far south. KISAH SEPASANG TUKANG SEMIR ANTO dan Yudi adalah sepasang tukang semir sepatu. Mereka biasa mangkal di Apotek "Waras". Setiap siang hingga menjelang malam, keduanya tampak lalu-lalang di sekitar apotek, menawarkan jasa kepada orang-orang yang tak sempat membersihkan alas kaki mereka di rumah. Upah membersihkan sepatu atau sandal cukup murah, hanya seribu rupiah. Terkadang, kalau nasib mereka sedang mujur, ada saja pelanggan yang baik hati. Setelah sepatu mereka mengkilat, mereka memberi upah lebih untuk Yudi dan Anto. Ada juga yang ikhlas memberikan uang kembalian mereka, sambil menasehati tukang semir cilik itu agar menabung uangnya. Anto dan Yudi senang sekali menerimanya. Sambil menghitung hasil keringat hari itu, mereka bercerita satu sama lain. *** SORE itu Apotek "Waras" tampak ramai. Banyak orang menebus resep atau membeli obat. Ada yang duduk-duduk di kursi tunggu, berderet antri di kasir, atau menunggu di luar apotek. Kesempatan itu tak disia-siakan Anto dan Yudi. Dengan kotak semir tersampir di bahu, keduanya bergerak lincah ke sana kemari, menawarkan jasa kepada orang-orang. "Om…, semir sepatu, Om. Cuma seribu, kok…" "Tante, sandalnya mau disikat? Biar mengkilat lagi." Suara keduanya terdengar di antara riuh rendah. Kadang mereka menawarkan dengan sedikit merayu, tapi sesekali dengan nada bercanda. Wajah mereka ceria jika ada yang memanggil dan minta alas kakinya di semir. Tapi, ketika tawaran mereka ditolak halus, keduanya tidak putus asa. Mereka kembali berkeliling sambil mencari "mangsa". Terkadang sambil bernyanyi kecil, sekadar menghibur diri. Tiba-tiba, terdengar keributan kecil di luar apotek. Orang-orang serempak menengok. Wajah mereka diliputi penasaran. Apa yang terjadi di luar sana? Alangkah kagetnya pengunjung apotie ketika melihat pemandangan itu. Ada dua tukang semir cilik yang sedang berkelahi. Ya, entah apa sebabnya, Anto dan Yudi saling pukul, saling jambak, dan saling tendang. Satpam apotek dan seorang bapak tua sigap melerai perkelahian seru itu. Anto dan Yudi digiring ke pos satpam. Keduanya ditanya, mengapa saling berkelahi sesama teman. Rupanya mereka rebutan pelanggan. Bapak tua itu ingin menyemir sepatu. Beliau memanggil Anto, tapi malah Yudi yang menghampirinya. Tindakan Yudi jelas membuat Anto marah. Ia merasa rezekinya diserobot. Akhirnya perkelahian itu tak bisa dielakkan. Pak Satpam dan Bapak tua tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Anak-anak," kata Bapak tua setelah mendengar penuturan sepasang tukang semir cilik itu. "Bapak bangga pada kalian. Masih kecil sudah bisa mencari uang sendiri. Tapi, kenapa kalian sampai berkelahi? Tuhan memberi rezeki yang berbeda-beda untuk umatnya. Janganlah kita iri dan dengki. Justru kita harus menghargai milik orang lain, bahkan kalau bisa saling membantu sesama kita." Anto dan Yudi berdiri mematung. Malu pada diri sendiri. Kata-kata Bapak tua itu benar. Kenapa harus saling berebut rezeki? Kenapa harus mengambil hak orang lain? Bukankan Tuhan memberi rezeki yang melimpah bagi umatnya? Dalam hati, kedua anak itu menyesali kelakuan buruk mereka. "Anto, Yudi, kalian harusnya malu. Kelakuan kalian jadi tontonan orang banyak. Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Bapak ini tidak jadi menyemir sepatu. Kalian justru saling menyakiti sesama teman sendiri. Iya, kan?!" tambah Pak Satpam. Keduanya menundukkan kepala dalam-dalam. "Sekarang, Bapak mau kalian saling memaafkan. Hidup akan terasa indah kalau kita mau saling memaafkan. Ayo!" bujuk Bapak tua. Anto dan Yudi saling lirik. Mereka segan untuk memulai. Bapak tua dan Pak Satpam tersenyum melihat tingkah mereka. Setelah dibujuk lagi, barulah Anto dan Yudi saling memaafkan. Keduanya tersenyum kikuk. "Nah, begitu dong. Kalau kalian bersalah, harus berani mengakui dan minta maaf." Tak lama kemudian, masih di pos satpam itu, Anto dan Yudi tampak sibuk menyemir sepatu. Rupanya, Bapak tua itu punya ide cerdik. Anto disuruh menyemir sepatu sebelah kanan, sedang Yudi menyemir yang sebelah kiri. Ditemani Bapak tua dan Pak Satpam. Begitu selesai, Bapak tua memberi uang dua puluh ribu rupiah dan menyuruh mereka membagi rata. Anto dan Yudi terperangah menerima pemberian sebesar itu. Tak lupa, Bapak tua itu menasehati mereka sekali lagi. Sebelum pamit, Anto dan Yudi bergantian mencium punggung tangan Bapak itu. Senja itu terasa indah. Menjelang maghrib, Anto dan Yudi memutuskan untuk pulang bersama. Tak ada dendam lagi di hati keduanya. Mereka malah bahagia karena dapat pelajaran berharga hari itu.*** TUKANG SEPATU DAN LILIPUT Dahulu kala, disebuah kota tinggal seorang Kakek dan Nenek pembuat sepatu. Mereka sangat baik hati. Si kakek yang membuat sepatu sedangkan nenek yang menjualnya. Uang yang didapat dari setiap sepatu yang terjual selalu dibelikan makanan yang banyak untuk dibagikan dan disantap oleh orang-orang jompo yang miskin dan anak kecil yang sudah tidak mempunyai orangtua. Karena itu walau sudah membanting tulang, uang mereka selalu habis. Karena uang mereka sudah habis, dengan kulit bahan sepatu yang tersisa, kakek membuat sepatu berwarna merah. Kakek berkata kepada nenek, “Kalau sepatu ini terjual, kita bisa membeli makanan untuk Hari Raya nanti. Tak lama setelah itu, lewatlah seorang gadis kecil yang tak bersepatu di depan toko mereka. “Kasihan sekali gadis itu ! Ditengah cuaca dingin seperti ini tidak bersepatu”. Akhirnya mereka memberikan sepatu berwarna merah tersebut kepada gadis kecil itu. “Apa boleh buat, Tuhan pasti akan menolong kita”, kata si kakek. Malam tiba, merekapun tertidur dengan nyenyaknya. Saat itu terjadi kejadian aneh. Dari hutan muncul kurcaci-kurcaci mengangkut kulit sepatu, membawanya ke rumah si kakek kemudian membuatnya menjadi sepasang sepatu yang sangat bagus. Ketika sudah selesai mereka kembali ke hutan. Keesokan paginya kakek sangat terkejut melihat ada sepasang sepatu yang sangat hebat. Sepatu itu terjual dengan harga mahal. Dengan hasil penjualan sepatu itu mereka menyiapkan makanan dan banyak hadiah untuk dibagikan kepada anak-anak kecil pada Hari Raya. “Ini semua rahmat dari Yang Maha Kuasa”. Malam berikutnya, terdengar suara-suara diruang kerja kakek. Kakek dan nenek lalu mengintip, dan melihat para kurcaci yang tidak mengenakan pakaian sedang membuat sepatu. “Wow”, pekik si kakek. “Ternyata yang membuatkan sepatu untuk kita adalah para kurcaci itu”. “Mereka pasti kedinginan karena tidak mengenakan pakaian”, lanjut si nenek. “Aku akan membuatkan pakaian untuk mereka sebagai tanda terima kasih”. Kemudian nenek memotongh kain, dan membuatkan baju untuk para kurcaci itu. Sedangkan kakek tidak tinggal diam. Ia pun membuatkan sepatu-sepatu mungil untup para kurcaci. Setelah selesai mereka menjajarkan sepatu dan aju para kurcaci di ruang kerjanya. Mereka juga menata meja makan, menyiapkan makanan dan kue yang lezat di atas meja. Saat tengah malam, para kurcaci berdatangan. Betapa terkejutnya mereka melihat begitu banyaknya makanan dan hadiah di ruang kerja kakek. “Wow, pakaian yang indah !”. Merek segera mengenakan pakaian dan sepatu yang sengaja telah disiapkan kakek dan nenek. Setelah selesai menyantap makanan, mereka menari-nari dengan riang gembira. Hari-hari berikutnya para kurcaci tidak pernah dating kembali. Tetapi sejak saat itu, sepatu-sepatu yang dibuat Kakek selalu laris terjual. Sehingga walaupun mereka selalu memberikan makan kepada orang-orang miskin dan anak yatim piatu, uang mereka masih tersisa untuk ditabung. Setelah kejadian itu semua, Kakek dan dan nenek hidup bahagia sampai akhir hayat mereka. LABA-LABA, KELINCI DAN SANG BULAN Sang bulan terlihat sedih karena sudah lama ia melihat banyak kejadian di dunia dan juga melihat banyak ketakutan yang dialami oleh manusia. Untuk membuat manusia menjadi tidak takut, sang bulan berupaya mengirimkan pesan kepada manusia melalui temannya sang laba-laba yang baik hati. "Hai sang laba-laba, manusia di bumi sangatlah takut untuk mati dan hal itu membuat mereka menjadi sangat sedih. Cobalah tenangkan manusia-manusia itu bahwa cepat atau lambat manusia pasti akan mati, sehingga tidak perlu mereka untuk merasa sedih", seru sang Bulan kepada temannya sang laba-laba. Dengan perlahan-lahan sang laba-laba turun kembali ke bumi, dan dengan sangat hati-hati ia meniti jalan turun melalui untaian sinar bulan dan sinar matahari. Di perjalannnya turun ke bumi, sang laba-laba bertemu dengan si kelinci. "Hendak kemanakah engkau hai sang laba-laba ?" tanya si kelinci penuh rasa ingin tahu. "Aku sedang menuju bumi untuk memberitahukan manusia-manusia pesan dari temanku sang Bulan" sahut sang laba-laba menjelaskan. "oohh perjalananmu sangatlah jauh wahai sang laba-laba. Bagaimana jika kamu memberitahukan pesan sang Bulan kepadaku dan aku akan membantumu memberitahukan kepada manuisa-manusia itu" seru si kelinci. "hemm.. baiklah, aku akan memberitahukan pesan dari sang Bulan kepadamu." jawab sang laba-laba. "Sang Bulan ingin memberitahukan manusia-manusia di bumi bahwa mereka akan cepat atau lambat mati ........." lanjut sang laba-laba. Belum habis sang laba-laba menjelaskan, si kelinci sudah meloncat pergi sambil menghapalkan pesan sang laba-laba. " Yah, beritahukan manusia bahwa mereka semua akan mati" serunya sambil meloncat-loncat dengan cepatnya. Sang Kelinci memberitahukan manusia pesan yang diterimanya. Manusia menjadi sangat sedih dan ketakutan. Sang laba-laba segera kembali kepada sang Bulan dan memberitahukan apa yang terjadi. Sang bulan sangat kecewa dengan si kelinci, dan ketika si kelinci kembali sang bulan mengutuk si kelinci karena telah lalai mendengarkan pesan sang Bulan dengan lengkap. Karena itu sampai saat ini si kelinci tidak dapat bersuara lagi. Bagaimana dengan sang laba-laba? Sang bulan menugaskan sang laba-laba untuk terus menyampaikan pesan kepada manusia-manusia di bumi tanpa boleh menitipkan pesannya kepada siapapun yang dijumpainya. Oleh karena itu sampai pada saat ini kita masih dapat melihat sang laba-laba dengan tekunnya merajut pesan sang bulan di pojok-pojok ruangan. Namun berapa banyakkah dari kita manusia yang telah melihat pesan sang Bulan tersebut? ARTI SEBUAH PERSAHABATAN Pada dahulu kala hiduplah seekor kura-kura dan seekor burung elang. Walaupun sang kura-kura dan elang jarang bertemu karena sang kura-kura lebih banyak menghabiskan waktu disemak-semak sedangkan sang elang lebih banyak terbang, namun tidak menghalangi sang elang untuk selalu mengunjungi teman kecilnya yang baik hati, sang kura-kura. Keluarga sang kura-kura sangat ramah dan selalu menyambut kedatangan sang elang dengan gembira. Mereka juga selalu memberi sang elang makanan dengan sangat royalnya. Sehingga sang elang selalu berkali-kali datang karena makanan gratis dari keluarga kura-kura tersebut. Setiap kali sehabis makan dari keluarga kura-kura sang elang selalu menertawakan sang kura-kura : "ha ha betapa bodohnya si kura-kura, aku dapat merasakan kenikmatan dari makanan yang selalu dia berikan, namun tidak mungkin dia dapat merasakan nikmatnya makananku karena sarangku yang terletak jauh diatas gunung" Karena begitu seringnya sang elang menertawakan dan dengan egoisnya menghabiskan makanan sang kura-kura, maka seluruh hutan mulai menggunjingkan sikap sang elang tersebut. Para penghuni hutan tersebut merasa tidak suka dengan sikap seenaknya sang elang kepada sang kura-kura yang baik hati. Suatu hari seekor kodok memanggil kura-kura yang sedang berjalan dekat sungai. "Hai temanku sang kura-kura, berilah aku semangkok kacang polong, maka aku akan memberikan kata-kata bijak untukmu" seru sang kodok. Setelah menghabiskan semangkuk kacang polong dari sang kura-kura, sang kodok berkata lagi: "kura-kura, sahabatmu sang elang telah menyalahgunakan persahabatan dan kebaikan hatimu. Setiap kali sehabis bertamu di sarangmu, selalu saja dia mengejekmu dengan berkata " ha ha betapa bodohnya si kura-kura, aku dapat merasakan kenikmatan dari makan yang selalu dia berikan, namun tidak mungkin dia dapat merasakan nikmatnya makananku karena sarangku yang terletak jauh diatas gunung". Pada suatu hari nanti sang elang akan datang kembali dan akan meminta sekeranjang makanan darimu dan berjanji akan memberikan makanan kepadamu dan anak-anakmu" Benarlah yang dikatakan oleh sang kodok, sang elang datang dengan membawa keranjang dan seperti biasanya sang elang menikmati makanan dari sang kura-kura. Sang elang berkata: "hai temanku kura-kura, ijinkan aku mengisi keranjangku dengan makanan darimu, maka akan kukirimkan kepada anak istriku dan istriku akan memberimu makanan buatannya untuk istri dan anakmu". Kemudian sang elang terbang dan kembali menertawakan sang kura-kura. Maka segeralah sang kura-kura masuk kedalam keranjang tersebut dan ditutupi dengan sayuran buah-buahan oleh istrinya, sehingga tidak terlihat. Ketika sang elang kembali, istri sang kura-kura mengatakan bahwa suaminya baru saja pergi dan memberikan keranjang penuh berisi makanan kepada sang elang. Sang elang segera bergegas terbang sambil membawa keranjang tersebut. BUAYA YANG TIDAK JUJUR Ada sebuah sungai di pinggir hutan. Di sungai itu hiduplah sekelompok buaya. Buaya itu ada yang berwarna putih, hitam, dan belang-belang. Meskipun warna kulit mereka berbeda, mereka selalu hidup rukun. Di antara buaya-buaya itu ada seekor yang badannya paling besar. Ia menjadi raja bagi kelompok buaya tersebut. Raja buaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dicintai rakyatnya. Suatu ketika terjadi musim kemarau yang amat panjang. Rumput-rumput di tepi hutan mulai menguning. Sungai-sungai mulai surut airnya. Binatang-binatang pemakan rumput banyak yang mati. Begitu juga dengan buaya-buaya. Mereka sulit mencari daging segar. Kelaparan mulai menimpa keluarga buaya. Satu per satu buaya itu mati. Setiap hari ada saja buaya yang menghadap raja. Mereka melaporkan bencana yang dialami warga buaya. Ketika menerima laporan tersebut, hati raja buaya merasa sedih. Untung Raja Buaya masih memiliki beberapa ekor rusa dan sapi. Ia ingin membagi-bagikan daging itu kepada rakyatnya. Raja Buaya kemudian memanggil Buaya Putih. Dan Buaya Hitam. Raja Buaya lalu berkata, “Aku tugaskan kepada kalian berdua untuk membagi-bagikan daging. Setiap pagi kalian mengambil daging di tempat ini. Bagikan daging itu kepada teman-temanmu!” “Hamba siap melaksanakan perintah Paduka Raja,” jawab Buaya Hitam dan putih serempak. “Mulai hari ini kerjakan tugas itu!”perintah Raja Buaya lagi. Kedua Buaya itu segera memohon diri. Mereka segera mengambil daging yang telah disediakan. Tidak lama kemudian mereka pergi membagi-bagikan daging itu. Buaya Putih membagikan makanan secara adil. Tidak ada satu buaya pun yang tidak mendapat bagian. Berbeda dengan Buaya Hitam, daging yang seharusnya dibagi-bagikan, justru dimakannya sendiri. Badan Buaya Hitam itu semakin gemuk. Selesai membagi-bagikan daging, Buaya Putih dan Buaya Hitam kembali menghadap raja. “Hamba telah melaksanakan tugas dengan baik, Paduka,” lapor Buaya Putih. “Bagus! Bagus! Kalian telah menjalankan tugas dengan baik,” puji Raja. Suatu hari setelah membagikan makanan,Buaya Putih mampir ke tempat Buaya Hitam. Ia terkejut karena di sana-sini banyak bangkai buaya. Sementara tidak jauh dari tempat itu Buaya Hitam tampak sedang asyik menikmati makanan. Buaya Putih lalu mendekati Buaya Hitam. “Kamu makan jatah makanan temen-teman, ya?” “Kamu biarkan mereka kelaparan!” ujar Buaya Putih. “Jangan menuduh seenaknya!” tangkis Buaya Hitam. “Tapi, lihatlah apa yang ada di depanmu itu!” sahut Buaya Putih sambil menunjuk seekor buaya yang mati tergeletak. “Itu urusanku, engkau jangan ikut campur! Aku memang telah memakan jatah mereka. engkau mau apa?” tantang Buaya Hitam. “Kurang ajar!” ujar Buaya Putih sambil menyerang Buaya Hitam. Perkelahian pun tidak dapat dielakkan. Kedua buaya itu bertarung seru. Akhirnya, Buaya Hitam dapat dikalahkan. Buaya Hitam lalu dibawa kehadapan Raja. Beberapa buaya ikut mengiringi perjalanan mereka. Di hadapan Sang Raja, Buaya Putih segera melaporkan kelakuan Buaya Hitam. Buaya Hitam lalu mendapat hukuman mati karena kejahatannya itu. “Buaya Putih, engkau telah berlaku jujur, adil, serta patuh. Maka kelak setelah aku tiada, engkaulah yang berhak menjadi raja menggantikanku,” demikian titah Sang Raja kepada Buaya Putih TELAGA BIDADARI Dahulu kala, ada seorang pemuda yang tampan dan gagah. Ia bernama Awang Sukma. Awang Sukma mengembara sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka macam kehidupan di dalam hutan. Ia membangun sebuah rumah pohon di sebuah dahan pohon yang sangat besar. Kehidupan di hutan rukun dan damai. Setelah lama tinggal di hutan, Awang Sukma diangkat menjadi penguasa daerah itu dan bergelar Datu. Sebulan sekali, Awang Sukma berkeliling daerah kekuasaannya dan sampailah ia di sebuah telaga yang jernih dan bening. Telaga tersebut terletak di bawah pohon yg rindang dengan buah-buahan yang banyak. Berbagai jenis burung dan serangga hidup dengan riangnya. "Hmm, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini menyimpan keindahan yang luar biasa," gumam Datu Awang Sukma. Keesokan harinya, ketika Datu Awang Sukma sedang meniup serulingnya, ia mendengar suara riuh rendah di telaga. Di sela-sela tumpukan batu yang bercelah, Datu Awang Sukma mengintip ke arah telaga. Betapa terkejutnya Awang Sukma ketika melihat ada 7 orang gadis cantik sedang bermain air. "Mungkinkah mereka itu para bidadari?" pikir Awang Sukma. Tujuh gadis cantik itu tidak sadar jika mereka sedang diperhatikan dan tidak menghiraukan selendang mereka yang digunakan untuk terbang, bertebaran di sekitar telaga. Salah satu selendang tersebut terletak di dekat Awang Sukma. "Wah, ini kesempatan yang baik untuk mendapatkan selendang di pohon itu," gumam Datu Awang Sukma. Mendengar suara dedaunan, para putri terkejut dan segera mengambil selendang masing-masing. Ketika ketujuh putri tersebut ingin terbang, ternyata ada salah seorang putri yang tidak menemukan pakaiannya. Ia telah ditinggal oleh keenam kakaknya. Saat itu, Datu Awang Sukma segera keluar dari persembunyiannya. "Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong asalkan tuan putri sudi tinggal bersama hamba," bujuk Datu Awang Sukma. Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun karena tidak ada orang lain maka tidak ada jalan lain untuk Putri Bungsu kecuali menerima pertolongan Awang Sukma. Datu Awang Sukma sangat mengagumi kecantikan Putri Bungsu. Demikian juga dengan Putri Bungsu. Ia merasa bahagia berada di dekat seorang yang tampan dan gagah perkasa. Akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi suami istri. Setahun kemudian lahirlah seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama Kumalasari. Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia. Namun, pada suatu hari seekor ayam hitam naik ke atas lumbung dan mengais padi di atas permukaan lumbung. Putri Bungsu berusaha mengusir ayam tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah bumbung bambu yang tergeletak di bekas kaisan ayam. "Apa kira-kira isinya ya?" pikir Putri Bungsu. Ketika bumbung dibuka, Putri Bungsu terkejut dan berteriak gembira. "Ini selendangku!, seru Putri Bungsu. Selendang itu pun didekapnya erat-erat. Perasaan kesal dan jengkel tertuju pada suaminya. Tetapi ia pun sangat sayang pada suaminya. Akhirnya Putri Bungsu membulatkan tekadnya untuk kembali ke kahyangan. "Kini saatnya aku harus kembali!," katanya dalam hati. Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya sambil menggendong bayinya. Datu Awang Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan minta maaf atas tindakan yang tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang Putri Bungsu. Datu Awang Sukma menyadari bahwa perpisahan tidak bisa dielakkan. "Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik," kata Putri Bungsu kepada Datu Awang Sukma." Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa. "Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan ke dalam bakul yang digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan seruling. Pasti dinda akan segera datang menemuinya," ujar Putri Bungsu. Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya dan seketika terbang ke kahyangan. Datu Awang Sukma menap sedih dan bersumpah untuk melarang anak keturunannya memelihara ayam hitam yang dia anggap membawa malapetaka. Pesan moral : Jika kita menginginkan sesuatu sebaiknya dengan cara yang baik dan halal. Kita tidak boleh mencuri atau mengambil barang/harta milik orang lain karena suatu saat kita akan mendapatkan hukuman. KANCIL SIPENCURI KETIMUN Siang itu panas sekali. Matahari bersinar garang. Tapi hal itu tidak terlalu dirasakan oleh Kancil. Dia sedang tidur nyenyak di bawah sebatang pohon yang rindang. Tiba-tiba saja mimpi indahnya terputus. "Tolong! Tolong! " terdengar teriakan dan jeritan berulang-ulang. Lalu terdengar suara derap kaki binatang yang sedang berlari-lari. "Ada apa, sih?" kata Kancil. Matanya berkejap-kejap, terasa berat untuk dibuka karena masih mengantuk. Di kejauhan tampak segerombolan binatang berlari-lari menuju ke arahnya. "Kebakaran! Kebakaran! " teriak Kambing. " Ayo lari, Cil! Ada kebakaran di hutan! " Memang benar. Asap tebal membubung tinggi ke angkasa. Kancil ketakutan melihatnya. Dia langsung bangkit dan berlari mengikuti teman-temannya. Kancil terus berlari. Wah, cepat juga larinya. Ya, walaupun Kancil bertubuh kecil, tapi dia dapat berlari cepat. Tanpa terasa, Kancil telah berlari jauh, meninggalkan teman-temannya. "Aduh, napasku habis rasanya," Kancil berhenti dengan napas terengah-engah, lalu duduk beristirahat. "Lho, di mana binatang-binatang lainnya?" Walaupun Kancil senang karena lolos dari bahaya, tiba-tiba ia merasa takut. "Wah, aku berada di mana sekarang? Sepertinya belum pernah ke sini." Kancil berjalan sambil mengamati daerah sekitarnya. "Waduh, aku tersesat. Sendirian lagi. Bagaimana ini?'7 Kancil semakin takut dan bingung. "Tuhan, tolonglah aku." Kancil terus berjalan menjelajahi hutan yang belum pernah dilaluinya. Tanpa terasa, dia tiba di pinggir hutan. Ia melihat sebuah ladang milik Pak Tani. "Ladang sayur dan buah-buahan? Oh, syukurlah. Terima kasih, Tuhan," mata Kancil membelalak. Ladang itu penuh dengan sayur dan buah-buahan yang siap dipanen. Wow, asyik sekali! "Kebetulan nih, aku haus dan lapar sekali," kata Kancil sambil menelan air liurnya. "Tenggorokanku juga terasa kering. Dan perutku keroncongan minta diisi. Makan dulu, ah." Dengan tanpa dosa, Kancil melahap sayur dan buahbuahan yang ada di ladang. Wah, kasihan Pak Tani. Dia pasti marah kalau melihat kejadian ini. Si Kancil nakal sekali, ya? "Hmm, sedap sekali," kata Kancil sambil mengusap-usap perutnya yang kekenyangan. "Andai setiap hari pesta seperti ini, pasti asyik." Setelah puas, Kancil merebahkan dirinya di bawah sebatang pohon yang rindang. Semilir angin yang bertiup, membuatnya mengantuk. "Oahem, aku jadi kepingin tidur lagi," kata Kancil sambil menguap. Akhirnya binatang yang nakal itu tertidur, melanjutkan tidur siangnya yang terganggu gara-gara kebakaran di hutan tadi. Wah, tidurnya begitu pulas, sampai terdengar suara dengkurannya. Krr... krr... krrr... Ketika bangun pada keesokan harinya, Kancil merasa lapar lagi. "Wah, pesta berlanjut lagi, nih," kata Kancil pada dirinya sendiri. "Kali ini aku pilih-pilih dulu, ah. Siapa tahu ada buah timun kesukaanku." Maka Kancil berjalan-jalan mengitari ladang Pak Tani yang luas itu. "Wow, itu dia yang kucari! " seru Kancil gembira. "Hmm, timunnya kelihatan begitu segar. Besarbesar lagi! Wah, pasti sedap nih." Kancil langsung makan buah timun sampai kenyang. "Wow, sedap sekali sarapan timun," kata Kancil sambil tersenyum puas. Hari sudah agak siang. Lalu Kancil kembali ke bawah pohon rindang untuk beristirahat. Pak Tani terkejut sekali ketika melihat ladangnya. "Wah, ladang timunku kok jadi berantakan-begini," kata Pak Tani geram. "Perbuatan siapa, ya? Pasti ada hama baru yang ganas. Atau mungkinkah ada bocah nakal atau binatang lapar yang mencuri timunku?" Ladang timun itu memang benar-benar berantakan. Banyak pohon timun yang rusak karena terinjak-injak. Dan banyak pula serpihan buah timun yang berserakan di tanah. 7 @ Hm, awas, ya, kalau sampai tertangkap! " omel Pak Tani sambil mengibas-ngibaskan sabitnya. "Panen timunku jadi berantakan." Maka seharian Pak Tani sibuk membenahi kembali ladangnya yang berantakan. Dari tempat istirahatnya, Kancil terus memperhatikan Pak Tani itu. "Hmm, dia pasti yang bernama Pak Tani," kata Kancil pada dirinya sendiri. "Kumisnya boleh juga. Tebal,' hitam, dan melengkung ke atas. Lucu sekali. Hi... hi... hi.... Sebelumnya Kancil memang belum pernah bertemu dengan manusia. Tapi dia sering mendengar cerita tentang Pak Tani dari teman-temannya. "Aduh, Pak Tani kok lama ya," ujar Kancil. Ya, dia telah menunggu lama sekali. Siang itu Kancil ingin makan timun lagi. Rupanya dia ketagihan makan buah timun yang segar itu. Sore harinya, Pak Tani pulang sambil memanggul keranjang berisi timun di bahunya. Dia pulang sambil mengomel, karena hasil panennya jadi berkurang. Dan waktunya habis untuk menata kembali ladangnya yang berantakan. "Ah, akhirnya tiba juga waktu yang kutunggu-tunggu," Kancil bangkit dan berjalan ke ladang. Binatang yang nakal itu kembali berpesta makan timun Pak Tani. Keesokan harinya, Pak Tani geram dan marah-marah melihat ladangnya berantakan lagi. "Benar-benar keterlaluan! " seru Pak Tani sambil mengepalkan tangannya. "Ternyata tanaman lainnya juga rusak dan dicuri." Pak Tani berlutut di tanah untuk mengetahui jejak si pencuri. "Hmm, pencurinya pasti binatang," kata Pak Tani. "Jejak kaki manusia tidak begini bentuknya." Pemilik ladang yang malang itu bertekad untuk menangkap si pencuri. "Aku harus membuat perangkap untuk menangkapnya! " Maka Pak Tani segera meninggalkan ladang. Setiba di rumahnya, dia membuat sebuah boneka yang menyerupai manusia. Lalu dia melumuri orang-orangan ladang itu dengan getah nangka yang lengket! Pak Tani kembali lagi ke ladang. Orang-orangan itu dipasangnya di tengah ladang timun. Bentuknya persis seperti manusia yang sedang berjaga-jaga. Pakaiannya yang kedodoran berkibar-kibar tertiup angin. Sementara kepalanya memakai caping, seperti milik Pak Tani. "Wah, sepertinya Pak Tani tidak sendiri lagi," ucap Kancil, yang melihat dari kejauhan. "Ia datang bersama temannya. Tapi mengapa temannya diam saja, dan Pak Tani meninggalkannya sendirian di tengah ladang?" Lama sekali Kancil menunggu kepergian teman Pak Tani. Akhirnya dia tak tahan. "Ah, lebih baik aku ke sana," kata Kancil memutuskan. "Sekalian minta maaf karena telah mencuri timun Pak Tani. Siapa tahu aku malah diberinya timun gratis." "Maafkan saya, Pak," sesal Kancil di depan orangorangan ladang itu. "Sayalah yang telah mencuri timun Pak Tani. Perut saya lapar sekali. Bapak tidak marah, kan?" Tentu saj,a orang-orangan ladang itu tidak menjawab. Berkali-kali Kancil meminta maaf. Tapi orang-orangan itu tetap diam. Wajahnya tersenyum, tampak seperti mengejek Kancil. "Huh, sombong sekali!" seru Kancil marah. "Aku minta maaf kok diam saja. Malah tersenyum mengejek. Memangnya lucu apa?" gerutunya. Akhirnya Kancil tak tahan lagi. Ditinjunya orangorangan ladang itu dengan tangan kanan. Buuuk! Lho, kok tangannya tidak bisa ditarik? Ditinjunya lagi dengan tangan kiri. Buuuk! Wah, kini kedua tangannya melekat erat di tubuh boneka itu. " Lepaskan tanganku! " teriak Kancil j engkel. " Kalau tidak, kutendang kau! " Buuuk! Kini kaki si Kancil malah melekat juga di tubuh orang-orangan itu. "Aduh, bagaimana ini?" Sore harinya, Pak Tani kembali ke ladang. "Nah, ini dia pencurinya! " Pak Tani senang melihat jebakannya berhasil. "Rupanya kau yang telah merusak ladang dan mencuri timunku." Pak Tani tertawa ketika melepaskan Kancil. "Katanya kancil binatang yang cerdik," ejek Pak Tani. "Tapi kok tertipu oleh orang-orangan ladang. Ha... ha... ha.... " Kancil pasrah saja ketika dibawa pulang ke rumah Pak Tani. Dia dikurung di dalam kandang ayam. Tapi Kancil terkejut ketika Pak Tani menyuruh istrinya menyiapkan bumbu sate. " Aku harus segera keluar malam ini j uga I " tekad Kancil. Kalau tidak, tamatlah riwayatku. " Malam harinya, ketika seisi rumah sudah tidur, Kancil memanggil-manggil Anjing, si penjaga rumah. "Ssst... Anjing, kemarilah," bisik Kancil. "Perkenalkan, aku Kancil. Binatang piaraan baru Pak Tani. Tahukah kau? Besok aku akan diajak Pak Tani menghadiri pesta di rumah Pak Lurah. Asyik, ya?" Anjing terkejut mendengarnya. "Apa? Aku tak percaya! Aku yang sudah lama ikut Pak Tani saja tidak pernah diajak pergi. Eh, malah kau yang diajak." Kancil tersenyum penuh arti. "Yah, terserah kalau kau tidak percaya. Lihat saja besok! Aku tidak bohong! " Rupanya Anjing terpengaruh oleh kata-kata si Kancil. Dia meminta agar Kancil membujuk Pak Tani untuk mengajakn-ya pergi ke pesta. "Oke, aku akan berusaha membujuk Pak Tani," janji Kancil. "Tapi malam ini kau harus menemaniku tidur di kandang ayam. Bagaimana?" Anjing setuju dengan tawaran Kancil. Dia segera membuka gerendel pintu kandang, dan masuk. Dengan sigap, Kancil cepat-cepat keluar dari kandang. "Terima kasih," kata Kancil sambil menutup kembali gerendel pintu. "Maaf Iho, aku terpaksa berbohong. Titip salam ya, buat Pak Tani. Dan tolong sampaikan maafku padanya." Kancil segera berlari meninggalkan rumah Pak Tani. Anjing yang malang itu baru menyadari kejadian sebenarnya ketika Kancil sudah menghilang. Kancil yang cerdik, temyata mudah diperdaya oleh Pak Tani. Itulah sebabnya kita tidak boleh takabur CINDERELLA Di sebuah kerajaan, ada seorang anak perempuan yang cantik dan baik hati. Ia tinggal bersama ibu dan kedua kakak tirinya, karena orangtuanya sudah meninggal dunia. Di rumah tersebut ia selalu disuruh mengerjakan seluruh perkerjaan rumah. Ia selalu dibentak dan hanya diberi makan satu kali sehari oleh ibu tirinya. Kakak-kakaknya yang jahat memanggilnya "Cinderela". Cinderela artinya gadis yang kotor dan penuh dengan debu. "Nama yang cocok buatmu !" kata mereka. Setelah beberapa lama, pada suatu hari datang pengawal kerajaan yang menyebarkan surat undangan pesta dari Istana. "Asyik… kita akan pergi dan berdandan secantik-cantiknya. Kalau aku jadi putri raja, ibu pasti akan gembira", kata mereka. Hari yang dinanti tiba, kedua kakak tiri Cinderela mulai berdandan dengan gembira. Cinderela sangat sedih sebab ia tidak diperbolehkan ikut oleh kedua kakaknya ke pesta di Istana. "Baju pun kau tak punya, apa mau pergi ke pesta dengan baju sepert itu?", kata kakak Cinderela. Setelah semua berangkat ke pesta, Cinderela kembali ke kamarnya. Ia menangis sekeras-kerasnya karena hatinya sangat kesal. "Aku tidak bisa pergi ke istana dengan baju kotor seperti ini, tapi aku ingin pergi.." Tidak berapa lama terdengar sebuah suara. "Cinderela, berhentilah menangis." Ketika Cinderela berbalik, ia melihat seorang peri. Peri tersenyum dengan ramah. "Cinderela bawalah empat ekor tikus dan dua ekor kadal." Setelah semuanya dikumpulkan Cinderela, peri membawa tikus dan kadal tersebut ke kebun labu di halaman belakang. "Sim salabim!" sambil menebar sihirnya, terjadilah suatu keajaiban. Tikus-tikus berubah menjadi empat ekor kuda, serta kadal-kadal berubah menjadi dua orang sais. Yang terakhir, Cinderela berubah menjadi Putri yang cantik, dengan memakai gaun yang sangat indah. Karena gembiranya, Cinderela mulai menari berputar-putar dengan sepatu kacanya seperti kupu-kupu. Peri berkata,"Cinderela, pengaruh sihir ini akan lenyap setelah lonceng pukul dua belas malam berhenti. Karena itu, pulanglah sebelum lewat tengah malam. "Ya Nek. Terimakasih," jawab Cinderela. Kereta kuda emas segera berangkat membawa Cinderela menuju istana. Setelah tiba di istana, ia langsung masuk ke aula istana. Begitu masuk, pandangan semua yang hadir tertuju pada Cinderela. Mereka sangat kagum dengan kecantikan Cinderela. "Cantiknya putrid itu! Putri dari negara mana ya ?" Tanya mereka. Akhirnya sang Pangeran datang menghampiri Cinderela. "Putri yang cantik, maukah Anda menari dengan saya ?" katanya. "Ya…," kata Cinderela sambil mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Mereka menari berdua dalam irama yang pelan. Ibu dan kedua kakak Cinderela yang berada di situ tidak menyangka kalau putrid yang cantik itu adalah Cinderela. Pangeran terus berdansa dengan Cinderela. "Orang seperti andalah yang saya idamkan selama ini," kata sang Pangeran. Karena bahagianya, Cinderela lupa akan waktu. Jam mulai berdentang 12 kali. "Maaf Pangeran saya harus segera pulang..,". Cinderela menarik tangannya dari genggaman pangeran dan segera berlari ke luar Istana. Di tengah jalan, sepatunya terlepas sebelah, tapi Cinderela tidak memperdulikannya, ia terus berlari. Pangeran mengejar Cinderela, tetapi ia kehilangan jejak Cinderela. Di tengah anak tangga, ada sebuah sepatu kaca kepunyaan Cinderela. Pangeran mengambil sepatu itu. "Aku akan mencarimu," katanya bertekad dalam hati. Meskipun Cinderela kembali menjadi gadis yang penuh debu, ia amat bahagia karena bisa pergi pesta. Esok harinya, para pengawal yang dikirim Pangeran datang ke rumah-rumah yang ada anak gadisnya di seluruh pelosok negeri untuk mencocokkan sepatu kaca dengan kaki mereka, tetapi tidak ada yang cocok. Sampai akhirnya para pengawal tiba di rumah Cinderela. "Kami mencari gadis yang kakinya cocok dengan sepatu kaca ini," kata para pengawal. Kedua kakak Cinderela mencoba sepatu tersebut, tapi kaki mereka terlalu besar. Mereka tetap memaksa kakinya dimasukkan ke sepatu kaca sampai lecet. Pada saat itu, pengawal melihat Cinderela. "Hai kamu, cobalah sepatu ini," katanya. Ibu tiri Cinderela menjadi marah," tidak akan cocok dengan anak ini!". Kemudian Cinderela menjulurkan kakinya. Ternyata sepatu tersebut sangat cocok. "Ah! Andalah Putri itu," seru pengawal gembira. "Cinderela, selamat..," Cinderela menoleh ke belakang, peri sudah berdiri di belakangnya. "Mulai sekarang hiduplah berbahagia dengan Pangeran. Sim salabim!.," katanya. Begitu peri membaca mantranya, Cinderela berubah menjadi seorang Putri yang memakai gaun pengantin. "Pengaruh sihir ini tidak akan hilang walau jam berdentang dua belas kali", kata sang peri. Cinderela diantar oleh tikus-tikus dan burung yang selama ini menjadi temannya. Sesampainya di Istana, Pangeran menyambutnya sambil tersenyum bahagia. Akhirnya Cinderela menikah dengan Pangeran dan hidup berbahagia. ASAL USUL DANAU TOBA Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. "Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar," gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar. Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. "Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku." Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. "Bermimpikah aku?," gumam petani. "Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata," kata gadis itu. "Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu," kata gadis itu seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat. Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama petani tersebut. "Dia mungkin bidadari yang turun dari langit," gumam mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. "Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk halus! " kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja. Setahun kemudian, kebahagiaan Petan dan istri bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri. Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. "Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!" kata Petani kepada istrinya. "Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik," puji Puteri kepada suaminya. Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. "Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !," umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu. Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir. Moral : Jadilah seorang yang sabar dan bisa mengendalikan emosi. Dan juga, jangan melanggar janji yang telah kita buat atau ucapkan. DAVID SAYANG PAPA David duduk di bangku taman sambil menggoyang-goyangkan kakinya lesu. Doggy, anjing kecilnya, menguik-nguik mengitari kaki majikan kecilnya "Jangan bersedih. Ayo, kita bermain," mungkin itu yang dikatakan Doggy. Dari kejauhan, David melihat seorang anak perempuan bermain ayunan ditemani kedua orangtuanya. Dia memekik kesenangan ketika ayunan melambung tinggi. "Walaupun hanya punya papa, aku pun tak kalah bahagianya dengan mereka yang punya papa dan mama," batin David. Dia lalu duduk di ujung papan jungkat-jungkit. Dengan mata sayu dipandanginya papan kosong di seberangnya. Tiap akhir pekan David dan papanya selalu datang ke taman mini. Mereka akan memberi makan merpati, mencoba golf mini, naik undak-undakan pasir… tapi yang paling disukainya adalah naik papan jungkat-jungkit sambil makan es krim. Saat itu, mereka bisa ngobrol tentang banyak hal. "Kira-kira peran apa yang akan kamu mainkan, David?" tanya papanya menjelang lomba drama antar sekolah. "Yaa…saat pelajaran kesenian tadi, Bu Grasie memberitahukannya Jimi jadi Raja, Kris jadi Putri…sedangkan aku, jadi pangeran yang dikutuk jadi kodok," ucap David lemah," Selama pertunjukan aku akan berpakaian kodok berwarna hijau menyebalkan!" "Wow! Pakaian kodok! Betapa hebatnya peran itu. Semua orang tahu, betapa sulitnya berperan sebagai binatang. Papa yakin, Bu Grasie tahu kemampuan aktingmu yang hebat. Makanya dia memilihmu. Hm, hm, penonton pasti bertanya-tanya, siapa tokoh besar di balik pakaian kodok. Sesuai pertunjukan, Papa akan mengatakan pada mereka, 'Itu anakku, David. Dia bermain dengan sangat baik, bukan?" Mendengar papanya mengucapkan kalimat itu dengan mata berbinar-binar, David yang mulanya membenci peran kodoknya, pelan-pelan mulai menyukai perannya. Dia berlatih penuh semangat. Dan memang akhirnya sekolah David berhasil menjadi juara ke dua. David juga terpilih menjadi pemain favorit. Papanya memang selalu membuatnya menjadi anak yang berarti. "Itu dulu. Sekarang Papa tak lagi menginginkanku," desisinya sambil tetap memanang ujung papan jungkat-jungkit yang kosong. Kemarin, Bibi Katya, adik papanya datang. Tak sengaja, David mendengar percakapan Bibi Katya dan papanya. "David bukan anak kandungmu… Biar dia tinggal bersamaku," bisik Bibi Katya. Papanya kemudian berkata, "Kalau begitu, besok David boleh tinggal bersamamu." Lamunan David buyar ketika tiba-tiba Doggy melompat ke dadanya. Tampaknya dia bosan dicuekin. David memeluk erat. Dulu Doggy dipungutnya dari dalam kardus bertuliskan PELIHARALAH SAYA. Hal itu biasa dilakukan terhadap anjing-anjing yang dibuang pemiliknya. "Nasib kita sama, Doggy. Aku pun diambil Papa dari panti asuhan." Doggy tak mungkin diserahkannya pada orang lain meskipun dibayar. "Pasti Papa punya alasan sendiri…kalau tidak, tak mungkin aku diserahkan pada Bibi Katya," David mencoba menghibur dirinya sendiri. Setibanya di rumah, David melihat dua koper berjejer di samping tangga. Isinya pasti pakaianku, pikir David sedih. Dia melihat papanya turun dari tangga sambil menenteng satu koper lagi. "Ah, sudah pulang rupanya. Sejak pagi Papa mencarimu," papanya tersenyum lebar. Davis berusaha keras menahan air matanya. "Bersiap-siaplah. Sebentar lagi Bibi Katya menjemput. Papa betul-betul minta maaf, semalam tak sempat mengatakannya padamu. Rencananya pagi ini Papa akan memberitahu, tapi kamu ke taman, ya?" David tetap diam. Dia mengikuti papanya ke ruang makan. Sebentar lagi, papanya pasti akan mengatakan," David, kamu bukan anakku. Aku tak menyayangimu lagi. "David benar-benar ngeri membayangkannya. "David…" papanya mulai bicara," Kamu tahu kalau Bibi Katya tak punya anak. Dia dan suaminya memutuskan untuk mengangkat anak laki-laki seusiamu. Tapi mereka takut tak dapat mebahagiakan anak itu. Semalam Bibi Katya meminta Papa agar mengizinkanmu tinggal bersamanya selama dua minggu. Hanya untuk memastikan bahwa mereka telah siap menjadi orang tua yang baik. Karena sekarang kamu libur sekolah, Papa pikir, tidak ada salahnya kamu tinggal bersama mereka selama dua minggu. Kamu bersedia menolong mereka,kan?" David membelalakkan mata. "Papa harap, seminggu lagi kamu sudah kembali. Dua minggu tanpamu pasti membosankan. Tak ada yang memijat kaki Papa, tak ada yang menyambut Papa pulang kantor…dan tak ada yang mengucapkan 'selamat malam' ketika akan tidur." David segera memeluk papanya erat-erat,"Pa, aku akan segera kembali. Karena aku sayang Papa sebanyak bulu Doggy." Papa David terkekeh, "Kalau bulu Doggy rontok, apakah sayangmu juga lenyap?" David menggeleng kuat-kuat, "Aku akan lebih menyayangi Papa. Tidak sebanyak bulu Doggy saja, tapi sebanyak bulu anjing di seluruh dunia ini." David tak peduli lagi walaupun Papa bukan papa kandungnya. Yang penting dia menyayangi papanya dan Papa menyanyanginya. ASAL MULA GUNUNG BATU BANAWA (LEGENDA CERITA KALIMANTAN SELATAN) Konon pada jaman dahulu kala, di Desa Pagat, Kalimantan Selatan, hiduplah seorang janda tua bernama Diang Ingsung dengan seorang anaknya yang bernama Raden Penganten. Kehidupan mereka berdua diliputi dengan rasa kasih sayang, karena keluarga itu hanya terdiri dari dua orang sehingga tidak ada anggota keluarga lain tempat membagi kecintaannya. Kehidupan mereka sangat sederhana. Mereka hanya hidup dari alam sekitarnya, tanaman hanya terbatas pada halaman rumahnya, demikian pula perburuannya terbatas pada binatang-binatang yang ada di sekitar desa mereka. Karena itulah maka pada uatu hari Raden Penganten berminat untuk pergi merantau, mencari pengalaman dan kehidupan baru di negeri orang. Demikian keras kehendak Raden Penganten, sehingga walaupun ia dihalang-halangi dan dilarang ibunya, ia tetap juga pada kemauannya. Akhirnya, si ibu hanya tinggal berpesan kepada anak satu-satunya yang ia kasihi, agar anaknya membelikan sekedar oleh-oleh apabila anaknya kembali dari perantauan. Maka, berangkatlah Raden Penganten ke sebuah negeri yang jauh dari desanya. Di sana ia dapat memperoleh rezeki yang banyak, karena selalu jujur dalam setiap perbuatannya. Di sana ia dapat pula menabungkan uangnya hingga dapat membeli barang-barang yang berharga untuk dapat dibawa kembali kelak. Di perantauan, Raden Penganten dapat pula menikah dengan seorang putri dari negri tersebut yang cantik paras mukanya. Demikianlah maka Raden Penganten dapat tinggal di perantauannya, untuk beberapa tahun lamanya. Pada suatuketika timbullah niat Raden Penganten untuk kembali ke negerinya dan menjumpai ibunya yang telah lama ia tinggalkan. Dibelinya sebuah kapal, lalu dipenuhi dengan barang-barang. Pada saat yang telah ditentukan, berangkatlah ia bersama istrinya menuju kampung halaman di mana ibunya tinggal. Berita kedatangannya itu terdengar pula oleh ibunya. Ibunya yang sekarang telah tua, dengan sangat tergesa-gesa datang ke pelabuhan untuk menjemput anaknya yang tercinta. Namun ketika sampai di pelabuhan, betapa kecewanya hati Diang Ingsung, jangankan mendapat oleh-oleh yang dipesannya dulu, mengakui dirinya sebagai ibu yang telah melahirkannya pun, Raden Penganten tidak mau. Rupanya, di depan istrinya yang cantik jelita, ia merasa malu mengakui Diang Ingsung yang telah tua renta dan berpenampilan sangat bersahaja itu sebagai ibunya. Betapa besar rasa kecewa dan sakit hati Diang Ingsung. Tapi ia masih berusaha menginsafkan anaknya yang durhaka itu, tapi Raden Penganten tetap membantah dan tetap tidak mau mengakui ibunya itu. Ia malahan membelokkan kapalnya mengarah ke tujuan lain meninggalkan pelabuhan dan Diang Ingsung yang hancur hatinya karena perbuatan anaknya yang durhaka. Dengan hati yang penuh diliputi rasa kecewa dan putus asa, Diang Ingsung lalu memohon kepada yang Maha Kuasa agar anaknya mendapat balasan yang setimpal dengan kedurhakaan terhadap dirinya. Seketika itu juga datanglah badai dan topan menghempaskan kapal Raden Penganten hingga pecah menjadi dua. Tentu saja seluruh isi kapal itu termasuk anaknya yang durhaka tenggelam dan binasa. Adapun bekas pecahan kapal itu kemudian berunah menjadi gunung batu yang kemudian dinamakan Gunung Batu Banawa. Pesan Moral: Perbuatan durhaka terhadap orang tua sangat dimurkai oleh Tuhan. Seorang anak seharusnya berbakti, mengasihi dan menyayangi orangtua yang telah melahirkan, mengasuh dan membesarkannya RAJA DAN KURA-KURA (DETIL DARI INDIA) Di Benares, India, hidup seorang raja yang sangat gemar berbicara. Apabila ia sudah mulai membuka mulutnya, tak seorang pun diberi kesem-patan menyela pembicara-annya. Hal ini sangat mengganggu menterinya. Sang menteri pun selalu memikirkan cara terbaik menghilangkan kebiasaan buruk rajanya itu Pada suatu hari raja dan menterinya pergi berjalan-jalan di halaman istana. Tiba-tiba mereka melihat seekor kura-kura tergeletak di lantai. Tem-purungnya terbelah menjadi dua. "Sungguh ajaib!" kata Sang Raja de-ngan heran. "Ba-gaimana hal ini dapat terjadi?" Lalu Raja mulai dengan dugaan-du-gaannya. Dia terus-menerus membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dengan kura-kura itu. Sang Menteri hanya mengangguk-anggukkan kepala menunggu kesem-patan berbicara. Kemu-dian dia merasa menemukan cara terbaik untuk menghilangkan kebiasaan buruk Sang Raja. Ketika Sang Raja me-narik napas untuk berbi-cara lagi, Sang Menteri segera menukas dan berkata, "Paduka, saya tahu kejadian sebenarnya yang dialami kura-kura naas ini!" "Benarkah? Bila begitu, lekas katakan," kata Raja penuh rasa ingin tahu. Dengan penuh keseriusan Sang Raja mendengarkan cerita menterinya. Sang Menteri pun mulai bercerita. Kura-kura itu awalnya tinggal di sebuah danau di dekat pegunungan Hima-laya. Di sana terdapat juga dua ekor angsa yang selalu mencari makan di danau tersebut. Mereka pun akhirnya bersahabat. Pada suatu hari dua ekor angsa itu menemui kura-kura yang sedang berjemur di tepi danau. "Kura-kura, kami akan segera kembali ke tempat asal kami yang terletak di gua emas di kaki Gunung Tschittakura. Daerah tempat tinggal kami adalah daerah terindah di dunia. Tidak-kah engkau ingin ikut kami ke sana?" tanya Sang Angsa. "Dengan senang hati aku akan turut denganmu," sahut kura-kura riang. "Tetapi, sayangnya aku tak dapat terbang seperti kalian," lanjutnya dengan wajah mendadak sedih. "Kami akan memban-tumu agar dapat turut bersama kami ke sana. Tapi selama dalam perjalanan kamu jangan berbicara karena akan membahayakan dirimu," kata angsa. "Aku akan selalu mengingat laranganmu. Bawalah aku ke tempat kalian yang indah itu," janji kura-kura. Lalu kedua angsa tersebut meminta kura-kura agar meng-gigit sepotong bambu. Kemudian kedua angsa tersebut menggigit ujung-ujung bambu dan mereka pun terbang ke angkasa. Ketika kedua angsa itu sudah terbang tinggi, be-berapa orang di Benares melihat pe-mandangan unik tersebut. Mereka pun tertawa terbahak-bahak sambil berteriak. "Coba, lihat! Sungguh lucu. Ada dua ekor angsa membawa kura-kura dengan sepotong bambu." Kura-kura yang suka sekali bicara merasa tersinggung ditertawakan. Dia pun lupa pada lara-ngan kedua sahabatnya. Dengan penuh kemarah-an dia berkata, "Apa anehnya? Apakah manusia itu sedemiki-an bodohnya sehingga merasa aneh melihat hal seperti ini?" Ketika kura-kura membuka mulutnya untuk berbicara, dua ekor angsa itu sedang terbang di istana. Kura-kura pun terlepas dari bilah bambu yang digigitnya. Dia terjatuh tepat di sini dan tempurungnya terbelah dua. "Kalau saja kura-kura itu tidak suka berbicara berlebih-lebihan, tentu sekarang dia telah tiba di tempat sahabatnya," kata Sang Menteri mengakhiri ceritanya sambil memandang Sang Raja. Pada saat bersamaan Raja pun memandang menterinya. "Sebuah cerita yang menarik," sahut Sang Raja sambil tersenyum. Dia menyadari kemana arah pembicaraan menterinya. Sejak saat itu, Sang Raja mulai menghemat kata-katanya. Dia tidak lagi banyak bicara. Tentu saja Sang Menteri amat senang melihat kenyataan itu. PELANGI DISAYAP TUTUN Tutun adalah seekor kupu-kupu kecil. Ia senang sekali melihat pelangi. Warna pelangi yang indah mengingatkan Tutun pada sayap ibunya. Sayapnya sendiri sebenarnya indah berwarna kuning. Tetapi Ia tidak senang melihatnya. Ia merasa tidak secantik ibunya. “Ibu, mengapa sayapku tidak secantik sayap ibu?” tanya Tutun suatu hari. Sore itu hari habis hujan dan pelangi muncul dibalik titik hujan. “Aku ingin punya sayap pelangi seperti ibu,” kata Tutun lirih. “Anakku, sayapmu cantik. Tidak ada yang salah dengan sayap itu,” jawab ibunya. “Sayapku jelek Bu, tidak seperti pelangi. Aku malu punya sayap seperti ini,” kata Tutun lagi. “Nak, tidak ada sayap kupu-kupu yang jelek. Lihat sayapmu mirip bunga-bunga yang ada di taman ini,” jawab ibu. Ibu kupu-kupu memandang Tutun dengan sayang. Sayap pelanginya membelai sayap Tutun perlahan. Tutun terdiam. Memang, warna sayapnya mirip dengan bunga matahari. Tetapi dibandingkan dengan warna bunga mawar atau kembang sepatu, sayapnya tidak mirip sama sekali. Tutun merasa sedih. Perutnya yang lapar tidak dirasakannya. Ia terdiam cukup lama di atas bunga mawar yang cantik sampai ibunya mengajak pulang. Pada suatu hari Tutun terbang sendiri di hari yang cerah. Hari itu ia lupa pada mimpinya mempunyai sayap pelangi karena bunga-bunga di taman memancarkan bau harum yang menggoda seleranya. Sayapnya yang mungil dengan lincah menerbangkan Tutun ke atas bunga-bunga yang madunya terasa manis di mulut. Ia beterbangan dari satu bunga ke bunga lainnya sampai kelelahan. Kemudian dia beristirahat diatas kuntum bunga sambil membersihan kakinya dari serbuk-sebuk bunga yang menempel. “Kak, lihat ada kupu-kupu cantik, “ tiba-tiba suara anak kecil mengejutkan Tutun. Telunjuk anak itu mengarah kepadanya Tutun melihat ke kanan dan ke kiri, kalau-kalau yang dimaksud anak itu adalah kupu-kupu lain. Tetapi ia hanya sendiri di taman itu, “Ayo kita tangkap. Ayo, kak, cepat,” teriak anak kecil itu lagi. Kedua anak itu berlarian ke arah Tutun. Tutun yang sedang kelelahan tidak sempat terbang menghindar. Ia ditangkap dan dimasukan kedalam plastik bening yang dibawa anak itu. “Aku tak bisa bernafas! Tolong aku ibu !” teriak Tutun. Anak kecil itu tidak dapat mendengar suara Tutun, demikian juga ibunya yang berada jauh dari taman itu. “Tolong aku, jangan tangkap aku!” teriak Tutun. Tapi sia-sia. Ia merasakan tubuhnya berguncang-guncang karena ank itu membawa kantung plastik yang berisi tutun sambil berlari kegirangan . Tutun mulai menangis. Sesampai dirumah, Tutun dipindahkan ke dalam sebuah gelas tertutup. Ia tidak bisa terbang karena gelas itu kecil sekali. Sesekali tutup gelas itu dibuka sedikit dan jari anak kecil itu membelai sayapnya dengan lembut. “Kak, rasakan sayapnya. Lembut sekali ya seperti beludru,” kata anak yang lebih kecil. Anak yang satu lagi mengangguk. Mereka tidak henti-hentinya mengagumi keindahan ayap Tutun. Gelas itu diletakan diletakan di dekat jendela. Tutun dapat melihat keluar jendela., ke arah taman tempat ia bermain tadi. Sambil merenung ia teringat pada ibunya. Aku ingin terbang bebas, kembali ke rumah. Sayap kuningnya terkulai tak berdaya. Dalam tidurnya, Tutun bermimpi memiliki sayap seperti pelangi. Tetapi tidak dapat terbang karena tertempel pada sebuah papan yang dilapisi kaca. Tubuhnya beku dan tidak dapat digerakkan. Banyak orang yang mengagumi sayapnya yang indah seperti pelangi. Ia hanya dapat menangis karena ia tidak dapat terbang lagi. Tetapi tiba-tiba...ia merasa tubuhnya ringan sekali. Ia dapat bernafas dengan lega dan sayapnya dapat bergerak lagi. Tutun terbangun dari tidurya dan....memang benar ia dapat terbang lagi. Anak kecil yang tadi menangkapanya telah melepaskan dan membukakan jendela untuk Tutun. Ia terbang keluar jendela dengan hati riang. “Terbang ya kupu-kupu, nanti kita main lagi di taman “ didengarnya anak itu berteriak padanya. “Horee!!” teriak Tutun. “Aku bebas!” Matahari terasa hangat disayapnya yang kuning. Mulai saat itu walaupun sayapnya tidak seindah pelangi, Tutun bahagia karena ia dapat terbang kemanapun ia mau . Ia tidak malu lagi dengan sayap kuningnya. Sampai sekarang Tutun masih senang melihat pelangi, karena bila ia sedang sendirian, pelangi mengingatkannya pada sayap ibunya yang indah IKAN SALEM YANG GIGIH Alkisah hiduplah sekelompok ikan salem di lautan. Ikan salem hidup berkelompok dan mencari makan di laut lepas bersama-sama. Suatu ketika, tibalah saatnya ikan-ikan salem berkembang biak. Salem betina bertelur di atas karang-karang di dasar laut, kemudian telur-telur itu dibuahi oleh telur-telur salem jantan. Tetapi sayang, belum sempat telur itu menjadi anak, banyak binatang lain yang memangsanya. Pemangsa telur-telur itu diantaranya adalah kepiting, penyu, dan ikan-ikan lainnya. Tentu saja hal itu membuat ikan salem murka. Kalau hal itu berlanjut terus, maka bisa dipastikan ikan-ikan salem akan punah. Suatu hari datanglah seekor kepiting merusak telur-telur ikan salem. Ikan salem betina mengadukan hal itu kepada ikan salem jantan ketika dilihatnya seekor kepiting sedang memakan telur-telur ikan salem. Ikan salem jantan marah bukan kepalang lalu segera menghampiri kepiting yang sedang melahap telur. "Hai kepiting! Kenapa kau makan telur-telur kami?! tegur ikan salem jantan murka. "Memang kenapa? Bukankah telur-telurmu ini enak sekali untuk dimakan?" sahut kepiting membuat ikan salem jantan bertambah murka. "Kepiting jahat! Teganya kau makan telur-telur kami. Bagaimana kami bisa berkembangbiak nanti? Tidak lama lagi kamu pasti akan punah, tidak punya keturunan." Seru ikan salem betina sambil menangis."Biar saja yang penting aku tidak kelaparan!" sahut kepiting acuh. Mendengar ucapan kepiting yang menyakitkan itu, ikan salem jantan langsung menyerang kepiting. Kepiting mencoba melawan dengan menggunakan capitnya yang besar. Terjadilah perkelahian yang seru antara ikan salem jantan dengan kepiting. Capit kepiting sebelah kiri patah oleh serangan ikan salem jantan. Namun ikan salem jantan pun tubuhnya luka-luka karena terkena jepitan capit kepiting. Melihat ikan salem jantan luka-luka, ikan salem betina tidak tinggal diam. Dengan gerakan cepat ikan salem betina ikut menyerang kepiting dari arah belakang. Akibat serangan itu kepiting kehilangan kedua capitnya. Kepiting itupun lari setelah kehilangan kedua senjatanya. Ikan-ikan salem yang lain menyambut gembira dengan kemenangan ikan salem itu. Ikan salem jantan memuji ikan salem betina yang dengan berani membantu ikan salem jantan, sehingga kepiting itu lari ketakutan. Ikan salem kembali hidup dengan tenang. Setelah kejadian itu kepiting tidak pernah muncul lagi mengganggu telur-telur ikan salem. Tetapi ketenteraman ikan-ikan salem tidak berlangsung lama, karena sekelompok udang raksasa telah mengintai telur-telur mereka di malam hari. Keadaan itu tentu saja membuat ikan-ikan salem gelisah kembali. Sebab bagaimana mungkin mereka dapat melawan udang-udang raksasa itu, sedangkan udang-udang raksasa itu selalu beraksi di malam hari, di saat ikan-ikan salem sedang tertidur lelap. Untuk memecahkan masalah itu, ikan-ikan salem berunding. "Aku mempunyai usul...!" ujar salah satu ikan salem jantan. "Ya, bagaimana usulmu kawan?" tanya ikan salem jantan lainnya. "Begini, bagaimana kalau mulai malam nanti kita semua tidak usah tidur. Kita semua berjaga-jaga untuk melawan udang raksasa." Seru ikan salem itu. Bukankah kita sudah lelah seharian mencari makan, mana mungkin kita kuat tidak tidur semalaman, sedangkan esok hari kita harus mencari makan lagi." Ujar ikan salem betina merasa keberatan. "Betul..., betul..." ujar ikan salem betina lainnya. "Baik, baiklah begini saja. Bagaimana kalau ikan salem jantan saja berjaga bergantian. Sedangkan ikan salem betina tidak usah berjaga. Namun bila ada udang raksasa datang menyerang, kita semua harus bangun untuk melawannya bersama-sama. Bagaimana, setuju semua?" usul ikan salem yang paling besar. "Setuju, kami semua setuju!" akhirnya mereka semua sepakat dengan keputusan itu. Hari menjelang sore. Matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Ikan-ikan salem terlihat sedang beristirahat karena kelelahan. Tiba saatnya ikan-ikan salem jantan bergantian jaga malam untuk melindungi telur-telurnya dari serangan udang raksasa. Hingga hari menjelang malam, keadaan sepi-sepi saja. Tidak nampak seekor binatang lain yang mengganggu. "Hei kawan..., bangunlah. Kini giliran kamu yang berjaga." Bisik salah satu ikan salem yang sudah mengantuk. "Apa?" sahut ikan salem yang baru saja terbangun. "Baiklah sekarang giliranku untuk berjaga. Silakan kamu beristirahat." "Baiklah, aku lelah sekali. Berhati-hatilah kamu, kalau ada kejadian cepat bangunkan teman-teman semua." Pesan ikan salem itu. Tak lama kemudian ikan salem itu tidur. Giliran ikan salem yang baru terbangun itu berjaga. Matanya yang masih lekat itu memandangi telur-telur yang ada di atas karang. Kelihatannya aman tidak ada apa-apa, pikirnya dengan hati agak tenang. Namun beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja datang sekawanan udang raksasa dari arah selatan. Udang-udang raksasa itu sengaja datang di tengah malam untuk memakan telur-telur ikan salem. Ikan salem yang sedang berjaga segera bersembunyi setelah mengetahui kedatangan udang-udang raksasa itu. "Wah! jumlah mereka banyak sekali." Pikir ikan salem itu. Udang-udang raksasa tersebut lalu menuju ke tempat telur-telur ikan salem itu berada. Sedangkan ikan salem yang berjaga segera melaporkan kejadian itu kepada teman-temannya. "Sssss... perlahan-lahan, nampaknya ikan-ikan salem itu tertidur semua. Ayo kita makan telur-telur mereka sampai habis." Ucap salah seekor udang yang paling besar. "Ya benar, tetapi janganlah terlalu lama karena nanti bisa ketahuan oleh ikan-ikan salem itu." Seru udang raksasa yang lain. Pada saat yang bersamaan ikan salem itu sudah membangunkan semua temannya. Mereka semua telah siap bertarung mati-matian untuk mempertahankan telur-telur mereka. Kemudian ikan-ikan salem itu berpencar untuk mengepung udang-udang raksasa dari segala arah. Tak ketinggalan yang betina pun ikut bertarung. Tidak berapa lama terjadilah pertarungan yang seru antara kelompok ikan salem dan kelompok udang raksasa. Namun dalam pertarungan tersebut ikan salem banyak yang gugur, terutama ikan salem jantan. Tidak sedikit pula ikan salem betina yang gugur demi membela telur-telur mereka. "Wahai salem betina! Mengungsilah kalian ke tempat yang aman dan selamatkanlah telur-telur itu agar menetas di sana!" teriak seekor ikan salem jantan. "Lantas bagaimana dengan nasib kalian!?" seekor ikan salem betina bertanya. "Tidak usah pikirkan kami, kami akan berjuang mati-matian melawannya! Cepatlah pergi, sebelum terlambat!" sahut ikan salem jantan. "Baiklah kalau begitu, mari kita cepat berangkat!" ajak ikan salem betina kepada ikan salem betina lainnya. "Tapi kemana kita hendak pergi?" tanya seekor ikan salem betina."Sebaiknya kita pergi ke hulu sungai saja, di sana pasti aman." Seekor ikan salem betina menyarankan. "Tetapi hulu sungai itu kan sulit dijangkau." Sahut ikan salem betina lain. "Memang betul, untuk mencapai hulu kita harus melawan arus dan mendaki. Tapi kita harus berjuang menyelamatkan telur-telur kita agar bisa sampai ke hulu dan bisa menetas di sana. Lihatlah ikan-ikan salem jantan! Mereka rela mati untuk membela kita, maka kita pun harus rela berkorban demi menyelamatkan telur-telur kita." Sahut seekor ikan salem betina dengan bijak. "Baiklah, mari kita berangkat." Mereka segera berduyun-duyun menuju muara sungai dengan membawa telur-telurnya. Sesampainya di muara mereka dengan sekuat tenaga mendaki menuju hulu sungai dengan melawan arus yang deras. Perjuangan ikan salem betina tak kalah kerasnya dengan perjuangan salem jantan. Banyak ikan salem betina yang gugur karena terkena batu-batu yang runcing saat melompati tebing, salem jantan pun banyak yang mati terkena cabikan udang raksasa yang ganas. Beberapa ikan salem betina akhirnya sampai pada hulu sungai dengan selamat. Mereka bahagia dapat menyelamatkan telur-telur mereka sampai di hulu. Walaupun akhirnya mereka itu harus mati karena kelelahan.*** Kesimpulan : Dari cerita ini bisa kita ambil pelajaran bahwa setiap orang tua akan selalu memperjuangkan anaknya agar dapat hidup mandiri, walaupun banyak tantangan yang akan dihadapinya. Maka dari itulah sudah sepantasnya kalau kita sebagai anak harus patuh, taat, dan berbakti kepada orang tua kita. PENGEMIS DAN BURUNG HANTU Pada suatu Warna merah di langit sudah berangsur hilang. Peran matahari untuk menerangi jagad raya telah di gantikan oleh sang bulan. Sebagian burung-burung kini sudah mendiami sarangnya masing-masing dan siap untuk tidur. Hanya burung hantu yang berbeda. Burung hantu tidak seperti burung yang lain. Justru pada malam harilah dia keluar dan bekerja mencari mangsa, sementara burung lain sudah terlelap dalam mimpi. Seekor burung hantu terbang menuju suatu tempat di bawah pohon beringin yang lebat daunnya. Pada saat yang sama seorang pengemis mencoba membuka bekal makanannya. Dia mendengar seekor burung hinggap di dahan pohon beringin. Ia tak mengacuhkannya. Rasa lapar dan dahaga telah mengalahkan segala perasaannya. Dibukanya bungkusan yang telah disiapkan tadi pagi. Dengan lahap nasi dingin yang hanya berlaukan terasi dan tempe itu telah pindah kekerongkongannya. Baru saja sesuap nasi masuk ke perutnya yang kerempeng, seekor burung hantu hingap di pundaknya. Merasa iba dengan burung yang nampaknya sama-sama lapar, pengemis tua itu memberikan beberapa suap nasi untuk sang burung malam. Namun, apa dikata. Burung hantu itu nampoak lapar sekali. Mungkin sudah beberapa hati ia tidak makan. Dengan cepat sekali burung hantu itu mematuki semua makanan yang berada dibungkusan. Dan dalam sekejap, isi bungkusan itu telah berpindah keperut burung hantu tersebut. Mengetahui semua bekalnya telah dilalap habis, ia menjadi marah sekali. Segera pengemis itu melebarkan sarung yang dipakainnya dan ia segera ingin menangkap burung malam itu untuk di penjarakan di sangkar burung di rumahnya yang sepi. Dengan rasa bangga sang pengemis itu pun membawa pulang hasil tangkapannya itu. Langkah demi langkah ia melangkah gontai. Dan sampailah ia didepan gubuk reyot. Ia mengetuk sebuah pintu yang sudah lapuk dimakan rayap. Seorang lelaki kecil,anak dari pengemis itu membukakan pintu. Matanya sembab nampaknya ia baru saja menangis. " ada apa Nak?" Tanya pengemis itu. " Burung perkutut kebanggaan ayah itu telah aku lepaskan. Ayah tentu akan sangat marah kepadaku," jawab lelaki kecil itu. Anak kecil itu menceritakan sebab-sebabnya dia melepaskan burung perkutut itu. Sesuai pesan ayahnya,lelaki kecil itu hanya berdiam diri di rumahnya dan tidak keluar. Padahal beberapa kawan kecil sepermainannya mendatangi gubuknya untuk mengajak dia bermain di sungai dan hutan. Ia sangat menyesal tidak ikut bermain yang tentu saja sangat mengasyikan. Hanya burung perkutut itulah kawannya. Ia merasa bahwa nasib burung perkutut itu seperti dirinya. Ia tidak bisa bermain dan hanya tinggal di gubuknya yang reot. Anak kecil itu juga ingin agar burung perkutut itu juga bebas. Bebas bermain, bebas melakukan apa saja, bebas ketemu anggota keluarganya yang lain. Mendengar itu sang ayah meminta maaf karena selalu pulang ketika petang sudah menjelang. Dia juga menjelaskan bahwa apa yang dilakukan anaknya itu benar. Cerita anaknya telah menyentuh hati nuraninya yang paling dalam. Lelaki tua itu kemudian menyalahkan dirinya sendiri yang demikian dikuasai oleh kemarahannya yang meluap-luap. Dipandanginya burung hantu tersebut. Ia demikian kasihan. " Burung hantu itu tentu mempunyai juga anak. Mungkin juga anaknya masih kecil, belum bisa mandiri, seperti anaknya, " pikirnya. Tiba-tiba ia melihat wajahnya sendiri seperti burung hantu. Wajah yang demikian lusuh dan nampak tua dan renta. " Kalau aku masukkan dia kekurunganku, bisa mati anak-anak yang ditinggalkannya, " pikirnya. " Anakku, akan aku melepaskan burung ini. Kedatangannya akan selalu dinantikan oleh burung-burung hantu kecil yang menjadi tanggung jawabnya. Biarlah ia merdeka seperti perkutut yang baru saja kau merdekakan. Biarlah mahluk tuhan menikmati ciptaannya, tampa kesewenangan manusia, " katanya. Sebentar kemudian pengemis tua itu memegangi burung hantu dan mulai melepas tali yang mengikat burung itu. Tak lama kemudian burung hantu itu sudah terbang ke udara. Wajahnya nampak genbira dan bahagia. Sebentar kemudian burung hantu itu hinggap di sebongkah batu yang ada di depan lelaki pengemis itu. Alangkah kagetnya pengemis itu burung hantu itu tiba-tiba berubah menjadi seorang malaikat. Wajahnya nampak begitu bijaksana. " Wahai, pengemis tua. Aku kagum dengan kesabaranmu dan cinta kasih mu pada sesama. Aku ingin menghadiahi kamu dengan sesuatu. Mintalah kepadaku, aku pasti mengabulkannya, " ujar malaikat. Sebentar wajah pengemis bimbang tapi sebentar kemudian berubah menjadi tenang " wahai malaikat aku tidak ingin apa-apa. Aku hanya ingin agar aku dan anakku menjadi orang yang selalu berbahagia dan tetap menaruh cinta kasih kepada semua mahluk tuhan, " katanya. " Aku sangat terkesan. Aku akan menghaidiahi kamu sebuah kerajaan yang besar. Aku berharap kamu dan anakmu makin bahagia dan kamu bisa menyalurkan cinta kasihmu kepada rakyat-rakyatmu. Saya yakin kamu mau menerima pemberianku ini, " kata malaikat. Setelah itu bayangan malaikat itu telah menghilang. Sebagai gantinya pengemis itu melihat sebuah istana dengan singgasananya yang sepertinya menantinya. Pakaian yang ia kenakan dan pakaian yang dikenakan anaknya tiba-tiba berubah menjadi demikian eloknya, layaknya pakaian kebesaran seorang raja dan pangeran. Ia pun melihat wajahnya sendiri di kolam. Wajahnya sekarang berubah menjadi seorang yang bijaksana. KISAH KELELAWAR PENGECUT Di sebuah padang rumput di Afrika, seekor singa sedang menyantap makanan. Tiba-tiba seekor burung elang terbang rendah dan menyambar makanan kepunyaan singa. “Kurang ajar” kata singa. Sang raja hutan itu sangat marah sehingga memerintahkan seluruh binatang untuk berkumpul dan menyatakan perang terhadap bangsa burung. “Mulai sekarang segala jenis burung adalah musuh kita, usir mereka semua, jangan disisakan !” kata singa. Binatang lain setuju sebab mereka merasa telah diperlakukan sama oleh bangsa burung. Ketika malam mulai tiba, bangsa burung kembali ke sarangnya. Kesempatan itu digunakan oleh para singa dan anak buahnya untuk menyerang. Burung-burung kocar-kacir melarikan diri. Untung masih ada burung hantu yang dapat melihat dengan jelas di malam hari sehingga mereka semua bisa lolos dari serangan singa dan anak buahnya. Melihat bangsa burung kalah, sang kelelawar merasa cemas, sehingga ia bergegas menemui sang raja hutan. Kelelawar berkata,”Sebenarnya aku termasuk bangsa tikus, walaupun aku mempunyai sayap. Maka izinkan aku untuk bergabung dengan kelompokmu, Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk bertempur melawan burung-burung itu”. Tanpa berpikir panjang singa pun menyetujui kelelawar masuk dalam kelompoknya. Malam berikutnya kelompok yang dipimpin singa kembali menyerang kelompok burung dan berhasil mengusirnya. Keesokan harinya, menjelang pagi, ketika kelompok Singa sedang istirahat kelompok burung menyerang balik mereka dengan melempari kelompok singa dengan batu dan kacang-kacangan. “Awas hujan batu,” teriak para binatang kelompok singa sambil melarikan diri. Sang kelelawar merasa cemas dengan hal tersebut sehingga ia berpikiran untuk kembali bergabung dengan kelompok burung. Ia menemui sang raja burung yaitu burung elang. “Lihatlah sayapku, Aku ini seekor burung seperti kalian”. Elang menerima kelelawar dengan senang hati. Pertempuran berlanjut, kera-kera menunggang gajah atau badak sambil memegang busur dan anak panah. Kepala mereka dilindungi dengan topi dari tempurung kelapa agar tidak mempan dilempari batu. Setelah kelompok singa menang, apa yang dilakukan kelelawar ?. Ia bolak balik berpihak kepada kelompok yang menang. Sifat pengecut dan tidak berpendirian yang dimiliki kelelawar lama kelamaan diketahui oleh kedua kelompok singa dan kelompok burung. Mereka sadar bahwa tidak ada gunanya saling bermusuhan. Merekapun bersahabat kembali dan memutuskan untuk mengusir kelelawar dari lingkungan mereka. Kelelawar merasa sangat malu sehingga ia bersembunyi di gua-gua yang gelap. Ia baru menampakkan diri bila malam tiba dengan cara sembunyi-sembunyi. GONBE DAN 100 ITIK Di sebuah desa, tinggal seorang ayah dengan anak laki-lakinya yang bernama Gonbe. Mereka hidup dari berburu itik. Setiap berburu, ayah Gonbe hanya menembak satu ekor itik saja. Melihat hal tersebut Gonbe bertanya pada ayahnya," Kenapa kita hanya menembak satu ekor saja Yah?", "Karena kalau kita membunuh semua itik, nanti itik tersebut akan habis dan tidak bisa berkembang biak, selain itu kalau kita membunuh itik sembarangan kita bisa mendapat hukuman. Beberapa bulan kemudian, ayah Gonbe jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu, Gonbe berburu itik sendirian dan menjualnya. Lama kelamaan, Gonbe bosan dengan pekerjaannya, ia mendapatkan sebuah ide. Keesokan hariya, Gonbe datang ke danau yang sudah menjadi es. Ia menebarkan makanan yang sangat banyak untuk itik-itik. Tak berapa lama, itik-itik mulai berdatangan dan memakan makanan yang tersebar. Karena kekenyangan, mereka tertidur di atas. Gonbe segera mengikat itik-itik menjadi satu. Ia mengikat 100 itik sekaligus. Ketika itik ke seratus akan di ikatnya, tiba-tiba itik-itik tersebut terbangun dan segera terbang. Gonbe yang takut kehilangan tangkapannya, segera memegang tali yang diikatkannya ke itik tersebut. Karena banyaknya itik yang diikat, Gonbe terangkat dan terbawa ke atas. Gonbe terus terbang terbawa melewati awan. Di awan tersebut Ayah dan anak halilintar sedang tidur dengan nyenyak. "Dugg!", kaki Gonbe tersandung badan ayah halilintar. Ayah halilintar terbangun sambil marah-marah, ia segera mengeluarkan halilintarnya yang kemudian menyambar tali-tali yang mengikat itik-itik itu. Gonbe jatuh ke dalam laut! Ia jatuh tepat di atas kepala Naga laut yang berada di Kerajaannya. Naga laut menjadi marah dan mulai memutar-mutar ekornya, lalu memukulkannya ke Gonbe. Gonbe terbang lagi dari dalam laut. Akhirnya Gonbe jatuh ke tanah dengan kecepatan tinggi. Akhirnya Gonbe jatuh ke atap jerami rumah seorang pembuat payung. "Kamu tidak apa-apa?", Tanya si pembuat payung sambil menolong Gonbe. "Maaf atap anda jadi rusak. Berilah pekerjaan pada saya untuk mengganti kerugian anda". "Kebetulan, aku memang sedang kekurangan tenaga pembantu", kata pembuat payung. Sejak itu Gonbe menjadi rajin membuat payung. Suatu hari, ketika sedang mengeringkan payung di halaman, datang angin yang sangat kencang. Karena takut payungnya terbang, Gonbe segera menangkap payung tersebut. Tetapi payung tersebut terus naik ke atas bersama Gonbe. Dengan tangan gemetaran Gonbe terus memegang payung sambil terus terbang dengan payungnya hingga melewati beberapa kota. Payung tersebut akhirnya robek karena tersangkut menara dan pohon-pohon. Gonbe pun jatuh. Untungnya ia jatuh tepat di sebuah danau. Gonbe merasa lega. Tidak berapa lama tiba-tiba kepala Gonbe di patuk oleh sekawanan hewan. "Lho ini kan itik-itik yang aku ikat dengan tali. Ternyata benar ya, kita tidak boleh serakah menangkap sekaligus banyak." Akhirnya Gonbe melepaskan tali-tali yang mengikat kaki-kaki itik tersebut dan membiarkan mereka terbang dengan bebas. Pesan Moral : Kita tidak boleh menjadi orang yang tamak dan serakah serta kikir. Cerita di atas menggambarkan adanya hukuman bagi orang yang tamak serta melanggar ketentuan yang sudah ada. HADIAH DARI AYAH Sudah dua hari ini aku menjadi pendiam. Aku sering menyendiri dan melamun. Bahkan pernah, saat istirahat sekolah tiba-tiba aku menangis tersedu-sedu. Monita yang duduk di sebelahku sampai merasa heran. "Sudahlah, Wi! Malu dilihat teman-teman," ujar Monita. Aku berusaha menahan tangisku. Pulang sekolah hari ini aku semakin gelisah. Biasanya kalau Sabtu begini aku paling bersemangat. Selain besoknya libur, hari Sabtu selalu istimewa bagiku. Sebab ayahku yang bekerja di luar kota pasti pulang. Aku bertemu Ayah hanya pada hari Sabtu dan Minggu. Tetapi hari Sabtu kali ini suasananya berbeda sekali. "Makan dulu, Wi! Tenagamu kan banyak berkurang di sekolah," tegur Ibu. Aku hanya menggeleng. "Masih kenyang, Bu." Aku masuk ke kamar dan merebahkan badan di tempat tidur. Pikirkanku melayang. Yang membuatku sedih adalah Ayah berjanji akan menghadiahiku boneka beruang besar kalau nilaiku tetap bagus. Namun, dua hari lalu aku harus menerima nasib buruk. Rapor cawu II ku jeblok. Angka 5 tertera di barisan sejarah. Padahal di rapor sebelumnya aku menduduki peringkat ke-3. Ayah belum tahu hasil raporku ini. Menjelang malam, terdengar ketukan di pintu. Ayah lalu masuk sambil menenteng bungkusan yang sangat besar. Wajah Ayah berseri-seri. Tetapi aku justru sembunyi di balik bantal. Aku tak berani memandang wajah Ayah yang berbinar-binar itu. "Dewi!" sapa Ayah sambil duduk di pinggir tempat tidur. Aku tak berani menjawab. Aku tahu Ayah pasti sangat marah. Kemudian, terdengar suara Ibu yang juga ikut masuk ke kamarku. "Dewi, bangun sayang!" kata Ibu sambil menyentuh pundakku. "Masalah tidak akan selesai kalau kamu hanya sembunyi di balik bantal." Aku akhirnya menggeser bantalku. Sambil tertunduk, aku duduk di sisi Ayah. Dengan memberanikan diri, kupandang wajah Ayah yang tampak kecewa. Hatiku pedih. "Maafkan Dewi, Yah!" kataku pelan. "Dewi terlalu banyak main. Jangan marah ya, Yah!" Ayah menghela nafas. "Ayah tidak marah. Nilai rapormu, kan, laporan dari hasil kerjamu sendiri selama ini. Rapor-mu yang sebelumnya, kan, bagus. Sayang kalau hasil kerja kerasmu dulu itu jadi sia-sia," ujar Ayah sambil tersenyum ramah. Aku terdiam. Ayah berdiri lalu menyerahkan bungkusan yang tadi dibawanya. "Boneka ini Ayah beli untukmu. Apapun hasil rapormu, terimalah!" Aku menerima boneka itu dengan hati pedih. Ketika Ayah kembali ke luar kota, aku hanya bisa menatap mata bening beruang yang memandangiku. "Beruang, duduklah di situ untuk melihatku belajar. Kalau aku malas lagi, aku akan mengingatmu sebagai hadiah atas kesalahanku." Boneka itu masih duduk di atas tempat tidurku. Aku bisa memandanginya setiap saat. Kini boneka beruang itu menjadi peringatan ketika aku mulai malas belajar. Pandangan matanya seperti memberiku peringatan KISAH EMPAT NAGA Pada suatu kala, tidak ada namanya sungai dan danau di bumi ini, namun hanya terdapat sebuah laut yang bernama Laut Timur. Di laut itu, hiduplah empat ekor naga, yaitu Naga Panjang, Naga Kuning, Naga Hitam dan Naga Mutiara. Pada suatu hari empat naga tersebut terbang dari laut ke langit. Mereka terbang meluncur dan menerobos di sela-sela awan seolah bermain petak umpet. "Cepat datang ke sini!" seru Naga Mutiara tiba-tiba. "Ada apa?" tanya ketiga naga lain seraya melihat ke arah yang ditunjukkan Naga Mutiara. Mereka pun melihat bahwa di bumi banyak orang mengeluarkan buah-buahan, kue dan membakar hio. Rupanya mereka sedang berdoa. Seorang wanita berambut putih berlutut di lantai dengan seorang anak lelaki kurus di belakangnya, berdoa: "Dewa Langit, turunkan hujan kepada kami, agar anak-anak bisa makan nasi..." Rupanya hujan sudah lama tidak turun ke bumi sehingga tanaman hampir mati kekeringan, padang rumput berubah menjadi kuning dan tanah kering kerontang di bawah terik cahaya matahari yang sangat panas. "Kasihan sekali orang-orang itu!" kata Naga Kuning yang sangat iba. "Mereka akan mati jika hujan tidak segera turun." katanya lagi. Naga Panjang mengangguk setuju perkataan kawannya. Tidak hanya itu, Naga panjang pun menyahut, "Ayo kita pergi menemui Kaisar Giok untuk memohon kepadanya agar hujan turun ke bumi." Setelah selesai berkata, Naga Panjang segera terbang tinggi ke langit. Ketiga naga lainnya segera mengikutinya terbang ke Istana Langit tempat tahta Kaisar Giok. Lantaran memegang kekuasaan di surga, bumi dan laut, Kaisar Giok sangat berkuasa dan kuat. Ia tidak senang melihat keempat naga masuk ke istananya tanpa permisi. Kaisar Giok berkata, "Mengapa kalian datang ke sini, bukannya tinggal di laut seperti seharusnya." Naga Panjang lalu maju ke depan, berkata "Yang Mulia, tanaman di bumi hampir mati kekeringan. Jadi kami mohon agar Yang Mulia agar menurunkan hujan secepat mungkin." "Baiklah. Kalian pulang saja dan aku akan menurunkan hujan besok." jawab Kaisar Giok berpura-pura setuju sembari mendengar nyanyian para peri. "Terima kasih, Yang Mulia." Keempat naga pun pulang dengan hati gembira. Namun telah sepuluh hari berlalu, setetes air hujan pun belum turun ke bumi. Orang-orang makin menderita, bahkan mereka terpaksa memakan apa saja termasuk rumput. Ketika kehabisan rumput, mereka pun terpaksa makan tanah lempung putih. Melihat semuanya, keempat naga merasa sedih karena tahu Kaisar Langit hanya suka bersenang-senang dan tidak peduli kepada orang-orang di bumi. Keempat naga akhirnya memutuskan mereka sendiri yang membantu. Namun apa yang bisa dilakukan mereka? Ketika melihat laut yang sangat luas, tiba-tiba Naga Panjang mendapat ide bagus. Ia segera memberitahu ketiga temannya. Mereka langsung ingin tahu ide apa yang didapatkan Naga Panjang. "Lihat, bukankah banyak sekali air di tempat tinggal kita? Kita dapat membawa air laut ke atas dan menyemprotkannya ke langit. Air itu akan jatuh seperti hujan ke bumi dan menyelamatkan orang-orang dan tanaman mereka yang kehausan." "Ide bagus sekali" puji ketiga naga lain sambil bertepuk tangan. "Namun," lanjut Naga Panjang setelah berpikir sejenak. "Kaisar Giok akan menyalahkan kita jika ia tahu perbuatan kita." "Aku akan melakukan apa saja agar bisa menyelamatkan banyak orang." begitulah tekad Naga Kuning. "Ayo kita mulai. Kami tidak akan menyesalinya." sahut Naga Hitam dan Naga Mutiara tidak mau kalah. Keempat naga segera terbang ke laut, menelan air ke dalam mulut dan llau terbang kembali ke langit. Mereka lalu menyemprotkan air dari mulutnya ke bumi. Berulangkali kempat naga tersebut melakukan perbuatan itu hingga langit makin gelap. Tidak lama kemudian air laut itu berubah menjadi hujan yang turun deras ke bumi. "Hujan! Hujan!" "Tanaman akan selamat!" Begitulah sorak-sorai orang-orang seraya meloncat-loncat kegirangan. Di darat, tanaman gandum menengadahkan kepala menyambut air hujan yang membasahi mereka serta tanaman padi pun berdiri tegak dengan gembira. Namun Dewa Lautan menemukan perbuatan keempat naga sehingga melaporkannya kepada Kaisar Giok. "Alangkah berani empat naga itu menurunkan hujan tanpa izinku," kata Kaisar Giok dengan murka. Ia lalu memerintahkan para jenderal dan prajuritnya untuk menangkap keempat naga tersebut. Karena kalah jumlah sehingga akhirnya keempat naga itu berhasil dtangkap dan dibawa menghadap Kaisar Giok di Istana Langit. "Pergi dan bawa empat gunung untuk berbaring di atas empat naga agar tidak pernah bisa kabur," begitulah perintah Kaisar Langit kepada Dewa Gunung. Dewa Gunung lalu mempergunakan kekuatan gaibnya untuk membuat empat gunung terbang ke tempat empat naga dan menekan mereka sehingga terperangkap di bawah empat gunung itu untuk selama-lamanya. Walau keempat naga itu terpenjara, mereka tidak menyesali perbuatan yang menolong rakyat yang menderita. Bertekad untuk membantu rakyat selamanya sehingga mereka pun mengubah diri menjadi empat sungai yang mengalir melalui gunung tinggi dan lembah dalam, melintasi daratan dari barat hingga timur dan hingga bermuara ke laut. Itulah kisah bagaimana empat sungai besar Cina terbentuk, yaitu Sungai Heilongjiang (Black Dragon) di utara, Sungai Huanghe (Yellow River) di Cina tengah, Sungai Changjiang (Yangtze atau Long River) di wilayah Selatan Cina dan Sungai Zhujiang (Pearl) di wilayah selatan Cina yang terjauh. THE LONELY STARFIS Once Upon A Time..... In a sheltered pool of water, amidst the rocks at the ocean's edge, there lived a little starfish named Stanley. The water was always warm and salty where Stanley lived, and his home made him very happy. During the day, Stanley played in sand that glittered and sparkled in the warm sunshine. At night, after the sun slipped over the horizon, Stanley would snuggle up next to his favorite rock and fall fast asleep. Then one day, Stanley noticed that although his home was cozy, there was something missing. It was quiet. Too quiet. There was never anyone to talk to. There was never anyone to play with. The little starfish realized he was lonely. Stanley thought about this all day long. When the sun slipped away that night, he was lonelier than he had ever been before. He moved over to his favorite rock and tried to snuggle down to sleep, but for some reason the rock now seemed too hard and too cold. "If I just had someone to talk to," Stanley said to himself. "Then, I wouldn't be lonely," Stanley looked up and began to watch the night sky. One by one, bright, twinkling stars appeared, bringing soft light to the darkness. Stanley had never seen the stars before. He was usually sound asleep before the moon laid its path across the water. This new sight was amazing. "That's it!" Stanley said, sitting straight up. "Why, I don't belong in this little pool at all. No wonder I'm so lonely, I must be a star that fell from the sky!" "But how will I ever get back up there?" He could see the path the moon spread across the great ocean, and he decided that it must be the path back to the sky. He would just have to find a way to that path. All night long Stanley lay awake, wondering how he could get to that bright moon path. Stanley had never left his cozy little home. Finally he decided that he would somehow have to go out into the great ocean to find the path to the stars in the sky. When the tide came in the next morning, Stanley inched his way into the swirling water. The great waves quickly rushed him away out into the great ocean. Stanley rolled and tumbled this way and that in the mighty waves, and the trip nearly took his breath away. Finally, the swirling and turning finally stopped and Stanley drifted slowly down to the ocean's floor. Here the water was not at all nice and warm like his little pool. It was dark, cold and mysterious. ........................... Just then a school of fish surrounded him. Stanley thought that this would be a good time to ask about the moon's path. But the fish simply ignored him and his questions, and swam away. An old sea horse watching from nearby began to chuckle. "Silly little starfish!" he laughed. "The fish learn in school never to talk to strangers. But if you want to know about the moon's path, I will tell you this, you will only find it at night." This disappointed Stanley, but he knew it must be true, because he had never seen the moon's path during the day. Stanley decided to settle down in the sand and wait for night to come. He could use a nap after his sleepless night. It seemed to Stanley that he had only just dozed off when he heard a strange noise that sounded very much like somebody shouting WAKE UP! Stanley opened his eyes. A huge hungry monster was swimming right toward him, licking its lips and grinning. Quickly Stanley ducked into a big dark space under a rock, and huddled there, shaking with fright. When a voice spoke from behind him, he was so startled that he jumped straight up and bumped his head on the rock. "It's okay now!, Calm down," the voice said. "That big puffer fish must have really scared you! Golly, don't you know a starfish should never nap out in the open like that? You were awfully lucky, you know! You almost ended up as that big fish's dinner! " Stanley turned toward the voice and and found himself face to face with a pretty little starfish. "Oh, thank you for saving my life ," Stanley gasped. "I had no idea it could be so dangerous out here!". And then Stanley blinked as he looked at the other little starfish. "But who are you? What's your name? Did you fall from the sky, too?" Stanley asked excitedly. "Maybe we can find our way back together!" The new little starfish giggled, "My name is Marcie. Fall from the sky?? What in the world are you talking about? So Stanley introduced himself to Marcie, and explained how lonely his little pool in the rocks was, with no one around to talk to or play with. He told her how he had seen the sky so full of stars, and was looking for the moon's path to lead him up to his twinkling family in the sky. "Oh, Stanley!" Marcie giggled. " You don't belong up in the sky! You're a starfish, just like me! Starfish belong in the water! Anyway, I'm afraid the moon's path would never lead you to the sky. The seahorse told me it's just a reflection of the moon on the water." Stanley looked sadly at Marcie. "Then I guess I should go back home", he said, "but it was so lonely there." Then Stanley began to tell his new friend about his quiet, safe home, the warm sun, glittering sand, and his favorite rock. "That sounds wonderful!" exclaimed Marcie. "But why ever did you leave it? The ocean is full of so many dangers, and the sun hardly ever reaches the deep waters." "You're right", sighed Stanley. "I don't really want to stay out here. It's too cold and dangerous. It's just that I was so very lonely back there all by myself." "I have a wonderful idea!", said Marcie. "If you like, I'll go back to the rocks by the shore with you. I will stay and be your friend for always. We can talk and play together, and you will never be lonely again!" "Will you? Really? I would like that a lot, Marcie!" Stanley exclaimed happily. "We'll be best friends! But it's going to be high tide soon, so we had better hurry up if we want to get home!" So together, Marcie and Stanley moved along toward the ocean's bottom, to where the swirling waters of the tide could carry them closer to shore. They stayed very close together so that in the rough waters they wouldn't lose each other, and soon they tumbled safely back into Stanley's sheltered little pool amidst the rocks at the waters edge. Stanley proudly showed Marcie around his cozy little home. Then, as the sun slipped over the horizon and the stars above began to fill the sky with twinkling brightness, Stanley and Marcie snuggled up to Stanley's favorite rock, and they both fell fast asleep. JIAN ANJING DAN RAKU KURA-KURA Whuuuz… whuuuzz… Ibu Mia Kucing terbangun mendengar suara ribut-ribut. Ia keluar rumah dan bertanya pada Bu Abi Kambing. "Siga si Raja Hutan ulang tahun. Seluruh penghuni hutan diundang ke pestanya malam nanti." "Kok mendadak begini?" tanya Bu Mia heran. "Raja baru ingat pagi ini. Persiapannya jadi serba terburu-buru. Raja menyuruh Raku Kura-kura dan Kiki Kelinci menempelkan undangan di pohon." "Oh, dua pelari cepat itu? Pantas ribut ekali," omel Bu Mia Kucing. "Kalau bukan mereka berdua, siapa lagi yang bisa disuruh?" "Benar juga," sahut Bu Mia. "Walaupun Raku Kura-kura itu berkaki pendek, namun larinya ... wow, luar biasa!" Malamnya, semua hewan di hutan berkumpul di halaman istana. Pakaian dan perhiasan mereka serba gemerlap. Dan tentu saja mereka tak lupa membawa hadiah untuk Raja Siga Singa. Hadiah-hadiah itu diletakkan teratur di atas meja di dekat pagar istana. Hanya Jian Anjing yang tidak menumpuk hadiahnya bersama yang lain. Diletakkannya hadiah mangkuk kristal bening itu di bawah meja. Ia takut mangkuk itu pecah jika tertindih hadiah-hadiah lain. Sementara itu ... "Hosh! Hosh! Sepertinya pesta sudah mulai. Ukh, untung Raja belum muncul," gumam Raku Kura-kura terengah-engah. Ia datang sedikit terlambat. Walau larinya cepat, tapi rumahnya paling jauh dari istana. Ketika hendak bergabung dengan tamu-tamu lainnya, Raku Kura-kura ragu-ragu sejenak. Kemudian secepat kilat ia bersembunyi di bawah meja tempat tumpukan hadiah. "Gawat!" desisnya." Semuanya berpenampilan mewah. Bisa-bisa aku jadi tamu berpenampilan terburuk," Raku Kura-kura cemas memandangi tubuhnya yang polos tanpa hiasan sedikitpun. Raku Kura-kura sudah biasa menjadi pusat perhatian karena larinya yang sangat cepat. Apalagi setelah ia berhasil mengalahkan Kiki Kelinci dalam suatu pertandingan lari. Namun, tak mungkin kan ia harus berlari ke sana ke mari untuk menarik perhatian. Ah! Tiba-tiba matanya melihat sebuah mangkuk kristal indah di sampingnya. Milik siapa ini? pikir Raku Kura-kura. "Ah, aku tahu!" serunya ketika mendapat ide. Gluduk gluduk! Dengan hati-hati ia menggelindingkan mangkuk itu ke balik semak-semak. Dibalurinya dengan getah dan daun sampai warnanya berubah kehijauan. Lebih bagus daripada warna bening tadi. Mangkuk itu lalu diikatnya ke punggungnya dengan akar-akar pohon. Berat, tapi tak jadi soal. Penuh percaya diri Raku Kura-kura masuk ke halaman istana. Semua mata langsung tertuju padanya. "Wah, Raku Kura-kura! Indah sekali benda yang ada di punggungmu! Hijau kemilau seperti zamrud!" decak para tamu kagum. Raku Kura-kura mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Ia puas diperhatikan seperti itu. Namun Jian Anjing menatapnya curiga. Ia yakin benda di punggung Raku Kura-kura adalah mangkuk kristal miliknya. Jian Anjing segera memeriksa kolong meja tempat hadiah. Benar! Mangkuk kristalnya menghilang! Ia langsung berteriak, "Raku Kura-kura, pencuri! Kembalikan mangkuk kristalku!" Tamu-tamu pesta kaget dan bingung. "Cepat lepaskan mangkuk itu dari punggungmu!" Jian Anjing berusaha menarik lepas mangkuk itu. Tapi akar pohon yang melilit terlalu kuat. Keduanya sama-sama terpental. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar, "Siapa yang berani membuat keonaran di hari ulang tahunku?!" Siga si Raja Hutan muncul. Ia duduk di singasananya sambil melotot ke arah Raku Kura-kura dan Jian Anjing. Semua terdiam menahan napas. "Maaf, Baginda," sembah Jian Anjing hormat. "Tapi mangkuk yang akan hamba hadiahkan untuk Baginda telah dicuri Kura-kura ini." "Tidak, Baginda!" bantah Raku Kura-kura tegas. "Mangkuk ini hamba temukan di kolong meja itu. Hamba cuma bermaksud meminjamnya sebentar." "Tapi kau mengambilnya tanpa seijinku. Itu mencuri namanya!" Keduanya terus berbantahan. "DIAM!" bentak si Raja Hutan. Ia menyuruh Raku Kura-kura segera mengembalikan mangkuk itu. "Tapi akar-akar yang melilit di tubuh hamba terlalu kuat. Sepertinya ... mangkuk ini tidak bisa dilepas," elak Raku Kura-kura. "Raku Kura-kura, aku tahu kau menyukai mangkuk itu," kata Siga Raja Hutan. "Jian Anjing sebenarnya hendak memberikan mangkuk itu untukku. Tapi rasanya mangkuk itu memang lebih pantas untukmu. Baiklah, kuizinkan kau memilikinya. Mulai sekarang, teruslah ke mana-mana dengan mangkuk di punggungmu." "Terima kasih, Baginda," Raku Kura-kura mencibir ke arah Jian Anjing yang terpaksa merelakan mangkuk itu. "Tapi…" lanjut Siga Raja Hutan, "Sebagai gantinya, kemampuan berlari cepatmu kuberikan pada Jian Anjing. Adil, bukan?" Sejak itu Raku Kura-kura cuma bisa berjalan lambat-lambat, dan menjaga agar mangkuk kristal di punggungnya tidak jatuh. Sering ia menyesali keadaan dirinya. Karena tak ada lagi yang mengelu-elukan kecepatan larinya. Itu sebabnya sampai sekarang bangsa kura-kura memiliki mangkuk keras di punggungnya. Dan tetap berjalan lambat. Kalau bertemu makhluk lain, mereka cepat-cepat menyusupkan kepala ke dalam mangkuknya. Mungkin malu kalau ada yang menanyakan tentang Raku, nenek moyang mereka yang serakah. Sementara itu, bangsa anjing sampai kini bisa berlari cepat. Dan terbiasa mengejar pencuri seperti Jian, nenek moyang mereka. MALIN KUNDANG Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas. Maka tinggallah si Malin dan ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan bahkan sudah 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah. Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang. Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya. Malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. "Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak", ujar Ibu Malin Kundang sambil berlinang air mata. Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan Ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu. Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya. Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya. Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya. Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Pesan Moral : Sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa orangtua terutama kepada seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan anaknya, apalagi jika sampai menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka kepada orangtua merupakan satu dosa besar yang nantinya akan ditanggung sendiri oleh anak. KADO ULTAH DARI MAMA Setiap tanggal 7 Juni Mama selalu merayakan ulang tahunku. Pada ulang tahunku yang ke 12, mama memberiku sebuah kado yang sangat menarik. Sebuah sepeda mini termahal yang pernah dijual di Indonesia. Aku senang menerima hadiah dari mama. Bukan saja karena harganya yang sangat mahal, tetapi juga karena mama memperbolehkan aku bersepeda ke sekolah. "Ketika usiamu menginjak 12 tahun engkau boleh bersepeda ke sekolah," kata mama suatu hari. "Kenapa harus menunggu usia 12 tahun?" aku bertanya dengan kesal. "Tubuhmu kecil Nita. Kalau engkau bersepeda pada usia 10 tahun, aku khawatir akan keselamatanmu. Kendaraan yang begitu padat selalu menghantuiku." Akhirnya aku memaklumi kekhawatiran mama. Kini aku boleh bersepeda ke sekolah. Teman-temanku menyambutku dengan riang. Mereka senang karena aku mempunyai sepeda baru. "Aku boleh pinjam ya Nita?" seru Triana sambil mendekatiku. "Aku juga ya Nita?" kata yang lain. Aku mengangguk lemah. Bukan aku tidak mau memberi pinjaman kepada teman. Aku khawatir mereka tidak bisa bersepeda dengan baik. Jika jatuh tentu sepedaku lecet, atau ada bagian yang rusak. Tapi tak mungkin aku menolak keinginannya. "Tapi hati-hati ya!" seruku mengingatkan. Triana senang sekali ketika aku mengijinkan dia naik sepeda. Selama ini dia tidak pernah mempunyai sepeda. Kalau ingin naik sepeda selalu pinjam teman. Biasanya teman-teman jarang yang memberi pinjaman. Alasannya sederhana saja, takut sepedanya rusak. Aku hanya melihat-lihat Triana bersepeda. Suatu saat hampir saja ia jatuh, tapi aku berhasil menangkapnya. Setelah itu aku tidak memperbolehkannya lagi. Setelah Triana kini Nunung yang pinjam. Karena aku sudah berjanji untuk memberikan pinjaman maka kuberikan sepeda kesayanganku. Nunung lebih mahir bersepeda dari pada Triana, walaupun begitu dia agak ugal-ugalan. Di tempat yang sempit pun dia berani naik sepeda. Karena sikapnya yang ugal-ugalan itu maka ia terjatuh. Aku menjerit tapi Nunung hanya tersenyum saja. "Wah...pasti aku dimarahi mama," kataku kepada Nunung. "Ah begitu saja marah. Mana mungkin mamamu akan marah? Bukankan kamu anak kesayangan?" kata Nunung tanpa memperdulikan perasaanku. "Enak saja kamu berbicara. Di rumah pasti mama memarahiku. Bisa-bisa aku tidak boleh naik sepeda lagi." Ketika pulang sekolah hatiku bimbang. Pikiranku hanya teringat mama. Kalau aku bercerita terus terang tentu mama akan marah, tapi jika aku berbohong aku merasa berdosa. Kini sayap depan sepedaku terkelupas sedikit. Mama pasti akan mengetahuinya. Karena itu aku akan bercerita terus terang. "Bagaimana Nita enak kan memakai sepeda baru?" Aku mengangguk. "Lho, kenapa wajahmu kusam? Ada apa, sayang?" Aku secepatnya menjelaskan masalahnya. Hatiku bimbang. "Jadi temanmu yang jatuh?" Aku mengangguk. "Semahal apapun sepeda tidak lebih baik dari persahabatan," kata mama dengan wajah tenang. "Maksud mama?" "Jangan risaukan semua itu. Mama memang memberimu hadiah ulang tahun, tapi mana mungkin engkau sendiri yang akan naik sepeda? Bukankah teman-temanmu juga ingin mencobanya?" Sungguh aku malu kepada Nunung. Ketika Nunung menjatuhkan sepedaku, aku cemberut dan marah-marah. Ternyata mama justru sebaliknya. "Apakah engkau memarahi Nunung?" "Tentu saja Ma. Aku sayang sekali dengan sepeda baru itu. Mama membelinya dengan uang yang sangat banyak." Mama tertawa mendengar pengakuanku. "Nita, Nita...sekali lagi mama katakan...jangan engkau tukar persahabatan dengan sebuah sepeda. Jika engkau tidak mempunyai teman, pasti engkau susah. Tetapi jika kamu bersepeda dengan sepeda yang rusak sedikit, engkau masih tetap bahagia." Keesokan harinya, aku buru-buru menemui Nunung. Aku ingin minta maaf karena aku marah-marah kepadanya. Tetapi kata Triana, Nunung tidak masuk sekolah karena takut telah merusak sepedaku. Aku mengajak Triana ke rumah Nunung. Begitu tahu kedatanganku, Nunung berlari masuk ke rumahnya. "Nunung, aku datang untuk minta maaf kepadamu. Mama tidak memarahiku, mama maklum kesalahanmu. Karena itu aku kemari ingin minta maaf." Tak berapa lama, Nunung keluar dari kamarnya dan segera memelukku. "Maafkan aku, Nita. Aku telah merusak sepeda kesayanganmu!" "Maafkan aku juga Nung. Aku terlalu emosi!" Kami menjadi teman baik kembali. KARANG BOLONG Beberapa abad yang lalu tersebutlah Kesultanan Kartasura. Kesultanan sedang dilanda kesedihan yang mendalam karena permaisuri tercinta sedang sakit keras. Pangeran sudah berkali-kali memanggil tabib untuk mengobati sang permaisuri, tapi tak satupun yang dapat mengobati penyakitnya. Sehingga hari demi hari, tubuh sang permaisuri menjadi kurus kering seperti tulang terbalutkan kulit. Kecemasan melanda rakyat kesultanan Kartasura. Roda pemerintahan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. "Hamba sarankan agar Tuanku mencari tempat yang sepi untuk memohon kepada Sang Maha Agung agar mendapat petunjuk guna kesembuhan permaisuri," kata penasehat istana. Tidak berapa lama, Pangeran Kartasura melaksanakan tapanya. Godaan-godaan yang dialaminya dapat dilaluinya. Hingga pada suatu malam terdengar suara gaib. "Hentikanlah semedimu. Ambillah bunga karang di Pantai Selatan, dengan bunga karang itulah, permaisuri akan sembuh." Kemudian, Pangeran Kartasura segera pulang ke istana dan menanyakan hal suara gaib tersebut pada penasehatnya. "Pantai selatan itu sangat luas. Namun hamba yakin tempat yang dimaksud suara gaib itu adalah wilayah Karang Bolong, di sana banyak terdapat gua karang yang di dalamnya tumbuh bunga karang," kata penasehat istana dengan yakin. Keesokannya, Pangeran Kartasura menugaskan Adipati Surti untuk mengambil bunga karang tersebut. Adipati Surti memilih dua orang pengiring setianya yang bernama Sanglar dan Sanglur. Setelah beberapa hari berjalan, akhirnya mereka tiba di karang bolong. Di dalamnya terdapat sebuah gua. Adipati Surti segera melakukan tapanya di dalam gua tersebut. Setelah beberapa hari, Adipati Surti mendengar suara seseorang. "Hentikan semedimu. Aku akan mengabulkan permintaanmu, tapi harus kau penuhi dahulu persyaratanku." Adipati Surti membuka matanya, dan melihat seorang gadis cantik seperti Dewi dari kahyangan di hadapannya. Sang gadis cantik tersebut bernama Suryawati. Ia adalah abdi Nyi Loro Kidul yang menguasai Laut Selatan. Syarat yang diajukan Suryawati, Adipati harus bersedia menetap di Pantai Selatan bersama Suryawati. Setelah lama berpikir, Adipati Surti menyanggupi syarat Suryawati. Tak lama setelah itu, Suryawati mengulurkan tangannya, mengajak Adipati Surti untuk menunjukkan tempat bunga karang. Ketika menerima uluran tangan Suryawati, Adipati Surti merasa raga halusnya saja yang terbang mengikuti Suryawati, sedang raga kasarnya tetap pada posisinya bersemedi. "Itulah bunga karang yang dapat menyembuhkan Permaisuri," kata Suryawati seraya menunjuk pada sarang burung walet. Jika diolah, akan menjadi ramuan yang luar biasa khasiatnya. Adipati Surti segera mengambil sarang burung walet cukup banyak. Setelah itu, ia kembali ke tempat bersemedi. Raga halusnya kembali masuk ke raga kasarnya. Setelah mendapatkan bunga karang, Adipati Surti mengajak kedua pengiringnya kembali ke Kartasura. Pangeran Kartasura sangat gembira atas keberhasilan Adipati Surti. "Cepat buatkan ramuan obatnya," perintah Pangeran Kartasura pada pada abdinya. Ternyata, setelah beberapa hari meminum ramuan sarang burung walet, Permaisuri menjadi sehat dan segar seperti sedia kala. Suasana Kesultanan Kartasura menjadi ceria kembali. Di tengah kegembiraan tersebut, Adipati Surti teringat janjinya pada Suryawati. Ia tidak mau mengingkari janji. Ia pun mohon diri pada Pangeran Kartasura dengan alasan untuk menjaga dan mendiami karang bolong yang di dalamnya banyak sarang burung walet. Kepergian Adipati Surti diiringi isak tangis para abdi istana, karena Adipati Surti adalah seorang yang baik dan rendah hati. Adipati Surti mengajak kedua pengiringnya untuk pergi bersamanya. Setelah berpikir beberapa saat, Sanglar dan Sanglur memutuskan untuk ikut bersama Adipati Surti. Setibanya di Karang Bolong, mereka membuat sebuah rumah sederhana. Setelah selesai, Adipati Surti bersemedi. Tidak berapa lama, ia memisahkan raga halus dari raga kasarnya. "Aku kembali untuk memenuhi janjiku," kata Adipati Surti, setelah melihat Suryawati berada di hadapannya. Kemudian, Adipati Surti dan Suryawati melangsungkan pernikahan mereka. Mereka hidup bahagia di Karang Bolong. Di sana mereka mendapatkan penghasilan yang tinggi dari hasil sarang burung walet yang semakin hari semakin banyak dicari orang. KELEDAI PEMBAWA GARAM Pada suatu hari di musim panas, tampak seekor keledai berjalan di pegunungan. Keledai itu membawa beberapa karung berisi garam dipunggungnya. Karung itu sangat berat, sementara matahari bersinar dengan teriknya. "Aduh panas sekali. Sepertinya aku sudah tidak kuat berjalan lagi," kata keledai. Di depan sana, tampak sebuah sungai. "Ah, ada sungai! Lebih baik aku berhenti sebentar," kata keledai dengan gembira. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke dalam sungai dan…. Byuur… Keledai itu terpeleset dan tercebur. Ia berusaha untuk berdiri kembali, tetapi tidak berhasil. Lama sekali keledai berusaha untuk berdiri. Anehnya, semakin lama berada di dalam air, ia merasakan beban dipunggungnya semakin ringan. Akhirnya keledai itu bisa berdiri lagi. "Ya ampun, garamnya habis!" kata tuannya dengan marah. "Oh, maaf… garamnya larut di dalam air ya?" kata keledai. Beberapa hari kemudian, keledai mendapat tugas lagi untuk membawa garam. Seperti biasa, ia harus berjalan melewati pegunungan bersama tuannya. "Tak lama lagi akan ada sungai di depan sana," kata keledai dalam hati. Ketika berjalan menyeberangi sungai, keledai menjatuhkan dirinya dengan sengaja. Byuuur…. Tentu saja garam yang ada dipunggungnya menjadi larut di dalam air. Bebannya menjadi ringan. "Asyik! Jadi ringan!" kata keledai ringan. Namun, mengetahui keledai melakukan hal itu dengan sengaja, tuannya menjadi marah. "Dasar keledai malas!" kata tuannya dengan geram. Keesokan harinya, keledai mendapat tugas membawa kapas. Sekali lagi, ia berjalan bersama tuannya melewati pegunungan. Ketika sampai di sungai, lagi-lagi keledai menjatuhkan diri dengan sengaja. Byuuur…. Namun apa yang terjadi ? Muatannya menjadi berat sekali. Rupanya kapas itu menyerap air dan menjadi seberat batu. Mau tidak mau, keledai harus terus berjalan dengan beban yang ada dipunggungnya. Keledai berjalan sempoyongan di bawah terik matahari sambil membawa beban berat dipunggungnya. Moral : Berpikirlah dahulu sebelum bertindak. Karena tindakan yang salah akan menyebabkan kerugian bagi kita. KENANGAN TENTANG BUNDA Brek! Via menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Air matanya meleleh membasahi bantal. Hati Via betul-betul terluka mendengar omongan Bi Jum. "Lo, kenapa memangis?" tanya Eyang Putri cemas. Beliau meletakkan obat dan segelas air putih di meja. Via diam tidak menjawab. Isaknya semakin jelas terdengar. "Eyang, benarkah Bunda tidak mau mengurus Via?" tanyanya terpatah-patah. "Siapa bilang?' "Tadi di Puskesmas Bi Jum bercerita pada orang-orang. Katanya Bunda tidak mau mengurus Via. Bunda sibuk berkarir. Itulah sebabnya Via diasuh Eyang." Eyang mengangguk-angguk mulai memahami persoalan Via. Namun beliau belum menanggapi pertanyaan cucunya. "Minum obat dulu, ya. Nanti kita bicarakan hal ini," bujuk Eyang seraya membantu Via minum obat. Sesekali terdengar helaan nafas panjangnya. Pagi tadi Eyang menyuruh Bi Jum, pembantunya mengantar Via berobat ke Puskesmas. Sudah dua hari Via pilek. Biasanya Eyang sendiri yang mengantar Via berobat. Namun tetangga sebelah meninggal. Eyang melayat ke sebelah. "Benarkah Bunda tidak mau mengasuh Via, Eyang?" desak Via penasaran. Eyang menatap lembut cucunya yang sedang sedih dan gelisah. Dengan penuh kasih sayang tangannya yang keriput membelai Via. "Apakah Via merasa begitu?" Via tercenung. Ya, sepertinya ucapan Bi Jum ada benarnya juga. Bude Laras dan Bulik Prita, saudara Bunda mengasuh sendiri anak-anaknya. Meskipun mereka berdua juga bekerja di kantor. Sementara Via diasuh Eyang. "Bingung, ya? Via, umumnya seorang anak memang tinggal bersama orang tuanya. Namun karena alasan tertentu, ada juga anak yang tinggal dengan orang lain." "Dan alasan itu karena mereka tidak mau repot mengasuh anaknya, kan?" potong Via sengit. "Mmm, sebaiknya Via cari tahu sendiri ya, jawabannya. Nanti Eyang beritahu caranya." Via menatap Eyang tak berkedip. Dengan senyum tetap tersungging di bibir, Eyang beranjak mengambil kertas dan bolpoin. "Dulu, kalau Eyang kecewa terhadap seseorang, Eyang menulis semua hal tentang orang tersebut. Semua kenangan yang manis atau pun yang tidak menyenangkan. Biasanya begitu selesai menulis, hati Eyang lega. Pikiran pun menjadi jernih. Sehingga Eyang bisa menilai orang itu dengan tepat. Via mau mencoba cara ini? Tulislah kenangan tentang Bunda. Mudah-mudahan Via akan menemukan jawaban. Eyang ke dapur dulu, ya." Begitu Eyang berlalu, Via meremas kertas. Untuk apa menulis kenangan tentang Bunda? Bikin tambah kesal saja. Plung! Via melempar kertas ke tempat sampah. Langit begitu biru. Via menatap gumpalan awan putih yang berarak. Dulu Bunda bercerita awan itu berlari karena takut digelitik angin. Kenangan Via kembali ke masa kecil. Bunda selalu mendongeng menjelang tidur. Bunda selalu memandikan dan menyuapinya. Tugas itu tidak pernah digantikan pembantu, meskipun Bunda juga bekerja di kantor. Tiba-tiba jam kerja Bunda bertambah, karena hari Sabtu libur. Bunda tiba di rumah paling awal pukul 17.20. Kini Via lebih banyak bersama pembantu. Suatu ketika Bunda pulang lebih awal karena tidak enak badan. Saat itu waktu bagi Via tidur siang. Namun pembantu mengajaknya main ke rumah tetangga. Bunda marah dan pembantu ketakutan. Ia keluar. Sambil menunggu pembantu baru, Via ikut Bunda ke kantor sepulang sekolah. Mula-mula semua berjalan lancar. Lalu Via mulai sakit-sakitan. Akhirnya ia harus opname. Dokter menduga Via kurang istirahat dan makan tidak teratur. Bunda menangis mendengarnya. Ia merasa bersalah. Eyang datang menawarkan diri mengasuh Via di Salatiga. Via senang sekali. Ia tidak akan kesepian karena banyak sepupunya yang tinggal tidak jauh dari rumah Eyang. Sebetulnya Bunda keberatan. Namun demi kebaikan Via, Bunda pun rela. Setiap awal bulan Ayah dan Bunda bergantian ke Salatiga. Biasanya mereka tiba Minggu pagi. Sore harinya mereka sudah kembali ke Bandung, karena esok paginya harus ke kantor. Bunda pun selalu menyempatkan diri mengambil rapor Via. Atau menemani Via ikut piknik sekolah. Saat ulang tahun Via, Ayah dan Bunda cuti untuk merayakannya bersama. Ah, tiba-tiba ada aliran haru di dada Via. Keraguannya terhadap kasih sayang Bunda, hilang sudah. "Via, umumnya seorang anak memang tinggal bersama orang tuanya. Namun karena alasan tertentu, ada juga anak yang tinggal dengan orang lain," kembali mengiang kata-kata Eyang. Hop! Via bangkit meraih kertas dan pena. Ia mulai menuliskan kenangannya tentang Bunda. Sewaktu-waktu bila hatinya ragu ia akan membaca tulisannya kembali. Biarlah Bi Jum berpendapat Bunda tidak mau mengasuh dirinya. Namun Via yakin Bunda amat menyayanginya. Keyakinan itu akan ia jaga baik-baik. Via menghela nafas lega. Kini ia tidak boleh begitu saja terpengaruh ucapan orang lain. IMPIAN PENEBANG KAYU Candri adalah seorang penebang kayu. Tiap hari ia pergi ke hutan, untuk menebangi pohon dengan kapaknya. Dari sebuah pohon, ia mendapatkan berpuluh-puluh ikat kayu bakar. Kayu bakar yang dikumpulkannya dijualnya ke kota. Sebenarnya penghasilannya cukup untuk hidup. Namun Candri merasa tidak puas. Ia ingin seperti tetangganya, Pak Toma. “Seandainya aku kaya dan bisa bermalas-malasan seperti Pak Toma,” gumamnya. Hampir setiap hari Candri melihat Pak Toma duduk di kursi malas. Pak Toma memang bisa bermalas-malasan karena ia kaya. Candri menyesali hidupnya yang sederhana. Ia merasa iri melihat kehidupan Pak Toma. Candri berpikir, Pak Toma tidak pernah merasa letih seperti dirinya. “Mengapa hidupku seperti ini?” keluh Candri sambil duduk di bawah pohon. Candri yang lelah mulai tertidur. Tiba-tiba peri hutan muncul dan berbisik padanya. “Candri, apakah kau ingin bertukar hidup dengan orang seperti Pak Toma?” Dengan mata terpejam Candri menjawab,”Ya, aku ingin seperti Pak Toma. Karena hidupnya mudah dan penuh kemewahan. “Permintaanmu akan terkabul, Candri,” kata peri hutan. Tak lama kemudian ia menghilang. Ketika bangun, Candri berada di tempat yang berbeda. Ia berada di sebuah rumah yang sangat indah. Rumah yang mirip dengan Pak Toma. Perabot-perabot yang ada di dalam rumah sangat mewah. Pelayannya pun ada beberapa. “Aa.. aku kaya, aku kaya,” kata Candri takjub. Candri yang berada di atas kursi malas ingin segera bangun. Candri berusaha bangun dari kursi malas. “Aduuuuh…,” keluhnya. Badannya terasa aneh, terasa tidak sehat. Candri berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi ia merasa sakit. Saat ia ingin berjalan, ia harus dibantu para pembantunya. Rumah yang luas dan mewah jadi sulit dijelajahi. Makanan yang enak tersedia. Namun karena mulutnya terasa pahit, makanan itu terasa tak enak. Candri dapat merasakan kehidupan Pak Toma yang sebenarnya. Ia kaya, tapi sakit-sakitan. Rasa irinya Pak Toma lenyap, berganti menjadi rasa iba. “Aku ingin kembali ke kehidupanku semula,” gumam Candri sungguh-sungguh. Kemudian Candri berdoa. Ajaib. Tiba-tiba Candri terbangun di bawah pohon di hutan. Badannya terasa segar. “Oh untunglah. Ini hanya mimpi. Namun rasanya seperti nyata,” gumam Candri. Candri merasa lega, wajahnya pun menjadi cerah. Ia menyelesaikan pekerjaannya dengan gembira. Diam-diam, peri hutan yang mengawasinya tersenyum. Candri merasa bersyukur. Walaupun hidupnya sederhama, tapi badannya sehat. Sehingga ia bisa bekerja dan makan dengan enak. Candri segera pergi ke kota dan menjual kayu bakarnya. Sebagian uang yang didapatnya ia belikan buah-buahan untuk Pak Toma. Betapa senangnya Pak Toma. Candri yang biasanya tidak ramah, kini menjadi pemuda yang bersikap baik. Candri pun merasa sangat bahagia karena sudah membuat Pak Toma tersenyum. LANDI LANDAK YANG KESEPIAN Di hutan yang rindang, hidup seekor anak landak yang merasa kesepian. Landi namanya. Landi tidak mempunyai teman karena teman-temannya takut tertusuk duri tajam yang ada di badannya. "Maaf Landi, kami ingin bermain denganmu, tapi durimu sangat tajam," kata Cici dan teman-temannya. Tinggallah Landi sendirian. Ia hanya bisa bersedih. "Mengapa mereka tidak mau berteman dan bermain denganku?, padahal tidak ada seekor binatang pun yang pernah tertusuk duriku," gumam Landi. Hari-hari berikutnya Landi hanya melamun di tepi sungai. "Ah, andai saja semua duriku ini hilang, aku bisa bebas bermain dengan teman-temanku", kata Landi dalam hati. Landi merasa tidaklah adil hidupnya ini, selalu dijauhi teman-temannya. Ketika sedang asyik dengan lamunannya, muncullah Kuku Kura-kura. "Apa yang sedang kau lamunkan, Landi?" sapa kuku mengejutkan. "Ah, tidak ada," jawab Landi malu. "Jika kau mempunyai masalah, aku siap mendengarkannya," kata Kuku. Kuku kura-kura kemudian duduk di sebelah Landi. Lalu Landi mulai bercerita tentang masalahnya. "Kau tak perlu khawatir. Aku bersedia menjadi sahabatmu. Percayalah!" kata kuku sambil menjabat tangan Landi. Betapa girangnya hati Landi. Kini ia mempunyai teman. "Tempurungmu tampak begitu berat. Apa kau tidak merasa tersiksa?" tanya Landi. "Oh, sama sekali tidak. Justru tempurung ini sangat berguna. Tempurung ini bisa melindungiku. Jika ada bahaya, aku hanya perlu menarik kaki dan kepalaku ke dalam. Hebat kan ? Selain itu aku tak perlu repot mencari tempat tinggal. "Rumahku ini bisa berpindah-pindah sesuai keinginanku", kata Kuku kura-kura sambil mempraktekkan apa yang dikatakannya. Landi landak merasa terhibur. Suatu hari, teman Landi yang bernama Sam Kodok berulang tahun. Semua diundang, termasuk Landi Landak."Ayo Landi, kau harus datang ke pesta itu," bujuk Kuku kura-kura. "Aku tidak mau karena nanti teman-teman yang lain pasti akan menjauhiku karena takut tertusuk duri," kata Landi dengan sedih. "Jangan khawatir, kau kan tidak sendirian. Aku akan menemanimu. Di sana banyak kue yang lezat dam tentu saja buah apel loh!" Mendengar kata apel, Landi menjadi tergoda. Ia memang sangat menyukai apel. Akhirnya Landi mau juga berangkat bersama Kuku kura-kura. Pesta Sam kodok sangat meriah. Wangi aneka bunga tercium disetiap sudut ruangan. Ada dua meja panjang diletakkan di sisi kiri dan kanan halaman Sam kodok. Di atasnya tersedia berbagai macam kue dan buah-buahan. "Lihat! Di dekat meja ada satu tong sirup apel !, kata Landi". Landi dan Kuku kura-kura memberikan selamat pada Sam kodok. Setelah meniup lilin. Semua bertepuk tangan sambil bernyanyi "Selamat Ulang Tahun". Pada saat berdansa, semua yang diundang menghindar dari Landi landak. Mereka takut tertusuk duri Landi landak. Akhirnya, Kuku kura-kura lah yang menemani Landi berdansa. Tiba-tiba, pesta yang mengasyikkan itu terhenti dengan teriakan Tito. Ia datang sambil berlari ketakutan. "Awas! Serigala jahat datang! Tolong...! Tolong...! Teriaknya dengan napas tersengal-sengal. Semua menjadi ketakutan. Mereka berlarian menyelamatkan diri. Karena tidak bisa berlari, Kuku kura-kura langsung memasukkan kepala dan kakinya ke tempurung rumahnya. Sedangkan Landi Landak segera menggulung tubuhnya menjadi seperti bola. Serigala jahat yang mengejar teman-teman Landi tidak melihat tubuh Landi. Tiba-tiba, "Brukk, aduhhh..." teriak serigala jahat. Ia tertusuk duri tajam Landi Landak. Sambil menahan sakit, Serigala jahat langsung lari tunggang langgang. Maka selamatlah Landi dan teman-temannya. "Hore..! Hore...! Hidup Landi Landak!" semua binatang mengelukan Landi. Landi menjadi tersipu malu karenanya. "Maafkan aku Landi, selama ini aku menjauhimu. Padahal kau tidak pernah menyakitiku. Ternyata duri tajammu itu telah menyelamatkan kita semua," sesal Cici Kelinci. Akhirnya semua yang datang ke pesta Sam Kodok meminta maaf pada Landi Landak karena telah menjauhinya kemudian mereka pun berterima kasih pada Landi Landak karena telah melindungi mereka dari serigala jahat. Kini, Landi Landak tidak merasa kesepian lagi. Teman-temannya tidak takut lagi akan durinya yang tajam. Bahkan mereka merasa aman jika Landi berada didekat mereka. AINI DAN BURUNG KECIL Aini berulang tahun. Ia gadis kecil yang manis. Hari ulang tahunnya dirayakan dengan pesta kecil yang meriah. Halaman belakang rumahnya dihiasi banyak balon, pita, dan bunga-bunga. Hiasan itu pemberian dari Bibi Anya, adik ibunya. Taman kecil di belakang rumah itu jadi indah sekali. Pesta ulang tahun itu diisi doa. Mereka berdoa agar Aini selalu diberi kebahagiaan. Lalu nyanyian selamat ulang tahun yang ramai. Barulah acara makan yang menyenangkan. Ulang tahun yang melelahkan, tapi menyenangkan. Aini menerima banyak kado. Bungkus dan pita-pitanya sangat indah, Setelah pesta selesai, Aini membuka kado-kado itu, satu persatu. Hadiahnya macam-macam. Ada banyak buku cerita, pensil warna, sepatu, boneka, topi, dan banyak lagi. Aini senang sekali. Namun masih ada satu kado yang belum dibukannya. Apa itu? Kado itu cukup besar, dibungkus kain biru nan indah. Aini tak sabar membukanya. Hop! Aaah, sebuah sangkar keperakan. Di dalamnya ada seekor burung yang cantik. Bulu burung itu berwarna merah, kuning, dan hijau. Aini kaget melihatnya. Namun kemudian ia merasa senang, karena burung itu sangat cantik. "Kau kunamai Mungil," kata Aini pada burung itu. Aini merasa, itulah hadiah ulang tahun yang paling indah. Ia kemudian menaruh Mungil dan sangkarnya di meja taman. Halaman belakang yang ditumbuhi bunga dan pohon tinggi. "Oh, Mungil, menyanyilah," pinta Aini, setiap ia mengengok burung kecil itu. Namun burung itu tak mau menyanyi. "Oh, burung yang lucu, menyanyilah," pinta Aini lagi. Mungil masih saja diam. Ia seperti sedang bersedih. "Mungil sayang, apakah engkau bersedih?" tanya Aini. Burung itu mengangguk. "Apakah engkau ingin keluar dari sangkarmu?" tanya gadis kecil itu. Burung itu mengangguk lagi. "Baiklah, kau akan kulepaskan," kata Aini. Ia membuka pintu sangkar. Brrrr... Mungil pun terbang. Kepak sayapnya sangat indah. "Selamat jalan, Pelangiku," kata Aini. Ia sedih karena kehilangan burung kesayangannya. Ia pun mulai kelihatan murung. Pengasuhnya jadi sedih melihat Aini seperti itu. "Pakailah topi ini. Kau akan kelihatan seperti seorang putri," katanya. Ia memeperlihatkan sebuah topi lebar hadiah ulang tahun dari ayahnya. Aini menggeleng. "Aku kangen pada Mungil," katanya. "Oh, itukah nama burung itu?" tanya pengasuh. Aini mengangguk. "Apakah engkau melepaskan Mungil?" sang pengasuh bertanya lagi. "Ya, karena aku tak ingin Mungil bersedih. Ia tak mau tinggal dalam sangkar." "Kalau begitu jangan sedih, Aini. Mungil pasti sedang bergembira. Ia terbang sekarang. Ia senang melihat pemandangan dari angkasa. Kau tahu, Aini sayang. Burung sangat suka terbang," katanya. "Benarkah ia bahagia?" tanya Aini. "Aku yakin, Aini. Suatu hari, Mungil akan datang. Ia akan berterima kasih padamu. Karena engkau melepaskannya," kata pengasuhnya. Pengasuh Aini benar. Esok harinya, Mungil datang menjumpai Putri. Burung itu berdiri di atas cabang pohon. Sayapnya dikepakkan. Lalu Mungil bernyanyi, "Trilili tralala... trilili tralala..." Aini terkejut. Namun ia senang sekali. Ia senang melihat burung itu hinggap di cabang pohon. "Burung kecilku, kau kembali!" serunya. Semenjak itu Mungil datang setiap pagi. Aini pun selalu menyambutnya dengan gembira. Mungil selalu berkicau dengan indah. Akhirnya Aini dan Mungil sama-sama bahagia. SERULING AJAIB Si Kancil sedang asyik berjalan di hutan bambu. "Ternyata enak juga jalan-jalan dihutan bambu, sejuk dan begitu damai," kata kancil dalam hati. Keasyikan berjalan membuat ia lupa jalan keluar, lalu ia mencoba jalan pintas dengan menerobos pohon-pohon bambu. Tapi yang terjadi si kancil malah terjepit diantara batang pohon bambu. "Tolong! Tolong!" teriak kancil. Ia meronta-ronta, tapi semakin ia meronta semakin kuat terjepit. Ia hanya berharap mudah-mudahan ada binatang lain yang menolongnya. Tak jauh dari hutan bambu, seekor harimau sedang beristirahat sambil mendengarkan kicauan burung. Ia berkhayal bisa bernyanyi seperti burung. "Andai aku bisa bernyanyi seperti burung, tapi siapa yang mau mengajari aku bernyanyi ya ?", tanyanya dalam hati. Semilir angin membuat harimau terkantuk-kantuk. Tak lama setelah ia mendengkur, terdengar suara berderit-derit. Suara itu semakin nyaring karena terbawa angin. "Suara apa ya itu ?" kata harimau. "Yang pasti bukan suara kicauan burung, sepertinya suaranya datang dari arah hutan bambu, lebih baik aku selidiki saja," ujar si harimau. Suara semakin jelas ketika harimau sampai di hutan bambu. Ia mendapati ternyata seekor kancil sedang terjepit diantara pohon-pohon bambu. "Wah aku beruntung sekali hari ini, tanpa susah payah hidangan lezat sudah tersedia", ujar harimau kepada kancil sambil lidahnya berdecap melihat tubuh kancil yang gemuk. Kancil sangat ketakutan."Apa yang harus kulakukan agar bisa lolos dengan selamat ?", pikir si kancil. "Harimau yang baik, janganlah kau makan aku, tubuhku yang kecil pasti tak akan mengenyangkanmu." "Aku tak perduli, aku sudah lama menunggu kesempatan ini," ujar si harimau. Angin tiba-tiba berhembus lagi, kriet....kriet... "Suara apa itu ?", Tanya Harimau penasaran. "Itu suara seruling ajaibku," jawab kancil dengan cepat. Otaknya yang cerdik telah menemukan suatu cara untuk meloloskan diri. "Aku bersedia mengajarimu asalkan engkau tidak memangsaku, bagaimana ?" Tanya si kancil. Harimau tergoda dengan tawaran si kancil, karena ia memang ingin dapat bernyanyi seperti burung. Ia berpikir meniup seruling tidak kalah hebat dengan bernyanyi. Tangan si kancil pura-pura asyik memainkan seruling seiring dengan hembusan angin. Sementara harimau memperhatikan dengan serius. "Koq lagunya hanya seperti itu ?", Tanya harimau. "ini baru nada dasar", jawab kancil. "Begini caranya, coba kau kemari dan renggangkan dulu batang bambu ini dari tubuhku", kata si kancil. Harimau melakukan apa yang dikatakan kancil hingga akhirnya kancil terbebas dari jepitan pohon bambu. "Nah, sekarang masukkan lehermu dan julurkan lidahmu pada batang bambu ini. Lalu tiuplah pelan-pelan ," Kancil menerangkan dengan serius. "Jangan heran ya, kalau suaranya kadang kurang merdu, tapi kalau lagi tidak ngadat suaranya bagus lho." "Untung ada si harimau, hmm bodoh sekali dia, mana ada seruling ajaib," kata kancil dalam hati. "Harimau yang telah terjepit diantara batang bamboo tidak menyadari bahwa ia telah ditipu si kancil. "Kau mau pergi kemana, Cil ?", Tanya harimau. "Aku mau minum dulu, tenggorokanku kering karena kebanyakan meniup seuling," jawab si kancil. "Masa aku harus belajar sendiri ?", tanya harimau lagi. "Aku pergi tidak lama, nanti waktu aku kembali, kau harus sudah bisa meniupnya ya, jawab si kancil sambil pergi meninggalkan harimau. Setelah si kancil pergi, angin bertiup semilir-semilir dan semakin lama semakin kencang. Batang-batang pohon bambu menjadi saling bergesekan dan berderit-derit. "Hore aku bisa !", seru harimau bersemangat. Karena terlalu bersemangat meniup, lidah harimau menjadi terjepit di antara batang bambu. Ia berteriak kesakitan dan segera menarik lidahnya dari jepitan batang bambu. "Wah ternyata aku telah ditipu lagi oleh si kancil, betapa bodohnya aku ini !, pasti bunyi berderit-derit itu suara batang bambu yang bergesekan. "Grr, benar-benar keterlaluan, kalau ketemu nanti akan ku hajar si kancil", kata harimau. Setelah lelah mencari si kancil, akhirnya harimau beristirahat di bawah pohon. Angin berhembus kembali. Kriet..kriet..krietmembuat batang-batang bambu saling bergesekan dan berderit-derit. Hal ini membuat amarah harimau sedikit reda. Ia jadi mengantuk dan akhirnya tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi dapat meniup seruling asli ! Membuat para binatang menari dan menyanyi. KEONG MAS Alkisah pada jaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda bernama Galoran. Ia termasuk orang yang disegani karena kekayaan dan pangkat orangtuanya. Namun Galoran sangatlah malas dan boros. Sehari-hari kerjanya hanya menghambur-hamburkan harta orangtuanya, bahkan pada waktu orang tuanya meninggal dunia ia semakin sering berfoya-foya. Karena itu lama kelamaan habislah harta orangtuanya. Walaupun demikian tidak membuat Galoran sadar juga, bahkan waktu dihabiskannya dengan hanya bermalas-malasan dan berjalan-jalan. Iba warga kampung melihatnya. Namun setiap kali ada yang menawarkan pekerjaan kepadanya, Galoran hanya makan dan tidur saja tanpa mau melakukan pekerjaan tersebut. Namun akhirnya galoran dipungut oleh seorang janda berkecukupan untuk dijadikan teman hidupnya. Hal ini membuat Galoran sangat senang ; "Pucuk dicinta ulam pun tiba", demikian pikir Galoran. Janda tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang sangat rajin dan pandai menenun, namanya Jambean. Begitu bagusnya tenunan Jambean sampai dikenal diseluruh dusun tersebut. Namun Galoran sangat membenci anak tirinya itu, karena seringkali Jambean menegurnya karena selalu bermalas-malasan. Rasa benci Galoran sedemikian dalamnya, sampai tega merencanakan pembunuhan anak tirinya sendiri. Dengan tajam dia berkata pada istrinya : " Hai, Nyai, sungguh beraninya Jambean kepadaku. Beraninya ia menasehati orangtua! Patutkah itu ?" "Sabar, Kak. Jambean tidak bermaksud buruk terhadap kakak" bujuk istrinya itu. "Tahu aku mengapa ia berbuat kasar padaku, agar aku pergi meninggalkan rumah ini !" seru nya lagi sambil melototkan matanya. "Jangan begitu kak, Jambean hanya sekedar mengingatkan agar kakak mau bekerja" demikian usaha sang istri meredakan amarahnya. "Ah .. omong kosong. Pendeknya sekarang engkau harus memilih .. aku atau anakmu !" demikian Galoran mengancam. Sedih hati ibu Jambean. Sang ibu menangis siang-malam karena bingung hatinya. Ratapnya : " Sampai hati bapakmu menyiksaku jambean. Jambean anakku, mari kemari nak" serunya lirih. "Sebentar mak, tinggal sedikit tenunanku" jawab Jambean. "Nah selesai sudah" serunya lagi. Langsung Jambean mendapatkan ibunya yang tengah bersedih. "Mengapa emak bersedih saja" tanyanya dengan iba. Maka diceritakanlah rencana bapak Jambean yang merencanakan akan membunuh Jambean. Dengan sedih Jambean pun berkata : " Sudahlah mak jangan bersedih, biarlah aku memenuhi keinginan bapak. Yang benar akhirnya akan bahagia mak". "Namun hanya satu pesanku mak, apabila aku sudah dibunuh ayah janganlah mayatku ditanam tapi buang saja ke bendungan" jawabnya lagi. Dengan sangat sedih sang ibu pun mengangguk-angguk. Akhirnya Jambean pun dibunuh oleh ayah tirinya, dan sesuai permintaan Jambean sang ibu membuang mayatnya di bendungan. Dengan ajaib batang tubuh dan kepala Jambean berubah menjadi udang dan siput, atau disebut juga dengan keong dalam bahasa Jawanya. Tersebutlah di Desa Dadapan dua orang janda bersaudara bernama Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil. Kedua janda itu hidup dengan sangat melarat dan bermata pencaharian mengumpulkan kayu dan daun talas. Suatu hari kedua bersaudara tersebut pergi ke dekat bendungan untuk mencari daun talas. Sangat terpana mereka melihat udang dan siput yang berwarna kuning keemasan. "Alangkah indahnya udang dan siput ini" seru Mbok Rondo Sambega "Lihatlah betapa indahnya warna kulitnya, kuning keemasan. Ingin aku bisa memeliharanya" serunya lagi. "Yah sangat indah, kita bawa saja udang dan keong ini pulang" sahut Mbok Rondo Sembadil. Maka dipungutnya udang dan siput tersebut untuk dibawa pulang. Kemudian udang dan siput tersebut mereka taruh di dalam tempayan tanah liat di dapur. Sejak mereka memelihara udang dan siput emas tersebut kehidupan merekapun berubah. Terutama setiap sehabis pulang bekerja, didapur telah tersedia lauk pauk dan rumah menjadi sangat rapih dan bersih. Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil juga merasa keheranan dengan adanya hal tersebut. Sampai pada suatu hari mereka berencana untuk mencari tahu siapakah gerangan yang melakukan hal tersebut. Suatu hari mereka seperti biasanya pergi untuk mencari kayu dan daun talas, mereka berpura-pura pergi dan kemudian setelah berjalan agak jauh mereka segera kembali menyelinap ke dapur. Dari dapur terdengar suara gemerisik, kedua bersaudara itu segera mengintip dan melihat seorang gadis cantik keluar dari tempayan tanah liat yang berisi udang dan Keong Emas peliharaan mereka. "tentu dia adalah jelmaan keong dan udang emas itu" bisik Mbok Rondo Sambega kepada Mbok Rondo Sembadil. "Ayo kita tangkap sebelum menjelma kembali menjadi udang dan Keong Emas" bisik Mbok Rondo Sembadil. Dengan perlahan-lahan mereka masuk ke dapur, lalu ditangkapnya gadis yang sedang asik memasak itu. "Ayo ceritakan lekas nak, siapa gerangan kamu itu" desak Mbok Rondo Sambega "Bidadarikah kamu ?" sahutnya lagi. "bukan Mak, saya manusia biasa yang karena dibunuh dan dibuang oleh orang tua saya, maka saya menjelma menjadi udang dan keong" sahut Jambean lirih. "terharu mendengar cerita Jambean kedua bersaudara itu akhirnya mengambil Keong Emas sebagai anak angkat mereka. Sejak itu Keong Emas membantu kedua bersaudara tersebut dengan menenun. Tenunannya sangat indah dan bagus sehingga terkenallah tenunan terebut keseluruh negeri, dan kedua janda bersaudara tersebut menjadi bertambah kaya dari hari kehari. Sampailah tenunan tersebut di ibu kota kerajaan. Sang raja muda sangat tertarik dengan tenunan buatan Jambean atau Keong Emas tersebut. Akhirnya raja memutuskan untuk meninjau sendiri pembuatan tenunan tersebut dan pergi meninggalkan kerajaan dengan menyamar sebagai saudagar kain. Akhirnya tahulah raja perihal Keong Emas tersebut, dan sangat tertarik oleh kecantikan dan kerajinan Keong Emas. Raja menitahkan kedua bersaudara tersebut untuk membawa Jambean atau Keong Emas untuk masuk ke kerajaan dan meminang si Keong Emas untuk dijadikan permaisurinya. Betapa senang hati kedua janda bersaudara tersebut. Akhirnya Keong Emas hidup berbahagia sebagai permaisuri raja, sedangkan ayah tiri dan ibunya hidup menderita dan harus mengembara dari desa ke desa untuk meminta-minta. THE DOLPHIN DAN SHARK Once upon a time, not so long ago, there lived a shark named Simon and a dolphin named Dudley. They lived in the ocean, not too far from a beautiful sandy beach, a tall lighthouse, and a dark, murky swamp. Now Simon and Dudley knew each other, but they weren't the best of friends! Dudley had two sisters, and they played together and took care of each other, and were very happy in the cool blue water. But Simon swam alone, he had no brothers or sisters, and no one to play with, and that made him very grumpy. And so he spent his days swimming lazily, feeling sorry for himself, and just being mean. Simon's favorite thing was to attack Dudley and his sisters. He would dive deep in the water, lurking near the bottom, and then, when he saw the dolphins playing near the surface, he would swim as hard as he could toward them and try to bite their tails! But the dolphins always saw him coming, and they would come up out of the water, and stand on their tails, and whistle and giggle, the way dolphins do, and they always managed to keep just out of reach of Simons big sharp teeth. I don't think Simon really wanted to catch them do you? Because if he caught them and ate them, well... he wouldn't have any fun anymore. But you never know about sharks, so Dudley and his sisters were always on the lookout for Simon the grump. One day, while Dudley was swimming by himself, and Simon was chasing him, they got very close to the shore. Dudley leaped out of the water with Simon right behind him, and they both saw something very strange on the beach. There, leading out of the swamp, were strange tracks in the sand! Dudley stopped swimming, and Simon stopped chasing, and they floated and wondered about the unusual footprints in front of them. They had never seen marks like that before! "I wonder if it was a duck billed platypuss?" said Dudley. "I don't think so" replied Simon, "I'll bet it was a Red Breasted Hairy Headed Knee Walker!" But since neither of those creatures were seen in those parts very often, they kept on wondering. They thought maybe it had been a Big Bellied Widget Gobbler, or a Black and White Thingy, or perhaps a Hooty Snooty Crawler. But they just weren't sure what had made those funny, large footprints! All of a sudden they heard something coming, something was shuffling along the beach. They could almost see it now, it was getting closer and closer, and then, there it was! It was even stranger than anything they had thought of! There, coming at them, getting nearer and nearer was......... ......a by golly great big green alligator, wearing a funny hat and raggedy overalls! And he was dancing! Well, they thought this was the funniest sight they had ever seen, but then, they heard music too! And the music was getting louder and louder, and out of the corners of their eyes they saw....oh, it just couldn't be! There, coming out of the swamp, was a frog playing a banjo! And over there, walking towards them up the beach, was a raccoon playing a fiddle! And soon the three strange animals were right in front of Simon and Dudley, and the frog strummed his banjo, and the raccoon fiddled his fiddle, and the great green alligator danced, and they were all having a wonderful time! Simon and Dudley were flabbergasted, and befuddled, and they just floated, and watched and listened as the alligator danced to tune after tune. And Dudley clapped his flippers, and Simon applauded with his fins, and they thought they had never had so much fun. The music and dancing lasted all afternoon, and the sun was beginning to set when the two musicians and the dancer started to go their separate ways. The frog went back to the swamp, the raccoon trotted off down the beach, and the alligator went into the rocks near the lighthouse. The shark and the dolphin watched them go, and were a little sorry that the wonderful show had to end. And as they watched, they thought about what they had seen. Simon had been thinking especially hard about what had occured. He had seen three very different creatures getting along well, and being the best of friends. He had seen how happy they were together. And he had seen himself floating side by side with a dolphin, both of them enjoying the same music and dancing. Simon thought about how lonely his life was, swimming all alone, with no friends, and being grumpy. He had thought very, very hard about these things. And so, he decided what he must do, and he turned slowly toward the dolphin, and swam very slowly up to him, and began to tell him what he thought. The sun was a brilliant yellow as it came up out of the sea the next morning, and the sky was a beautiful shade of blue. And if someone had been standing on the shore, looking out over the water, they would have seen four fins cutting through the waves. They would have seen three dolphins and a shark, but the shark wasn't chaseing Dudley and his sisters, he was playing with them! For Simon had told Dudley how tired he was of being lonely and grumpy. He told him how badly he wanted some friends. And he told him how wonderful it had been to see the frog, and the raccoon, and the alligator, playing and dancing and being the best of friends. And Simon thought that if three creatures as different as those could do it, well, he and the dolphins could too. Now they all swam together, and played together, and took care of one another, and were very happy. And once in a while, when the sun and the clouds and the sea were just right, they would be lucky enough to catch a glimpse of the frog, and the raccoon, and the great green alligator playing and dancing in the sand. This story was told to me by a Red Breasted Hairy Headed Knee Walker that I know. You may not believe him, but I do. I have never known a Red Breasted Hairy Headed Knee Walker to tell a lie! ASAL MULA GUNTUR Dahulu kala peri dan manusia hidup berdampingan dengan rukun. Mekhala, si peri cantik dan pandai, berguru pada Shie, seorang pertapa sakti. Selain Mekhala, Guru Shie juga mempunyai murid laki-laki bernama Ramasaur. Murid laki-laki ini selalu iri pada Mekhala karena kalah pandai. Namun Guru Shie tetap menyayangi kedua muridnya. Dan tidak pernah membedakan mereka. Suatu hari Guru Shie memanggil mereka dan berkata, "Besok, berikan padaku secawan penuh air embun. Siapa yang lebih cepat mendapatkannya, beruntunglah dia. Embun itu akan kuubah menjadi permata, yang bisa mengabulkan permintaan apapun." Mekhala dan Ramasaur tertegun. Terbayang oleh Ramasaur ia akan meminta harta dan kemewahan. Sehingga ia bisa menjadi orang terkaya di negerinya. Namun Mekhala malah berpikir keras. Mendapatkan secawan air embun tentu tidak mudah, gumam Mekhala di dalam hati. Esoknya pagi-pagi sekali kedua murid itu telah berada di hutan. Ramasaur dengan ceroboh mencabuti rumput dan tanaman kecil lainnya. Tetapi hasilnya sangat mengecewakan. Air embun selalu tumpah sebelum dituang ke cawan. Sebaliknya, Mekhala dengan hati-hati menyerap embun dengan sehelai kain lunak. Perlahan diperasnya lalu dimasukan ke cawan. Hasilnya sangat menggembirakan. Tak lama kemudian cawannya telah penuh. Mekhala segera menemui Guru Shie dan memberikan hasil pekerjaannya. Guru Shie menerimanya dengan gembira. Mekhala memang murid yang cerdik. Seperti janjinya, Guru Shie mengubah embun itu menjadi sebuah permata sebesar ibu jari. " Jika kau menginginkan sesuatu, angkatlah permata ini sejajar dengan keningmu. Lalu ucapkan keinginanmu," ujar Guru Shie. Mekhala mengerjakan apa yang diajarkan gurunya, lalu menyebut keinginannya. Dalam sekejap Mekhala telah berada di langit biru. Melayang-layang seperti Rajawali. Indah sekali. Sementara itu, baru pada senja hari Ramasaur berhasil mendapat secawan embun. Hasilnya pun tidak sejernih yang didapat Mekhala. Tergopoh-gopoh Ramasaur menyerahkannya pada Guru Shie. "Meskipun kalah cepat dari Mekhala, kau akan tetap mendapat hadiah atas jerih payahmu," kata Guru Shie sambil menyerahkan sebuah kapak sakti. Kapak itu terbuat dari perak. Digunakan untuk membela diri bila dalam bahaya. Bila kapak itu dilemparkan ke sasaran, gunung pun bisa hancur. Ternyata Ramasaur menyalahgunakan hadiah itu. Ia iri melihat Mekhala yang bisa melayang-layang di angkasa. Ramasaur segera melemparkan kapak itu ke arah Mekhala. Tahu ada bahaya mengancam, Mekhala menangkis kapak itu dengan permatanya. Akibatnya terjadilah benturan dahsyat dan cahaya yang sangat menyilaukan. Benturan itu terus terjadi hingga saat ini, berupa gelegar yang memekakkan telinga. Orang-orang menyebutnya "guntur". SEMUT YANG HEMAT Di zaman Mesir kuno, hiduplah seorang raja yang sangat terkenal keadilannya. Raja tersebut sangat mencintai rakyatnya. Bahkan raja tersebut dalam mencinta keluarganya tidak melebihi cintanya pada rakyatnya. Sehingga kalau ada anggota keluarganya yang bersalah tetaplah di hukum sebagaimana orang lain. Yang lebih istimewa lagi, raja ini juga penyayang binatang. Karena cintanya pada binatang, suatu hari raja yang adil itu pergi berjalan-jalan menemui seekor semut. Si semut merasa senang dan bangga mendapat kunjungan dari raja. "Bagaimana kabarmu, semut?" tanya sang Raja. "Hamba baik-baik saja Baginda," jawab semut gembira. "Dari mana saja kau pergi?" "Hamba sejak pagi pergi ke beberapa tempat tetapi belum juga mendapatkan makanan, Baginda." "Jadi sejak pagi kau belum makan?" "Benar, baginda." Raja yang adil itu pun termenung sejenak. Kemudian berkata, "Hai, semut. Beberapa banyak makanan yang kau perlukan dalam setahun?" "Hanya sepotong roti saja baginda," jawab semut. "Kalau begitu maukah kau kuberi sepotong roti untuk hidupmu setahun?" "Hamba sangat senang, Baginda." "Kalau begitu, ayo engkau kubawa pulang ke istana," ujar Raja, lalu membawa semut itu ke istananya. Semut sangat gembira karena mendapatkan anugerah makanan dari sang raja. Ia tidak susah-susah lagi mencari makanan dalam setahun. Dan tentu saja roti pemberian sang raja akan lebih manis dan enak. "Sekarang engkau masuklah ke dalam tabung yang telah kuisi sepotong roti ini!" perintah sang raja. "Terimakasih, Baginda. Hamba akan masuk." "Setahun yang akan datang tabung ini baru akan kubuka," ujar sang raja lagi. "Hamba sangat senang, Baginda." Tabung berisi roti dan semut itu pun segera ditutup rapat oleh sang raja. Tutup tabung itu terbuat dari bahan khusus, sehingga udara tetap masuk ke dalamnya. Tabung tersebut kemudian disimpan di ruang khusus di dalam istana. Hari-hari berikutnya sang raja tetap memimpin rakyatnya. Berbagai urusan ia selesaikan secara bijaksana. Akhirnya setelah genap setahun, teringatlah sang raja akan janjinya pada semut. Perlahan-lahan raja membuka tutup tabung berisi semut itu. Ketika tutup terbuka, si semut baru saja menikmati roti permberian raja setahun lalu. "Bagaimana kabarmu, semut?" tanya sang raja ketika matanya melihat semut di dalam tabung. "Keadaan hamba baik-baik saja, Baginda." "Tidak pernah sakit selama setahun di dalam tabung?" "Tidak baginda. Keadaan hamba tetap sehat selama setahun." Kemudian sang raja termenung sejenak sambil melihat sisa roti milik semut di dalam tabung. "Mengapa roti pemberianku yang hanya sepotong masih kau sisakan separuh?" tanya sang raja. "Betul, Baginda." "Katanya dalam setahun kau hanya memerlukan sepotong roti. Mengapa tak kau habiskan?" "Begini, Baginda. Roti itu memang hamba sisakan separuh. Sebab hamba khawatir jangan-jangan Baginda lupa membuka tutup tabung ini. Kalau Baginda lupa membukanya, tentu saja hamba masih dapat makan roti setahun lagi. Tapi untunglah Baginda tidak lupa. Hamba senang sekali." Sang raja sangat terkejut mendengar penjelasaan si semut yang tahu hidup hemat. Sang raja tersenyum kecil di dekat semut. "Kau semut yang hebat. Kau dapat menghemat kebutuhanmu. Hal ini akan kusiarkan ke seluruh negeri agar rakyatku dapat mencotohmu. Kalau semut saja dapat menghemat kebutuhannya, mengapa manusia justru gemar hidup boros?" "Sebaiknya Baginda jangan terlalu memuji hamba," jawab si semut. Semut itu akhirnya mendapat hadiah lagi dari raja. Sebagai tanda terimakasih karena telah mengajarinya hidup hemaT. PAMAN GOBER DAN IKAN-IKAN AJAIB Suatu hari Paman Gober pergi ke Klub Milioner, tempat ia biasa berkumpul bersama teman-temannya. Sesampainya disana, ia melihat pengumuman perlombaan memancing untuk anggota klub dengan hadiah sepatu ladam dari emas. "Wah, perlombaan yang hebat !, Aku akan ikut serta", kata Paman Gober. Paman Gober segera berangkat ke pelabuhan. Ia menyewa perahu motor dan kail. Dalam waktu singkat, Paman Gober berhasil mendapatkan seekor ikan yang sangat besar. Tapi, tiba-tiba ikan itu bisa berbicara. "Kumohon, lemparkan aku ke laut lagi", kata ikan tersebut. "Kalau kau melepaskan aku, aku akan mengabulkan semua permintaanmu", kata ikan itu lagi. Paman Gober berpikir,"Ikan yang bisa berbicara pasti ikan ajaib dan barangkali ikan ini memang benar-benar dapat mewujudkan apa yang paling kuinginkan." Paman Gober akhirnya meminta agar gudang uangnya dipenuhi dengan uang. "Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan, pulang dan lihatlah gudang uangmu sekarang. Setelah melemparkan ikan itu ke laut lagi, ia segera pulang dengan tergesa-gesa. Ternyata benar, gudang uangnya sudah penuh. Penuh dengan logam emas sampai menyentuh langit-langit ruangan. Paman Gober melompat-lompat kegirangan. Tetapi Ia segera berpikir dan berkata pada dirinya sendiri, "seekor ikan yang dapat memenuhi lumbung pasti dapat melakukan hal lain yang lebih hebat, Aku terlalu cepat melepaskannya". Paman Gober segera kembali ke pelabuhan. Sesampainya di tengah laut ia memanggil ikan ajaib tersebut. "Oh ikan," panggilnya. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu." "Apalagi ? Bukankah gudang uangmu sudah penuh ?", Tanya si ikan ajaib. "Benar", jawab Paman Gober. "Tetapi aku meminta kebaikan hatimu, bisakah aku mendapatkan sebuah Istana ?, sepertinya tidak pantas jika aku mempunyai banyak uang tetapi masih tinggal dirumah tua saat ini", ujar Paman Gober". "Baiklah, sekarang kau akan memiliki sebuah Istana yang bagus, pulang dan lihatlah", ujar ikan sambil berenang ke laut lagi. Setelah sampai dirumah, rumah Paman Gober sudah hilang. Ditempat itu sekarang berdiri Istana yang sangat indah dan megah. Pintunya terbuat dari emas dan lantainya dari marmer. Selama hampir satu jam Paman Gober bergembira dan bangga pada dirinya sendiri. Ia merasa masih tidak puas. "Karena aku mempunyai sebuah istana, seharusnya aku menjadi seorang raja dan duduk di singgasana dengan memakai mahkota emas", pikirnya. "Paman Gober, mungkin Paman sudah gila !!", kata Donal. Paman Gober tidak perduli, karena pikirannya hanya harta terus, ia segera pergi ke pelabuhan untuk menemui ikan ajaib lagi. "Apalagi sekarang ?, apa Istana itu kurang bagus?", tanya sang ikan ajaib. "Istana itu indah sekali, Istana itu cocok untuk tempat tinggal seorang raja, karena itu aku ingin menjadi raja, ujar Paman Gober." "Tidak masuk akal !", kata si ikan. "Begitukah ucapan terima kasihmu setelah aku melepaskan dan membiarkanmu pergi !?" "Baiklah", kata ikan itu. "Aku akan mengabulkan permintaanmu kali ini, berusahalah menjadi raja yang baik", lanjutnya. Ketika sampai di Istananya, banyak pelayan yang menyambut dan memberi hormat kepada Paman Gober. Diujung ruangan terdapat sebuah singgasana dan sebuah mahkota dari emas. Tidak berapa lama setelah menikmati menjadi raja, Paman Gober kembali berpikir, mungkin seorang raja tidak cukup berharga. Ia ingin menjadi seorang Kaisar untuk seluruh dunia. Sehingga tidak ada seorangpun yang akan menertawakanku. Paman Gober kembali menemui Ikan ajaib. Setelah ia memanggil-manggil, ikan ajaib itu muncul menyembulkan kepalanya. "Apa lagi sekarang ?", Tanya si ikan. "Menjadi seorang raja tidaklah cukup hebat bagiku," kata Paman Gober. "Aku ingin menjadi Kaisar Agung", lanjutnya. "Apakah ketamakanmu tidak ada akhirnya ?" Tanya si ikan lagi. "Sekarang aku tahu kekuatan ajaib ini tidak cukup membuat orang tamak sepertimu merasa puas dan bahagia, pulanglah dan sekarang kau harus berbahagia dengan apa yang kau miliki seperti ketika belum bertemu denganku", kata Ikan sambil pergi meninggalkan Paman Gober. Paman Gober pulang kembali. Ia tidak menemui Istananya, begitu pula singgasana dan mahkotanya. Semuanya lenyap termasuk gudang uangnya yang menjadi seperti semula. Paman Gober mulai menangis. Ia menangisi semua hartanya yang lenyap. Beberapa saat kemudian, Paman Gober mengingat kembali kata Ikan ajaib. "Tak ada kekuatan ajaib yang bisa memuaskan orang yang tamak, berbahagialah dengan apa yang kau miliki". Ia segera berhenti menangis dan mengeringkan air matanya. "Lumbung uangku ini bukan separuh kosong, tetapi separuh penuh. Mungkin aku tidak terlalu miskin", pikirnya. "Ikan itu adalah ikan yang bijak", kata Paman Gober. "Sekarang ikut aku Donal, kita akan makan malam. Sesampainya direstoran Paman Gober dan Donal memakan makanan yang lezat sambil tertawa bersama. Tetapi, setelah mereka selesai makan, Paman Gober memberikan rekening tagihannya kepada Donal. Ternyata, Paman Gober masih belum berubah, walaupun Ikan ajaib telah memberinya pelajaran. Pesan Moral : Semua nikmat dan rezeki yang didapatkan setiap hari harus selalu kita syukuri. Ketamakan dan keserakahan dapat membuat seseorang menjadi kehilangan segalanya. PANGERAN KATAK Pada suatu waktu, hidup seorang raja yang mempunyai beberapa anak gadis yang cantik, tetapi anak gadisnya yang paling bungsulah yang paling cantik. Ia memiliki wajah yang sangat cantik dan selalu terlihat bercahaya. Ia bernama Mary. Di dekat istana raja terdapat hutan yang luas serta lebat dan di bawah satu pohon limau yang sudah tua ada sebuah sumur. Suatu hari yang panas, Putri Mary pergi bermain menuju hutan dan duduk di tepi pancuran yang airnya sangat dingin. Ketika sudah bosan sang Putri mengambil sebuah bola emas kemudian melemparkannya tinggi-tinggi lalu ia tangkap kembali. Bermain lempar bola adalah mainan kegemarannya. Namun, suatu ketika bola emas sang putri tidak bisa ditangkapnya. Bola itu kemudian jatuh ke tanah dan menggelinding ke arah telaga, mata sang putri terus melihat arah bola emasnya, bola terus bergulir hingga akhirnya lenyap di telaga yang dalam, sampai dasar telaga itu pun tak terlihat. Sang Putri pun mulai menangis. Semakin lama tangisannya makin keras. Ketika ia masih menangis, terdengar suara seseorang berbicara padanya,”Apa yang membuatmu bersedih tuan putri? Tangisan tuan Putri sangat membuat saya terharu… Sang Putri melihat ke sekeliling mencari darimana arah suara tersebut, ia hanya melihat seekor katak besar dengan muka yang jelek di permukaan air. “Oh… apakah engkau yang tadi berbicara katak? Aku menangis karena bola emasku jatuh ke dalam telaga”. “Berhentilah menangis”, kata sang katak. Aku bisa membantumu mengambil bola emasmu, tapi apakah yang akan kau berikan padaku nanti?”, lanjut sang katak. “Apapun yang kau minta akan ku berikan, perhiasan dan mutiaraku, bahkan aku akan berikan mahkota emas yang aku pakai ini”, kata sang putri. Sang katak menjawab, “aku tidak mau perhiasan, mutiara bahkan mahkota emasmu, tapi aku ingin kau mau menjadi teman pasanganku dan mendampingimu makan, minum dan menemanimu tidur. Jika kau berjanji memenuhi semua keinginanku, aku akan mengambilkan bola emasmu kembali”, kata sang katak. “Baik, aku janji akan memenuhi semua keinginanmu jika kau berhasil membawa bola emasku kembali.” Sang putri berpikir, bagaimana mungkin seekor katak yang bisa berbicara dapat hidup di darat dalam waktu yang lama. Ia hanya bisa bermain di air bersama katak lainnya sambil bernyanyi. Setelah sang putri berjanji, sang katak segera menyelam ke dalam telaga dan dalam waktu singkat ia kembali ke permukaan sambil membawa bola emas di mulutnya kemudian melemparkannya ke tanah. Sang Putri merasa sangat senang karena bola emasnya ia dapatkan kembali. Sang Putri menangkap bola emasnya dan kemudian berlari pulang. “Tunggu… tunggu,” kata sang katak. “Bawa aku bersamamu, aku tidak dapat berlari secepat dirimu”. Tapi percuma saja sang katak berteriak memanggil sang putri, ia tetap berlari meninggalkan sang katak. Sang katak merasa sangat sedih dan kembal ke telaga kembali. Keesokan harinya, ketika sang Putri sedang duduk bersama ayahnya sambil makan siang, terdengar suara lompatan ditangga marmer. Sesampainya di tangga paling atas, terdengar ketukan pintu dan tangisan,”Putri, putri… bukakan pintu untukku”. Sang putri bergegas menuju pintu. Tapi ketika ia membuka pintu, ternyata di hadapannya sudah ada sang katak. Karena kaget ia segera menutup pintu keras-keras. Ia kembali duduk di meja makan dan kelihatan ketakutan. Sang Raja yang melihat anaknya ketakutan bertanya pada putrinya,”Apa yang engkau takutkan putriku? Apakah ada raksasa yang akan membawamu pergi? “Bukan ayah, bukan seorang raksasa tapi seekor katak yang menjijikkan”, kata sang putri. “Apa yang ia inginkan dari?” tanya sang raja pada putrinya. Kemudian sang putri bercerita kembali kejadian yang menimpanya kemarin. “Aku tidak pernah berpikir ia akan datang ke istana ini..”, kata sang Putri. Tidak berapa lama, terdengar ketukan di pintu lagi. “Putri…, putri, bukakan pintu untukku. Apakah kau lupa dengan ucapan mu di telaga kemarin?” Akhirnya sang Raja berkata pada putrinya,”apa saja yang telah engkau janjikan haruslah ditepati. Ayo, bukakan pintu untuknya”. Dengan langkah yang berat, sang putri bungsu membuka pintu, lalu sang katak segera masuk dang mengikuti sang putri sampai ke meja makan. “Angkat aku dan biarkan duduk di sebelahmu”, kata sang katak. Atas perintah Raja, pengawal menyiapkan piring untuk katak di samping Putri Mary. Sang katak segera menyantap makanan di piring itu dengan menjulurkan lidahnya yang panjang. “Wah, benar-benar tidak punya aturan. Melihatnya saja membuat perasaanku tidak enak,” kata Putri Mary. Sang Putri bergegas lari ke kamarnya. Kini ia merasa lega bisa melepaskan diri dari sang katak. Namun, tiba-tiba, ketika hendak membaringkan diri di tempat tidur…. “Kwoook!” ternyata sang katak sudah berada di atas tempat tidurnya. “Cukup katak! Meskipun aku sudah mengucapkan janji, tapi ini sudah keterlaluan!” Putri Mary sangat marah, lalu ia melemparkan katak itu ke lantai. Bruuk! Ajaib, tiba-tiba asap keluar dari tubuh katak. Dari dalam asap muncul seorang pangeran yang gagah. “Terima kasih Putri Mary… kau telah menyelamatkanku dari sihir seorang penyihir yang jahat. Karena kau telah melemparku, sihirnya lenyap dan aku kembali ke wujud semula.” Kata sang pangeran. “Maafkan aku karena telah mengingkari janji,” kata sang putri dengan penuh sesal. “Aku juga minta maaf. Aku sengaja membuatmu marah agar kau melemparkanku,” sahut sang Pangeran. Waktu berlalu begitu cepat. Akhirnya sang Pangeran dan Putri Mary mengikat janji setia dengan menikah dan merekapun hidup bahagia. Pesan moral : Jangan pernah mempermainkan sebuah janji dan pikirkanlah dahulu janji-janji yang akan kita buat. PERCAYAI AKU BUNDA €œHampir sampai, nih!” Jingga menepuk bahu Galih yang dari tadi bengong. Galih menoleh sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan kekagetannya. Tapi… ” Astaga!” Galih menepuk dahinya. “Kenapa, Lih?” Jingga heran. “Aku lupa minta ongkos pada Bunda, “Galih kebingungan. “Ya sudah, pakai uangku saja,” Jingga memutuskan. Begini jadinya kalau terlambat bangun, batin Galih. Pergi terburu-buru, tanpa sarapan, dan yang paling parah, ya itu, lupa minta uang pada Bunda. Bunda juga lupa sepertinya. Padahal pergi dan pulang sekolah Galih harus naik bis kota. Belum lagi kalau lapar, harus jajan. Tadi malam Galih memang susah tidur. Dia terus memikirkan sikap bundanya yang tidak percaya padanya. Bunda menganggap Galih pemboros, tak pandai mengatur uang, suka belanja, dan banyak lagi julukan lain yang Bunda berikan pada Galih. Yang membuat Galih paling kesal, Bunda memperlakukannya seperti anak kelas tiga SD. Uang saku diberikan setiap mau berangkat sekolah. Sebel banget! Batin Galih. “Bunda payah, Ga! Tidak mau memberiku uang saku bulanan. Padahal kan, repot, kalau kejadian seperti ini terjadi. Untung ada kamu. Kalau tidak, aku tidak tahu harus berbuat apa, “Galih melontarkan kekesalannya saat mereka turun dari bis kota. Jingga tersenyum. “Masih untung kamu dapat uang saku harian. Coba kalau tidak dapat samasekali, kan lebih parah,” goda Jingga. “Eh, Lih! Mungkin bundamu punya pertimbangan lain,” sambung Jingga. “Pertimbangan apa? Pertimbangan pelit?” “Ya… siapa tahu kamu pernah melakukan kesalahan. Sehingga bundamu menganggap kamu pemboros. Coba ingat-ingat.” “Mmm, aku memang dulu pernah melakukan kesalahan. Dulu Bunda selalu memberiku uang saku untuk seminggu. Tapi baru hari keempat uang itu selalu sudah habis. Sejak itu Bunda memberiku uang saku harian.” “Nah, itu kamu tahu penyebabnya. Jadi memang ada alasannya, kan, bundamu tidak memberi uang bulanan.” “Ya… tapi itu kan dulu, Ga! Masa’ sekarang Bunda masih belum bisa mempercayai aku.” Jingga tersenyum. “Galih, kamu harus berusaha mengembalikan kepercayaan Bunda dengan melakukan sesuatu.” Galih mengernyit, “Melakukan apa?” “Coba kamu sisihkan sebagian uang sakumu setiap hari. Tunjukkan pada Bunda bahwa kamu bisa mengatur uang saku. Mudah-mudahan bundamu akan berubah pikiran tentang kamu." “Kamu yakin itu akan berhasil?” Galih ragu. “Coba dulu, baru kasih komentar!” Ya, memang tak ada salahnya mengikuti saran Jingga, pikir Galih. Lagipula saran Jingga cukup masuk akal. Mencoba mendapat kepercayaan Bunda dengan melakukan sesuatu. Bukan dengan janji-janji. Galih pun mulai menyisihkan uang sakunya. Ia juga mulai belajar mencatat pengeluaran dan pemasukan uangnya sekecil apapun.Tanpa terasa dua minggu pun berlalu. “Ah…” Galih menarik napas lega memandangi lembaran ribuan di kotak bekas coklat di atas meja belajarnya. “Coba dari dulu aku menabung,“Galih bergumam lirih. “Tak perlu menyesal. Tak ada kata terlambat untuk melakukan kebaikan, sayang…” suara merdu berbisik di telinga Galih. Galih menoleh. “Bunda…” Bunda tersenyum sambil mengusap rambut Galih. “Bunda tahu kamu sedang berusaha berubah. Diam-diam Bunda selalu mengikuti apa yang kamu lakukan.” “Terima kasih Bunda. Cuma…”Galih menggaruk-garuk kepalanya. “Cuma apa!” Bunda mengerutkan dahinya. “Bunda jangan bikin aku harus berhutang pada kondektur bis, dong! Gara-gara Bunda lupa memberiku ongkos.” “Ha ha ha, itu tak akan terjadi lagi, sayang. Mulai besok kamu akan mendapat uang bulanan. Jadi, kalau kamu lupa bawa ongkos, bukan tanggung jawab Bunda lagi!” Bunda menjentik hidung Galih. Galih memeluk bundanya erat-erat. Galih sangat bahagia. Bukan cuma karena ia mendapat uang bulanan, tapi kepercayaan Bunda pada dirinya. Galih ingin hari segera pagi. Ia sudah tak sabar ingin mengabarkan semuanya pada Jingga. PUTRI TANDAMPALIK Dahulu, terdapat sebuah negeri yang bernama negeri Luwu, yang terletak di pulau Sulawesi. Negeri Luwu dipimpin oleh seorang raja yang bernama La Busatana Datu Maongge, sering dipanggil Raja atau Datu Luwu. Karena sikapnya yang adil, arif dan bijaksana, maka rakyatnya hidup makmur. Sebagian besar pekerjaan rakyat Luwu adalah petani dan nelayan. Datu Luwu mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik, namanya Putri Tandampalik. Kecantikan dan perilakunya telah diketahui orang banyak. Termasuk di antaranya Raja Bone yang tinggalnya sangat jauh dari Luwu. Raja Bone ingin menikahkan anaknya dengan Putri Tandampalik. Ia mengutus beberapa utusannya untuk menemui Datu Luwu untuk melamar Putri Tandampalik. Datu Luwu menjadi bimbang, karena dalam adatnya, seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah dengan pemuda dari negeri lain. Tetapi, jika lamaran tersebut ditolak, ia khawatir akan terjadi perang dan akan membuat rakyat menderita. Meskipun berat akibat yang akan diterima, Datu Lawu memutuskan untuk menerima pinangan itu. "Biarlah aku dikutuk asal rakyatku tidak menderita," pikir Datu Luwu. Beberapa hari kemudian utusan Raja Bone tiba ke negeri Luwu. Mereka sangat sopan dan ramah. Tidak ada iringan pasukan atau armada perang di pelabuhan, seperti yang diperkirakan oleh Datu Luwu. Datu Luwu menerima utusan itu dengan ramah. Saat mereka mengutarakan maksud kedatangannya, Datu Luwu belum bisa memberikan jawaban menerima atau menolak lamaran tersebut. Utusan Raja Bone memahami dan mengerti keputusan Datu Luwu. Mereka pun pulang kembali ke negerinya. Keesokan harinya, terjadi kegaduhan di negeri Luwu. Putri Tandampalik jatuh sakit. Sekujur tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikkan. Para tabib istana mengatakan Putri Tandampalik terserang penyakit menular yang berbahaya. Berita cepat tersebar. Rakyat negeri Luwu dirundung kesedihan. Datu Luwu yang mereka hormati dan Putri Tandampalik yang mereka cintai sedang mendapat musibah. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan anaknya. Karena banyak rakyat yang akan tertular jika Putri Tandampalik tidak diasingkan ke daerah lain. Keputusan itu dipilih Datu Luwu dengan berat hati. Putri Tandampalik tidak berkecil hati atau marah pada ayahandanya. Lalu ia pergi dengan perahu bersama beberapa pengawal setianya. Sebelum pergi, Datu Luwu memberikan sebuah keris pada Putri Tandampalik, sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan apalagi membuang anaknya. Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan sebuah pulau. Pulau itu berhawa sejuk dengan pepohonan yang tumbuh dengan subur. Seorang pengawal menemukan buah Wajao saat pertama kali menginjakkan kakinya di tempat itu. "Pulau ini kuberi nama Pulau Wajo," kata Putri Tandampalik. Sejak saat itu, Putri Tandampalik dan pengikutnya memulai kehidupan baru. Mereka mulai dengan segala kesederhanaan. Mereka terus bekerja keras, penuh dengan semangat dan gembira. Pada suatu hari Putri Tandampalik duduk di tepi danau. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampirinya. Kerbau bule itu menjilatinya dengan lembut. Semula, Putri Tandampalik hendak mengusirnya. Tapi, hewan itu tampak jinak dan terus menjilatinya. Akhirnya ia diamkan saja. Ajaib! Setelah berkali-kali dijilati, luka berair di tubuh Putri Tandampalik hilang tanpa bekas. Kulitnya kembali halus dan bersih seperti semula. Putri Tandampalik terharu dan bersyukur pada Tuhan, penyakitnya telah sembuh. "Sejak saat ini kuminta kalian jangan menyembelih atau memakan kerbau bule, karena hewan ini telah membuatku sembuh," kata Putri Tandampalik pada para pengawalnya. Permintaan Putri Tandampalik itu langsung dipenuhi oleh semua orang di Pulau Wajo hingga sekarang. Kerbau bule yang berada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak. Di suatu malam, Putri Tandampalik bermimpi didatangi oleh seorang pemuda yang tampan. "Siapakah namamu dan mengapa putri secantik dirimu bisa berada di tempat seperti ini?" tanya pemuda itu dengan lembut. Lalu Putri Tandampalik menceritakan semuanya. "Wahai pemuda, siapa dirimu dan dari mana asalmu ?" tanya Putri Tandampalik. Pemuda itu tidak menjawab, tapi justru balik bertanya, "Putri Tandampalik maukah engkau menjadi istriku?" Sebelum Putri Tandampalik sempat menjawab, ia terbangun dari tidurnya. Putri Tandampalik merasa mimpinya merupakan tanda baik baginya. Sementara, nun jauh di Bone, Putra Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik berburu. Ia ditemani oleh Anre Pguru Pakanranyeng Panglima Kerajaan Bone dan beberapa pengawalnya. Saking asyiknya berburu, Putra Mahkota tidak sadar kalau ia sudah terpisah dari rombongan dan tersesat di hutan. Malam semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara hewan malam membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di kejauhanm, ia melihat seberkas cahaya. Ia memberanikan diri untuk mencari dari mana asal cahaya itu. Ternyata cahaya itu berasal dari sebuah perkampungan yang letaknya sangat jauh. Sesampainya di sana, Putra Mahkota memasuki sebuah rumah yang nampak kosong. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis cantik sedang menjerang air di dalam rumah itu. Gadis cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik. "Mungkinkah ada bidadari di tempat asing begini ?" pikir putra Mahkota. Merasa ada yang mengawasi, Putri Tandampalik menoleh. Sang Putri tergagap," rasanya dialah pemuda yang ada dalam mimpiku," pikirnya. Kemudian mereka berdua berkenalan. Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik merasa pemuda yang kini berada di hadapannya adalah seorang pemuda yang halus tutur bahasanya. Meski ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun tetapi tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsing menaruh hati. Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut, Putra Mahkota kembali ke negerinya karena banyak kewajiban yang harus diselesaikan di Istana Bone. Sejak berpisah dengan Putri Tandampalik, ingatan sang Pangeran selalu tertuju pada wajah cantik itu. Ingin rasanya Putra Mahkota tinggal di Pulau Wajo. Anre Guru Pakanyareng, Panglima Perang Kerajaan Bone yang ikut serta menemani Putra Mahkota berburu, mengetahui apa yang dirasakan oleh anak rajanya itu. Anre Guru Pakanyareng sering melihat Putra Mahkota duduk berlama-lama di tepi telaga. Maka Anre Guru Pakanyareng segera menghadap Raja Bone dan menceritakan semua kejadian yang mereka alami di pulau Wajo. "Hamba mengusulkan Paduka segera melamar Putri Tandampalik," kata Anre Guru Pakanyareng. Raja Bone setuju dan segera mengirim utusan untuk meminang Putri Tandampalik. Ketika utusan Raja Bone tiba di Pulau Wajo, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan ayahandanya ketia ia di asingkan. Putri Tandampalik mengatakan bila keris itu diterima dengan baik oleh Datu Luwu berarti pinangan diterima. Putra Mahkota segera berangkat ke Kerajaan Luwu sendirian. Perjalanan berhari-hari dijalani oleh Putra Mahkota dengan penuh semangat. Setelah sampai di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu. Datu Luwu dan permaisuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu Luwu merasa Putra Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Maka ia pun menerima keris pusaka itu dengan tulus. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan permaisuri datang mengunjungi pulau Wajo untuk bertemu dengan anaknya. Pertemuan Datu Luwu dan anak tunggal kesayangannya sangat mengharukan. Datu Luwu merasa bersalah telah mengasingkan anaknya. Tetapi sebaliknya, Putri Tandampalik bersyukur karena rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular yang dideritanya. Akhirnya Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Bone dan dilangsungkan di Pulau Wajo. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Beliau menjadi raja yang arif dan bijaksana. PUTRI TIDUR Dahulu kala, terdapat sebuah negeri yang dipimpin oleh raja yang sangat adil dan bijaksana. Rakyatnya makmur dan tercukupi semua kebutuhannya. Tapi ada satu yang masih terasa kurang. Sang Raja belum dikaruniai keturunan. Setiap hari Raja dan permaisuri selalu berdoa agar dikaruniai seorang anak. Akhirnya, doa Raja dan permaisuri dikabulkan. Setelah 9 bulan mengandung, permaisuri melahirkan seorang anak wanita yang cantik. Raja sangat bahagia, ia mengadakan pesta dan mengundang kerajaan sahabat serta seluruh rakyatnya. Raja juga mengundang 7 penyihir baik untuk memberikan mantera baiknya. "Jadilah engkau putri yang baik hati", kata penyihir pertama. "Jadilah engkau putri yang cantik", kata penyihir kedua. "Jadilah engkau putri yang jujur dan anggun", kata penyihir ketiga. "Jadilah engkau putri yang pandai berdansa", kata penyihir keempat. "Jadilah engkau putri yang panda menyanyi," kata penyihir keenam. Sebelum penyihir ketujuh memberikan mantranya, tiba-tiba pintu istana terbuka. Sang penyihir jahat masuk sambil berteriak, "Mengapa aku tidak diundang ke pesta ini?". Penyihir terakhir yang belum sempat memberikan mantranya sempat bersembunyi dibalik tirai. "Karena aku tidak diundang, aku akan mengutuk anakmu. Penyihir tua yang jahat segera mendekati tempat tidur sang putri sambil berkata,"Sang putri akan mati tertusuk jarum pemintal benang, ha ha ha ha…..". Si penyihir jahat segera pergi setelah mengeluarkan kutukannya. Para undangan terkejut mendengar kutukan sang penyihir jahat itu. Raja dan permaisuri menangis sedih. Pada saat itu, muncullah penyihir baik yang ketujuh, "Jangan khawatir, aku bisa meringankan kutukan penyihir jahat. Sang putri tidak akan wafat, ia hanya akan tertidur selama 100 tahun setelah terkena jarum pemintal benang, dan ia akan terbangun kembali setelah seorang Pangeran datang padanya", ujar penyihir ketujuh. Setelah kejadian itu, Raja segera memerintahkan agar semua alat pemintal benang yang ada di negerinya segera dikumpulkan dan dibakar. Enam belas tahun kemudian, sang putri telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan baik hati. Tidak berapa lama Raja dan Permaisuri melakukan perjalanan ke luar negeri. Sang Putri yang cantik tinggal di istana. Ia berjalan-jalan keluar istana. Ia masuk ke dalam sebuah puri. Di dalam puri itu, ia melihat sebuah kamar yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia membuka pintu kamar tersebut dan ternyata di dalam kamar itu, ia melihat seorang nenek sedang memintal benang. Setelah berbicara dengan nenek tua, sang Putri duduk di depan alat pemintal dan mulai memutar alat pemintal itu. Ketika sedang asyik memutar alat pintal, tiba-tiba jari sang Putri tertusuk jarum alat pemintal. Ia menjerit kesakitan dan tersungkur di lantati. "Hi… hi…hi… tamatlah riwayatmu!", kata sang nenek yang ternyata adalah si penyihir jahat. Hilangnya sang Putri dan istana membuat khawatir orang tuanya. Semua orang diperintahkan untuk mencari sang Putri. Sang putri pun ditemukan. Tetapi ia dalam keadaan tak sadarkan diri. "Anakku ! malang sekali nasibmu…" rata Raja. Tiba-tiba datanglah penyihir muda yang baik hati. Katanya, "Jangan khawatir, Tuan Putri hanya akan tertidur selama seratus tahun. Tapi, ia tidak akan sendirian. Aku akan menidurkan kalian semua," lanjutnya sambil menebarkan sihirnya ke seisi istana. Kemudian, penyihir itu menutup istana dengan semak berduri agar tak ada yang bisa masuk ke istana. Seratus tahun yang panjang pun berlalu. Seorang pangeran dari negeri seberang kebetulan lewat di istana yang tertutup semak berduri itu. Menurut cerita orang desa di sekitar situ, istana itu dihuni oleh seekor naga yang mengerikan. Tentu saja Pangeran tidak percaya begitu saja pada kabar itu. "Akan ku hancurkan naga itu," kata sang Pangeran. Pangeran pun pergi ke istana. Sesampai di gerbang istana, Pangeran mengeluarkan pedangnya untuk memotong semak belukar yang menghalangi jalan masuk. Namun, setelah dipotong berkali-kali semak itu kembali seperti semula. "Semak apa ini ?" kata Pangeran keheranan. Tiba-tiba muncullah seorang penyihir muda yang baik hati. "Pakailah pedang ini," katanya sambil memberikan sebuah yang pangkalnya berkilauan. Dengan pedangnya yang baru, Pangeran berhasil masuk ke istana. "Nah, itu dia menara yang dijaga oleh naga." Pangeran segera menaiki menara itu. Penyihir jahat melihat kejadian itu melalui bola kristalnya. "Akhirnya kau datang, Pangeran. Kau pun akan terkena kutukan sihirku!" Penyihir jahat itu bergegas naik ke menara. Ia menghadang sang Pangeran. "Hai Pangeran!, jika kau ingin masuk, kau harus mengalahkan aku terlebih dahulu!" teriak si Penhyihir. Dalam sekejap, ia merubah dirinya menjadi seekor naga raksasa yang menakutkan. Ia menyemburkan api yang panas. Pangeran menghindar dari semburan api itu. Ia menangkis sinar yang terpancar dari mulut naga itu dengan pedangnya. Ketika mengenai pangkal pedang yang berkilau, sinar itu memantul kembali dan mengenai mata sang naga raksasa. Kemudian, dengan secepat kilat, Pangeran melemparkan pedangnya ke arah leher sang naga. "Aaaa….!" Naga itu jatuh terkapar di tanah, dan kembali ke bentuk semula, lalu mati. Begitu tubuh penyihir tua itu lenyap, semak berduri yang selama ini menutupi istana ikut lenyap. Di halaman istana, bunga-bunga mulai bermekaran dan burung-burung berkicau riang. Pangeran terkesima melihat hal itu. Tiba-tiba penyihir muda yang baik hati muncul di hadapan Pangeran. "Pangeran, engkau telah berhasil menghapus kutukan atas istana ini. Sekarang pergilah ke tempat sang Putri tidur," katanya. Pangeran menuju ke sebuah ruangan tempat sang Putri tidur. Ia melihat seorang Putri yang cantik jelita dengan pipi semerah mawar yang merekah. "Putri, bukalah matamu," katanya sambil mengenggam tangan sang Putri. Pangeran mencium pipi sang Putri. Pada saat itu juga, hilanglah kutukan sang Putri. Setelah tertidur selama seratus tahun, sang Putri terbangun dengan kebingungan. "Ah… apa yang terjadi…? Siapa kamu…? Tanyanya. Lalu Pangeran menceritakan semua kejadian yang telah terjadi pada sang Putri. "Pangeran, kau telah mengalahkan naga yang menyeramkan. Terima kasih Pangeran," kata sang Putri. Di aula istana, semua orang menunggu kedatangan sang Putri. Ketika melihat sang Putri dalam keadaan sehat, Raja dan Permaisuri sangat bahagia. Mereka sangat berterima kasih pada sang Pangeran yang gagah berani. Kemudian Pangerang berkata, "Paduka Raja, hamba punya satu permohonan. Hamba ingin menikah dengan sang Putri." Raja pun menyetujuinya. Semua orang ikut bahagia mendengar hal itu. Hari pernikahan sang Putri dan Pangeran pun tiba. Orang berbondong-bondong datang dari seluruh pelosok negeri untuk mengucapkan selamat. Tujuh penyihir yang baik juga datang dengan membawa hadiah. PUTRI MELATI WANGI Di sebuah kerajaan, ada seorang putri yang bernama Melati Wangi. Ia seorang putri yang cantik dan pandai. Di rumahnya ia selalu menyanyi. Tetapi sayangnya ia seorang yang sombong dan suka menganggap rendah orang lain. Di rumahnya ia tidak pernah mau jika disuruh menyapu oleh ibunya. Selain itu ia juga tidak mau jika disuruh belajar memasak. "Tidak, aku tidak mau menyapu dan memasak nanti tanganku kasar dan aku jadi kotor", kata Putri Melati Wangi setiap kali disuruh menyapu dan belajar memasak. Sejak kecil Putri Melati Wangi sudah dijodohkan dengan seorang pangeran yang bernama Pangeran Tanduk Rusa. Pangeran Tanduk Rusa adalah seorang pangeran yang tampan dan gagah. Ia selalu berburu rusa dan binatang lainnya tiap satu bulan di hutan. Karena itu ia di panggil tanduk rusa. Suatu hari, Putri Melati Wangi berjalan-jalan di taman. Ia melihat seekor kupu-kupu yang cantik sekali warnanya. Ia ingin menangkap kupu-kupu itu tetapi kupu-kupu itu segera terbang. Putri Melati Wangi terus mengejarnya sampai ia tidak sadar sudah masuk ke hutan. Sesampainya di hutan, Melati Wangi tersesat. Ia tidak tahu jalan pulang dan haripun sudah mulai gelap. Akhirnya setelah terus berjalan, ia menemukan sebuah gubuk yang biasa digunakan para pemburu untuk beristirahat. Akhirnya Melati Wangi tinggal digubuk tersebut. Karena tidak ada makanan Putri Melati Wangi terpaksa memakan buah-buahan yang ada di hutan itu. Bajunya yang semula bagus, kini menjadi robek dan compang camping akibat tersangkut duri dan ranting pohon. Kulitnya yang dulu putih dan mulus kini menjadi hitam dan tergores-gores karena terkena sinar matahari dan duri. Setelah sebulan berada di hutan, ia melihat Pangeran Tanduk Rusa datang sambil memanggul seekor rusa buruannya. "Hai Tanduk Rusa, aku Melati Wangi, tolong antarkan aku pulang," kata Melati Wangi. "Siapa ? Melati Wangi ? Melati wangi seorang Putri yang cantik dan bersih, sedang engkau mirip seorang pengemis", kata Pangeran Tanduk Rusa. Ia tidak mengenali lagi Melati Wangi. Karena Melati Wangi terus memohon, akhirnya Pangeran Tanduk Rusa berkata," Baiklah, aku akan membawamu ke Kerajaan ku". Setelah sampai di Kerajaan Pangeran Tanduk Rusa. Melati Wangi di suruh mencuci, menyapu dan memasak. Ia juga diberikan kamar yang kecil dan agak gelap. "Mengapa nasibku menjadi begini ?", keluh Melati Wangi. Setelah satu tahun berlalu, Putri Melati Wangi bertekad untuk pulang. Ia merasa uang tabungan yang ia kumpulkan dari hasil kerjanya sudah mencukupi.Sesampainya di rumahnya, Putri Melati Wangi disambut gembira oleh keluarganya yang mengira Putri Melati Wangi sudah meninggal dunia. Sejak itu Putri Melati Wangi menjadi seorang putri yang rajin. Ia merasa mendapatkan pelajaran yang sangat berharga selama berada di hutan dan di Kerajaan Pangeran Tanduk Rusa. Akhirnya setahun kemudian Putri Melati Wangi dinikahkan dengan Pangeran Tanduk Rusa. Setelah menikah, Putri Melati Wangi dan Pangeran Tanduk Rusa hidup berbahagia sampai hari tuanya. TIGA ANAK SOMBONG Pada zaman dulu di desa Sumbi tinggallah tiga orang anak yatim piatu bernama Sari, Ani dan Intan. Mereka sangat miskin. Setiap hari Sari si sulung bepergian berjualan makanan buatannya sendiri. Sementara Ani dan Intan menunggunya di rumah. Pada suatu hari ketika ia sedang menjual makanan, ia bertemu dengan seorang nenek-nenek yang kelaparan. Nenek itu meminta Sari untuk membagi makanannya. Dengan berat hati ia memberikan makanannya karena itu adalah sisa makanan satu-satunya untuk adiknya. Sesampainya di rumah, Sari bercerita tentang nenek yang kelaparan dan mereka tidak makan pada hari itu. Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu dan ketika Sari membukanya tidak ada seorang pun di sana. Yang ia lihat adalah sebuah keranjang yang setelah dibuka ternyata berisi banyak makanan dan uang. Akhirnya, dengan uang tersebut mereka membeli rumah mewah dan lain-lainnya. Sari, Ani dan Intan menjadi sombong. Mereka tidak mau lagi membagi makanannya kepada orang yang kelaparan. Pada suatu hari ketika mereka sedang jalan-jalan keliling desa, mereka bertiga bertemu dengan seorang Kakek. Kakek tersebut menasehati mereka agar tidak sombong, karena sombong adalah perbuatan yang sangat tercela dan akan membuat mereka jatuh miskin. Tapi ketiganya malah berkata dengan marah agar tidak menasehatinya karena mereka yakin dengan kekayaannya sekarang mereka tidak akan jatuh miskin. Sesampainya di rumah, alangkah terkejutnya ketika mereka melihat rumah mereka telah hangus dilalap si jago merah. Mereka menangis tersedu-sedu karena harta benda mereka telah hangus terbakar. Setelah kejadian itu mereka sadar dan ingin meminta maaf kepada Kakek yang telah menasehati mereka. Berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mereka berusaha mencari Kakek tersebut. Setelah hampir putus asa, akhirnya mereka berhasil menemukan Kakek tersebut dan mereka berjanji untuk tidak sombong lagi serta meminta sang Kakek untuk menjadi Kakek angkat mereka BALAS BUDI BURUNG BANGAU Dahulu kala di suatu tempat di Jepang, hidup seorang pemuda bernama Yosaku. Kerjanya mengambil kayu bakar di gunung dan menjualnya ke kota. Uang hasil penjualan dibelikannya makanan. Terus seperti itu setiap harinya. Hingga pada suatu hari ketika ia berjalan pulang dari kota ia melihat sesuatu yang menggelepar di atas salju. Setelah di dekatinya ternyata seekor burung bangau yang terjerat diperangkap sedang meronta-ronta. Yosaku segera melepaskan perangkat itu. Bangau itu sangat gembira, ia berputar-putar di atas kepala Yosaku beberapa kali sebelum terbang ke angkasa. Karena cuaca yang sangat dingin, sesampainya dirumah, Yosaku segera menyalakan tungku api dan menyiapkan makan malam. Saat itu terdengar suara ketukan pintu di luar rumah. Ketika pintu dibuka, tampak seorang gadis yang cantik sedang berdiri di depan pintu. Kepalanya dipenuhi dengan salju. "Masuklah, nona pasti kedinginan, silahkan hangatkan badanmu dekat tungku," ujar Yosaku. "Nona mau pergi kemana sebenarnya ?", Tanya Yosaku. "Aku bermaksud mengunjungi temanku, tetapi karena salju turun dengan lebat, aku jadi tersesat." "Bolehkah aku menginap disini malam ini ?". "Boleh saja Nona, tapi aku ini orang miskin, tak punya kasur dan makanan." ,kata Yosaku. "Tidak apa-apa, aku hanya ingin diperbolehkan menginap". Kemudian gadis itu merapikan kamarnya dan memasak makanan yang enak. Ketika terbangun keesokan harinya, gadis itu sudah menyiapkan nasi. Yosaku berpikir bahwa gadis itu akan segera pergi, ia merasa kesepian. Salju masih turun dengan lebatnya. "Tinggallah disini sampai salju reda." Setelah lima hari berlalu salju mereda. Gadis itu berkata kepada Yosaku, "Jadikan aku sebagai istrimu, dan biarkan aku tinggal terus di rumah ini." Yosaku merasa bahagia menerima permintaan itu. "Mulai hari ini panggillah aku Otsuru", ujar si gadis. Setelah menjadi Istri Yosaku, Otsuru mengerjakan pekerjaan rumah dengan sungguh-sungguh. Suatu hari, Otsuru meminta suaminya, Yosaku, membelikannya benang karena ia ingin menenun. Otsuru mulai menenun. Ia berpesan kepada suaminya agar jangan sekali-kali mengintip ke dalam penyekat tempat Otsuru menenun. Setelah tiga hari berturut-turut menenun tanpa makan dan minum, Otsuru keluar. Kain tenunannya sudah selesai. "Ini tenunan ayanishiki. Kalau dibawa ke kota pasti akan terjual dengan harga mahal. Yosaku sangat senang karena kain tenunannya dibeli orang dengan harga yang cukup mahal. Sebelum pulang ia membeli bermacam-macam barang untuk dibawa pulang. "Berkat kamu, aku mendapatkan uang sebanyak ini, terima kasih istriku. Tetapi sebenarnya para saudagar di kota menginginkan kain seperti itu lebih banyak lagi. "Baiklah akan aku buatkan", ujar Otsuru. Kain itu selesai pada hari keempat setelah Otsuru menenun. Tetapi tampak Otsuru tidak sehat, dan tubuhnya menjadi kurus. Otsuru meminta suaminya untuk tidak memintanya menenun lagi. Di kota, Sang Saudagar minta dibuatkan kain satu lagi untuk Kimono tuan Putri. Jika tidak ada maka Yosaku akan dipenggal lehernya. Hal itu diceritakan Yosaku pada istrinya. "Baiklah akan ku buatkan lagi, tetapi hanya satu helai ya", kata Otsuru. Karena cemas dengan kondisi istrinya yang makin lemah dan kurus setiap habis menenun, Yosaku berkeinginan melihat ke dalam ruangan tenun. Tetapi ia sangat terkejut ketika yang dilihatnya di dalam ruang menenun, ternyata seekor bangau sedang mencabuti bulunya untuk ditenun menjadi kain. Sehingga badan bangau itu hampir gundul kehabisan bulu. Bangau itu akhirnya sadar dirinya sedang diperhatikan oleh Yosaku, bangau itu pun berubah wujud kembali menjadi Otsuru. "Akhirnya kau melihatnya juga", ujar Otsuru. "Sebenarnya aku adalah seekor bangau yang dahulu pernah Kau tolong", untuk membalas budi aku berubah wujud menjadi manusia dan melakukan hal ini," ujar Otsuru. "Berarti sudah saatnya aku berpisah denganmu", lanjut Otsuru. "Maafkan aku, ku mohon jangan pergi," kata Yosaku. Otsuru akhirnya berubah kembali menjadi seekor bangau. Kemudian ia segera mengepakkan sayapnya terabng keluar dari rumah ke angkasa. Tinggallah Yosaku sendiri yang menyesali perbuatannya. SAAT BULAN SAKIT Sore itu bintang-bintang berdandan rapi. Mereka membasuh mukanya sampai cemerlang. Matahari heran, “ Aduh....cantiknya. Kalian akan kemana ?” Mereka tersenyum. “Ke rumah Bulan,” Matahari terkejut, “Apakah di sana ada pesta? Mengapa aku tidak diundang?” “Bukan pesta,” jawab Bintang Kejora. “Kami akan menemani Bulan. Kasihan kalau dia harus bekerja sendiri di malam gelap. Karena itu kami membasuh muka sampai cemerlang. Langit yang gelap pasti akan cerah.” Matahari menjadi sedih. “ Bulan sangat beruntung. Aku sudah bekerja keras tapi tak ada yang memperhatikan.” Matahari ingat , jika mulai bersinar, banyak anak menangis kalau harus bangun untuk mandi dan berangkat sekolah. Siang hari pun Matahari sering mendengar orang mengeluh kepanasan. Sebaliknya, Banyak orang mengunggu Bulan. Mereka akan memandang Bulan sambil berdecak kagum. “Indahnya Bulan hari ini. Sinarnya seperti emas.” Matahari sangat sedih. Air mata menetes di pipinya yang merah. “A..aku memang tidak berguna. hik-hik-hik. Aku tidak mau bersinar lagi. Huuu......” Menjelang pagi Bulan dan Bintang bintang pulang. Mereka sudah lelah setelah semalaman menerangi langit yang gelap. Tetapi, oh...Pak Jago kebingungan. Dia sudah merasa waktunya bangun tetapi Matahari belum muncul, “ Mungkin aku bangun terlalu pagi. Kalau begitu tidur lagi ahhh.” Akibatnya semua orang terlambat bangun. Awan segera ke rumah Matahari. Dilihatnya Matahari menutupi tubuhnya dengan selimut besar. Rambut merahnya berantakan. “Kamu sakit?” tanya Awan. “Tidak. Aku tidak mau keluar. Aku ini tidak berguna. Hik-hik-hik,” Matahari mulai menangis sedih. “Aku tidak seperti bulan. Dia selalu dikelilingi para bintang. Orang-orang juga selalu menunggu Bulan. Hik-hik-hik....huaaa...” Karena Matahari tak mau muncul, Awan meminta Bulan untuk bersinar. Bulan yang sudah mengantuk akhirnya keluar lagi. Dia menggantikan Matahari. tetapi karena semalaman sudah bersinar, Bulan menjadi lesu. Sinarnya redup. Dua hari lamanya Bulan harus bersinar siang dan malam. Tentu saja Bulan menjadi sangat lelah. Sinarnya menjadi sipit, namanya bulan sabit. Malamnya Bulan benar-benar sakit. Matahari yang bosan meringkuk di tempat tidur keluar. Oh....diluar gelap. Ke mana Bulan ? Awan menjawab, “Bulan sakit. Dia terpaksa menggantikanmu.” Matahari terkejut. Dia tak menyangka kalau Bulan menggantikan dirinya. Matahari bergegas ke rumah Bulan. Dilihatnya Bulan memakai jaket tebal. “Maafkan aku,” kata Matahari. “Aku sedih mendengarkan anak-anak tidak mau bangun pagi.” Bulan tersenyum. “Tidak , kamu keliru. Ibu-ibu kebingungan karena baju dan kasur yang dijemur tidak kering. Tumbuhan juga memerlukan sinarmu untuk memasak makanan di daunnya.” “Tetapi....aku tak pernah punya teman sepertimu.” “Itu karena sinarmu sangat panas. Bintang-bintang tidak berani mendekat karena takut meleleh,” kata Bulan. “ Tetapi mereka selalu kagum pada sinarmu yang terang.” Matahari menunduk malu. Tak pantas diri iri pada Bulan . Sejak itu Matahari tidak pernah malas bersinar. KANCIL DAN TIKUS Di hutan hiduplah dua ekor kancil. Mereka bernama Kanca dan Manggut. Kedua ekor kancil itu bersaudara. Manggut adalah kakak dari Kanca. Sebaliknya, Kanca adalah adik dari Manggut. Walaupun mereka bersaudara, tetapi sifat mereka sangatlah berbeda. Kanca rajin dan baik hati. Sedangkan Manggut pemalas dan suka menjahili teman. Suatu hari Manggut kelaparan. Tetapi Manggut malas mencari makan. Akhirnya Manggut mencuri makanan Kanca. Waktu Kanca menanyai kepada Manggut di mana makanannya, Manggut menjawab dicuri tikus. "Ah, mana mungkin dimakan tikus!" kata Kanca. "Iya, kok! Masa sama kakaknya tidak percaya!" jawab Manggut berbohong. Mulanya Kanca tidak percaya dengan omongan Manggut. Tetapi setelah Manggut mengatakannya berkali-kali akhirnya Kanca percaya juga. Kanca memanggil tikus ke rumahnya. "Tikus, apakah kamu mencuri makananku?" tanya Kanca pada tikus. "Ha? Mencuri? Berpikir saja aku belum pernah!" jawab tikus. "Ah, si tikus! Kamu ini membela diri saja! Sudah, Kanca! Dia pasti berbohong," kata Manggut. "Ya, sudahlah! Tikus, sebagai gantinya ambilkan makanan di seberang sungai sana. Tadi aku juga mengambil makanan dari sana, kok!" kata Kanca mengakhiri percakapan. Tikus berjalan ke tepi sungai. Ia menaiki perahu kecil untuk menuju seberang sungai. Sebenarnya tikus tahu kalau Manggut yang mencuri makanan. Sementara itu, di bagian sungai yang lain, Manggut cepat-cepat menyeberangi sungai. Ia hendak memasang perangkap tikus agar tikus terperangkap. Ketika tikus hampir mendekati seberang sungai, tikus melihat perangkap. Tikus yakin kalau perangkap itu dipasang oleh Manggut. Tiba-tiba tikus mendapat ide. Tikus berpura-pura tenggelam dalam sungai. "Aaa... Manggut, tolong aku...!" teriak tikus. Mendengar itu Manggut segera menolong tikus. Tikus meminta Manggut mengantarkannya ke seberang sungai. Manggut tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengantarkan tikus ke seberang sungai. Sesampai di seberang sungai tikus meminta Manggut menemani tikus mengambil makanan. Karena Manggut tidak hati-hati, kakinya terperangkap dalam perangkap tikus. Manggut menyesali perbuatan buruknya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. GADIS PENJUAL KOREK API Di malam natal, orang-orang berjalan dengan wajah yang gembira memenuhi jalan di kota. Di jalan itu ada seorang gadis kecil mengenakan pakaian compang-camping sedang menjual korek api. "Mau beli korek api?" "Ibu, belilah korek api ini." "Aku tidak butuh korek api, sebab di rumah ada banyak." Tidak ada seorang pun yang membeli korek api dari gadis itu. Tetapi, kalau ia pulang tanpa membawa uang hasil penjualan korek api, akan dipukuli oleh ayahnya. Ketika akan menyeberangi 'alan. Grek! Grek! Tiba-tiba sebuah kereta kuda berlari dengan kencangnya. "Hyaaa! Awaaaaas!" Gadis itu melompat karena terkejut. Pada saat itu sepatu yang dipakainya terlepas dan terlempar entah ke mana. Sedangkan sepatu sebelahnya jatuh di seberang jalan. Ketika gadis itu bermaksud pergi untuk memungutnya, seorang anak lakilaki memungut sepatu itu lalu melarikan diri. "Wah, aku menemukan barang yang bagus." Akhirnya gadis itu bertelanjang kaki. Di sekitarnya, korek api jatuh berserakan. Sudah tidak bisa dijual lagi. Kalau pulang ke rumah begini saja, ia tidak dapat membayangkan bagaimana hukuman yang akan diterima dari ayahnya. Apa boleh buat, gadis itu membawa korek api yang tersisa, lalu berjalan dengan sangat lelahnya. Terlihatlah sinar yang terang dari jendela sebuah rumah. Ketika gadis itu pergi mendekatinya, terdengar suara tawa gembira dari dalam rumah. Di rumah, yang dihangatkan oleh api perapian, dan penghuninya terlihat sedang menikmati hidangan natal yang lezat. Gadis itu meneteskan air mata. "Ketika ibu masih hidup, di rumahku juga merayakan natal seperti ini." Dari jendela terlihat pohon natal berkelipkelip dan anak-anak yang gembira menerima banyak hadiah. Akhirnya cahaya di sekitar jendela hilang, dan di sekelilingnya menjadi sunyi. Salju yang dingin terus turun. Sambil menggigil kedinginan, gadis itu duduk tertimpa curahan salju. Perut terasa lapar dan sudah tidak bisa bergerak. Gadis yang kedinginan itu, menghembus-hembuskan nafasnya ke tangan. Tetapi, sedikit pun tak menghangatkannya. "Kalau aku menyalakan korek api ini, mungkin akan sedikit terasa hangat." Kemudian gadis itu menyalakan sebatang korek api dengan menggoreskannya di dinding. Crrrs Lalu dari dalam nyala api muncul sebuah penghangat. "Oh, hangatnya." Gadis itu mengangkat tangannya ke arah tungku pemanas. Pada saat api itu padaamtungku pemanaspun menghilang. Gadis itu menyalakan batang korek api yang kedua. Kali ini dari dalam nyala api muncul aneka macam hidangan. Di depan matanya, berdiri sebuah meja yang penuh dengan makanan hangat. "Wow! Kelihatannya enak." Kemudian seekor angsa panggang melayang menghampirinya. Tetapi, ketika ia berusaha menjangkau, apinya padam dan hidangan itu menghilang. Gadis itu segera mengambil korek apinya, lalu menyalakannya lagi. Crrrs! Tiba-tiba gadis itu sudah berada di bawah sebuah pohon natal yang besar. "Wow! Lebih indah daripada pohon natal yang terlihat dari jendela tadi." Pada pohon natal itu terdapat banyak lilin yang bersinar. "Wah! Indah sekali!" Gadis itu tanpa sadar menjulurkan tangannya lalu korek api bergoyang tertiup angin. Tetapi, cahaya lilin itu naik ke langit dan semakin redup. Lalu berubah menjadi bintang yang sangat banyak. Salah satu bintang itu dengan cepat menjadi bintang beralih. "Wah, malam ini ada seseorang yang mati dan pergi ke tempat Tuhan,ya... Waktu Nenek masih hidup, aku diberitahu olehnya." Sambil menatap ke arah langit, gadis itu teringat kepada Neneknya yang baik hati. Kemudian gadis itu menyalakan sebatang lilin la i. Lalu di dalam cahaya api muncul wujud Nenek yang dirindukannya. Sambil tersenyum, Nenek menjulurkan tangannya ke arah gadis itu. "Nenek!" Serasa mimpi gadis itu melo ' mpat ke dalam pelukan Nenek. "Oh, Nenek, sudah lama aku ingin bertemu' " Gadis itu menceritakan peristiwa yang dialaminya, di dalam pelukan Nenek yang disayanginya. "Kenapa Nenek pergi meninggalkanku seorang diri? Jangan pergi lagi. Bawalah aku pergi ke tempat Nenek." Pada saat itu korek api yang dibakar anak itu padam. "Ah, kalau apinya mati, Nenek pun akan pergi juga. Seperti tungku pemanas dan makanan tadi..." Gadis itu segera mengumpulkan korek api yang tersisa, lalu menggosokkan semuanya. Gulungan korek api itu terbakar, dan menyinari sekitarnya seperti siang harl. Nenek memeluk gadis itu dengan erat. Dengan diselimuti cahaya, nenek dan gadis itu pergi naik ke langit dengan perlahanlahan. "Nenek, kita mau pergi ke mana?" "Ke tempat Tuhan berada." Keduanya semakin lama semakin tinggi ke arah langit. Nenek berkata dengan lembut kepada gadis itu, "Kalau sampai di surga, Ibumu yang menunggu dan menyiapkan makanan yang enak untuk kita." Gadis itu tertawa senang. Pagi harinya. Orang-orang yang lewat di jalan menemukan gadis penjual korek api tertelungkup di dalam salju. "Gawat! Gadis kecil ini jatuh pingsan di tempat seperti ini." "Cepat panggil dokter!" Orang-orang yang berkumpul di sekitarnya semuanya menyesalkan kematian gadis itu. Ibu yang menolak membeli korek api pada malam kemarin menangis dengan keras dan berkata, "Kasihan kamu, Nak. Kalau tidak ada tempat untuk pulang, sebaiknya kumasukkan ke dalam rumah." Orang-orang kota mengadakan upacara pemakaman gadis itu di gereja, dan berdoa kepada Tuhan agar mereka berbuat ramah meskipun pada orang miskin. PETUALANGAN GULIVER Dahulu kala di negara Inggris ada seorang dokter muda bernama Guliver. Ia senang berlayar ke negara yang sangat jauh. Hingga pada suatu saat, ketika ia berlayar, datang angin topan yang sangat dahsyat. Semua orang yang naik kapal tersebut terlempar ke laut. Guliver terus berenang di antara ombak yang bergulung-gulung. Akhirnya ia terdampar di sebuah pantai. Ketika ia membuka matanya, tubuhnya telah diikat dengan tali kecil dan banyak prajurit-prajurit kecil yang membawa tombak mengelilinginya. "Jangan bergerak! Lihatlah keadaanmu!" "Hai laki-laki raksasa, siapakah kau sebenarnya ?". "Namaku Guliver, kapal yang aku naiki tenggelam dan aku terdampar disini." "Baiklah, kau akan kami bawa ke Istana." Kemudian prajurit-prajurit kecil mengangkat dan menaikkan Guliver ke atas kendaraan raksasa yang ditarik kuda-kuda kecil. Setelah tiba di Istana dan tali-tali yang mengikatnya dilepaskan, Guliver menceritakan kejadian yang menimpa diri dan kapalnya kepada raja. "Baiklah, kau boleh tinggal disini asal kau berkelakuan baik dan sopan", kata sang Raja. Setelah itu raja menyuruh pelayannya untuk menyiapkan hidangan untuk Guliver. "Sebagai rasa hormat saya, saya ingin memberikan hadiah kepada Baginda," kata Guliver sambil mengeluarkan sebuah pistol dan mencoba menembakkannya. Door!! Orang-orang di kota tersebut terkejut dan berlarian mendengar suara pistol Guliver. "Hm.. meriam yang hebat,"kata Raja. Keesokan harinya, Guliver berjalan berkeliling kota setelah diijinkan oleh Raja. Guliver merasa sedang berjalan diantara gedung-gedung yang bagaikan mainan. Guliver semakin akrab dengan penduduk-penduduk di lingkungan Istana. Guliver memberikan kenang-kenangan berupa sebuah jam kepada mereka. Suatu hari, Raja datang dengan putrinya untuk berunding. Raja merasa bingung karena raja negeri tetangga ingin menikah dengan putrinya. Tetapi putrinya tidak menginginkannya. Namun, jika permintaan tersebut ditolak, raja negeri seberang mengancam akan datang menyerang. "Baiklah, aku akan berusaha menolong, Tuanku." Guliver minta disediakan tali-tali yang diberi kail pada ujungnya. Ketika ia pergi ke pelabuhan, kapal-kapal musuh sudah berjejer di tengah laut. Guliver pergi ke arah kapal itu. Tiba-tiba ia diserang dengan panah-panah kecil yang tidak terasa dibadan Guliver. Ia hanya menutup matanya dengan tangan agar panah-panah itu tidak mengenai matanya. Guliver menarik kapal-kapal musuh ke pelabuhan. "Hidup Guliver!", "Hebat! Guliver sangat kuat." Akhirnya raja negeri tetangga memohon maaf dan berjanji tidak akan berperang lagi dan akan menjalin persahabatan. Esok harinya, Guliver menemukan perahu yang sudah rusak dan hanyut terombang-ambing ombak. "Kalau kondisi perahu ini baik, aku mungkin bisa bertemu dengan kapal laut yang akan pulang ke Inggris. Penduduk negeri itu membantu Guliver memperbaiki perahu. Berkat usaha dan kerjasama yang baik, dalam sekejap perahu itu sudah bagus kembali. "Terima kasih banyak atas bantuan kalian semua." Tibalah hari kepulangan Guliver. Ia dibekali makanan dan juga sapi-sapi yang dinaikkan ke perahu. "Baginda, saya telah merepotkan selama tinggal disini dalam waktu yang lama, maafkan saya jika saya banyak kesalahan." "Hati-hatilah Guliver dan selamat jalan." Setelah diantar Raja dan segenap penduduk negeri, perahu Guliver berangkat menuju lautan. "Beberapa hari kemudian, dari arah depan perahu, Guliver melihat kapal laut besar. Ia segera melambaikan tangannya dan ia pun ditolong oleh kapal itu. Kebetulan sekali, ternyata kapal itu akan pulang ke Inggris. "Syukurlah akhirnya aku bisa pulang ke Inggris," ucap Guliver dalam hati. Orang-orang dikapal merasa kagum dan aneh dengan cerita Guliver dan melihat sapi kecil yang dibawa olehnya. MENANAM KEBAIKAN Setiap orang punya cara tersendiri untuk menanam kebaikan . Begitu pula dengan Pak Saroji. Pensiunan guru itu hidup sederhana dengan isterinya. Tiga orang anaknya sudah berkeluarga, dan tinggal terpisah di luar kota. Uang pensiunan Pak Saroji tidak besar. Jadi ia tak mampu menyumbang uang ke panti asuhan. Pak Saroji juga tak kuat membantu membangun rumah ibadah, karena ia sakit-sakitan. Tapi tentu masih banyak cara untuk berbuat baik, begitu pikir Pak Saroji. Pak Saroji lalu merencakan sesuatu. Ia tak ingin hanya berdiam diri. Suatu hari sepulang dari mengambil uang pensiun, ia membawa sekeranjang rambutan. Merah warna kulitnya, ranum, dan pasti manis rasanya! “Banyak sekali, Pak? Untuk siapa?” sambut Ibu Saroji penasaran. “Ya, untuk kita berdua!” jawab Pak Saroji sambil tersenyum. “Seminggu tidak bakal habis. Mana gigi sudah tidak utuh lagi!” lanjut Bu Saroji. “Gampang!” “Lo? Maksud Bapak?” “Panggil saja anak-anak tetangga itu. Kita undang mereka untuk makan rambutan. Apa salahnya? Selama ini pasti mereka anggap kita ini suami-isteri cerewet. Karena banyak melarang dan mengomeli apa saja yang mereka kerjakan!” Bu Saroji tak ingin lagi membantah. Ia tahu, suaminya pasti punya rencana baik. Siang itu setelah makan bersama isterinya, Pak Saroji membawa semua rambutan itu ke teras rumah. Ia lalu memanggil anak-anak tetangga satu persatu. Umur mereka antara 10 hingga 15 tahun. “Kalian tentu suka buah rambutan?” tanya Pak Saroji spontan. “Tentu, Kek! Wah mimpi apa nih kok tiba-tiba Kakek berbaik hati dengan mengundang pesta rambutan!” celetuk Rusli sambil tertawa kegirangan. Disanjung begitu Pak Saroji mengangguk-angguk. “Sudahlah, tak usah banyak bicara. Ayo kita sikat rambutan ini rame-rame!” Tanpa diperintah dua kali, Abid, Didi dan Sastri berebut cepat memilih butiran yang merah tua dan besar. Anak-anak lahap makan buah segar itu. Sesekali mereka berceloteh dan saling ledek. Lalu pecah tawa ria, yang diikuti senyum cerah Pak Saroji. Bu Saroji keluar membawa baki berisi 6 gelas es sirup. “Manis, Nak?” tanya Bu Saroji sambil berusaha menyembunyikan rasa penasaran. “Wah, sering-sering Nek bikin pesta kejutan begini. Asyik, lo!” ujar Mira. “Boleh juga! Tapi ada syaratnya!” jawab Pak Saroji serius. Dipandanginya mata satu per satu anak-anak yang duduk di lantai teras rumahnya. Serentak anak-anak berhenti mengunyah. Mereka menerka-nerka dalam hati apakah ini semacam jebakan? “Syarat, Kek?” gumam Didi sambil meringis. “Gampang kok syaratnya. Jika kalian makan 10 butir rambutan, berarti ada 10 biji rambutan. Pesta buah bulan depan kita lanjutkan jika kalian bersedia mencari biji buah sebanyak yang kalian makan. Cari dimana saja, lalu serahkan pada Kakek!” Anak-anak tercengang. Ada perasaan menyesal setelah makan banyak-banyak. Tiap anak rata-rata makan 25 butir rambutan. Tapi sesaat kemudian mereka kembali tertawa-tawa. Tidak sulit mencari biji rambutan, berapapun banyaknya. Bukankah sekarang lagi musim rambutan? Bulan berikutnya Pak Saroji tidak ingkar janji. Sekeranjang buah salak ditenteng pulang. Anak-anak sudah menunggu. Kali ini 9 orang anak sudah berkumpul tanpa diundang. Mereka sudah tahu syaratnya. Cuma yang agak mengagetkan Pak Saroji ganti membawa buah salak. “Siap menerima tantangan?” tanya Pak Saroji meniru iklan di televisi. Anak-anak jelas tertantang. Salak pondoh itu pasti manis sekali. Legit dan harum. Mereka mau saja memenuhi syarat yang telah disepakati. Maka begitulah berturut-turut. Setiap bulan Pak Saroji menyisihkan uang pensiunnya untuk membeli buah-buahan berbiji. Sepetak tanah di belakang rumah Pak Saroji telah disiapkan untuk membuat persemaian. Biji buah yang disebarkan, ada pula yang ditanam di dalam polibek. Tanah dipupuk, dipetak-petak, dan diberi catatan penanaman. Seperti petugas pertanian. Ya, Pak Saroji sedang menyiapkan bibit buah-buahan. Tak sulit pula mengajak anak-anak membantu. “Nah, anak-anak bulan ini pesta buah berahir. Kini kegiatan kita menguji ketahanan kaki dan tubuh!” bujuk Pak Saroji kepada anak-anak yang terlihat agak kecewa. “Untuk apa, Kek? Menanam bibit?” tanya Rusli. “Tepat sekali!” ujarnya sambil mengelus kepala anak-anak yang ada di dekatnya. “Nenek sudah menyiapkan makan siang dengan goreng ikan mas, sayur lodeh, sambal terasi, dan minuman kelapa muda. Nanti kalau kita sudah sampai ke ujung desa.” Anak-anak sudah menyiapkan cangkul. Lima belas orang anak kini. Cukup banyak untuk mewujudkan cita-citanya. Pak Saroji tidak punya kebun, atau pekarangan yang luas. Jadi, bibit-bibit itu ditanam di kebun orang. Di pinggir pekarangan, di pematang, tepian sungai, dan tentu juga di lereng perbukitan belakang desa. Pak Saroji telah minta izin kepada pemilik lahan. Kegiatan itu dilakukan tiap hari minggu sampai semua benih dan bibit disebarkan. Anak-anak ternyata menikmati acara ini, sebab mereka dapat berpesta masakan Bu Saroji yang dikenal sangat lezat! Begitulah cara Pak Saroji berusaha menanam kebaikan. Ia tidak mengharapkan imbalan dan pujian. Orang-orang kagum akan keluhuran budi Pak Saroji. Kelak jika desa itu menghijau dengan pohon buah-buahan, panen melimpah, dan nama desa menjadi terkenal, orang tentu tak lupa akan Pak Saroji. Sayangnya orang seperti Pak Saroji ternyata tidak banyak. TONGKAT NAGA MERAH Pada suatu hari di dunia pencuri tinggallah 2 orang pencuri yang ingin sekali mencuri istana penyihir, karena mereka kira dengan mencuri kerajaan sihir mereka akan kaya. Akhirnya mereka pergi ke dunia penyihir. Sesampainya di sana mereka mengambil banyak sekali perhiasan dan mereka juga mengambil serbuk untuk menyihir. Di suatu ruang dimana 2 orang penyihir sedang mencoba sebuah peta rahasia supaya mereka dapat mengambil Tongkat Naga Merah. Dan seorang penyihir memerlukan bulu angsa untuk membuat peta itu. Akhirnya Marine, seorang penyihir muda mengambil bulu angsa itu. Dengan tidak sengaja Marine bertemu dengan 2 orang pencuri itu, akhirnya mereka berkenalan. Marine berkenalan dengan 2 orang pencuri, yang bernama Snail dan Riddly. Tiba-tiba Marine mendengar teriakan gurunya yang sedang membuat peta rahasia itu. Mereka bertiga langsung menuju tempat guru itu. Ternyata guru itu dibunuh oleh utusan penyihir jahat. Utusan itu bernama Damador. Sebelum dibunuh guru itu menyerahkan peta itu kepada Marine. Marine, Snail dan Riddley lari dan mereka bertemu dengan orang yang bernama Curcill. Akhirnya mereka kabur bersama-sama. Kata Marine, bila kita ingin mendapat Tongkat Naga Merah harus dapat memiliki Batu Naga Merah. Konon Tongkat Naga Merah itu dapat mengendalikan Naga Merah yang berkuasa di dunia penyihir, dan bila tongkat itu jatuh ke tangan penyihir jahat yang bernama Raja Cappelar dunia penyihir akan hancur. Ternyata Riddley mengetahui dimana tempat disembunyikannya Batu Naga Merah. Akhirnya mereka pergi ke tempat raja pencuri yang mempunyai Batu Naga Merah tersebut. Sesampainya di sana Riddley diperbolehkan mengambil Batu Naga Merah tersebut, tetapi dengan satu syarat Riddley harus melewati suatu rintangan, dan ternyata dia berhasil mengambil batu tersebut. Ternyata raja pencuri itu licik, dia meminta kembali batu itu sehingga terjadilah suatu pertengkaran. Ternyata Domador dan pasukan-pasukannya mengikuti mereka. Marine diculik dan peta rahasia itu diambil. Akhirnya Riddley dan Snail bertemu dengan seorang peri utusan Ratu Helga. Ratu Helga adalah seorang Ratu yang baik dan satu-satunya wanita yang menentang perkataan Raja Cappelar. Peri utusannya bernama Hilda. Akhirnya mereka meneruskan perjalanan mereka ke tempat tongkat itu berada. Disamping itu di istana penyihir terjadilah suatu pertempuran antara Ratu Hilga dan Raja Cappelar. Riddley berhasil mendapatkan Tongklat Naga Merah itu tetapi karena Marine, Curcill, dan Peri Hilda disandera dan kata Domador bila Ridlley memberikan Tongkat Naga Merah itu kepada Domador mereka akan dilepaskan. Tetapi Domador mengingkari kata-katanya. Akhirnya Domador kembali ke istana dengan membawa Tongkat Naga Merah tersebut yang akan diserahkan kepada Raja Cappelar. Tetapi ternyata Riddley menyusul Domador ke istana Raja Cappelar dan usaha Riddley sudah terlambat. Tongkat Naga Merah itu sudah digunakan Raja Cappelar dan satu-satunya cara agar sihir jahat itu musnah dari dunia sihir itu Tongkat Naga Merah tersebut harus dihancurkan. Setelah dihancurkan, ternyata Raja Cappelar masih mempunyai sisa kekuatan untuk menghancurkan Riddley beserta istana Ratu Hilga. Tetapi usahanya tidak dapat berhasil karena sang Raja Naga Merah datang dan memakan Raja Cappelar. Akhirnya matilah Raja Cappelar dan kemenangan telah diraih oleh Ratu Helga, semua kemenangan disebabkan oleh Riddley dengan dibantu oleh teman-temannya. Berkat kerja keras mereka, dunia penyihir menjadi damai dan tentram. Rakyatnya pun sejahtera berkat usaha keras dari Ratu Helga yang menentang perkataan dan perbuatan Raja Cappelar dan lebih memilih kesejateraan dunia sihir. Itu balasannya untuk Ratu Helga yang bersifat tidak mementingkan diri sendiri. Sedangkan Raja Cappelar yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan kesejateraan rakyat mati dengan cara yang mengenaskan. PETUALANGAN KELINCI DAN BEBEK KECIL "Alhamdulillah, aku senang hari ini. Aku mendapatkan buah segar. Pasti Mamaku senang." ucap Kelinci Lincah sambil melompat kegirangan. Lalu, ia pun melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Di sepanjang jalan, ia menyapa teman-temannya yang tengah berangkat menuju kebun untuk mencari buah dan biji. Ada Om Tupai Pelompat, Pak Onyet Si Gelantung dan banyak lagi. Sudah hampir satu jam Kelinci Lincah berlari menuju rumah. Satu tikungan lagi, ia akan bertemu dengan Mamanya yang sedang menunggu buah yang ia bawa. "Masya Allah, capeknya. Aku berangkat dari rumah sejak pagi. Buah segar ini rencananya akan diolah Mama menjadi kue lezat buat Kak Lenci yang sedang sakit," batin Kelinci. Tiba tiba, terdengar sayup-sayup suara nyanyian sedih dari pohon besar. "Hatiku sedih, hatiku gundah... tak ingin cepat berpisah… huk…huk ...huk...!" "Subhanallah, suara siapa itu ya?" gumam Kelinci. "Sedih sekali lagunya. Mungkin ia berpisah dengan Mamanya. Duh… aku harus menghiburnya. Tapi bagaimana dengan buah ini? Mamaku pasti menunggu. Ah, aku bingung. Emm...gimana ya ...? Tapi, aku kan mau menolong teman. Lagian, buah segar ini, toh akan dibuat makanan penutup untuk nanti malam. Sementara sekarang ini, aku kan pulang lebih pagi dari seharusnya," Kelinci terus menimbang-nimbang. "Ooh… Mama ke mana…ya…?" suara itu muncul lagi. Tapi siapa ya? Pelan-pelan Kelinci mendekati pohon besar. Ia mengikuti arah suara itu. Banyak semak belukar ternyata. "Kupotong saja ah pakai gigiku..." Dan, hei… itu kan si Beki bebek kecil. Duh, kasihan dia terjerat semak belukar. "Assalamualaikum Beki... kamu terjerat rupanya. Aku bantu ya...?" "Oh Kelinci, waalaikumussalam! Alhamdulillah, terima kasih banyak kau mau membantuku. Aku terpisah dengan keluargaku saat menuju kolam berenang... Ini karena salahku tak mau patuh pada Mamaku." "Oh… Sudahlah Beki, nanti kuantar kau ke kolam. Aku kan temanmu. Nanti sesampai di sana, kamu bisa meminta maaf pada orangtuamu," jawab kelinci sambil memotong belukar yang menjerat Beki, pelan pelan. "Allahu Akbar! Keras sekali belukarnya ... Alhamdulillah, terlepas!" batinnya. "Sekarang, mari aku antar mencari Mamamu," ajak Kelinci. Mereka pun bergegas menuju kolam yang ditunjuk oleh Beki. Sepanjang perjalanan mereka bergembira dan bernyanyi. "Hei Beki, sepertinya kita harus memotong jalan. Kalau memakai jalan besar ini, akan terlalu lama sampainya. Bagaimana kalau lewat kebun Pakde Kambing? Pasti lebih cepat," ajak kelinci. "Lagipula, aku harus cepat sampai ke rumah untuk mengantarkan buah segar ini," lanjutnya. Beki mengangguk. Mereka melanjutkan perjalanan melewati kebun Pakde Kambing. Tapi, baru saja dua tikungan, pohon jagung yang berjajar membuat mereka bingung, arah mana menuju kolam. Wah, jangan-jangan mereka tersesat. Dan, kelinci akan lama sampai ke rumah, sementara Beki tidak akan bertemu Mamanya. "Beki, aku bingung ke arah mana menuju kolam itu....," keluh Kelinci. "Astaghfirullah, bagaimana ini? Kita harus bertanya kepada siapa? Sedangkan di sini sepi sekali," ucap Beki mulai gundah. Ia pun mulai menangis. "Ho ho ho…, siapa ini yang lewat kebun Tuanku?" Sebuah suara besar tiba-tiba muncul. "Kelinci, suara siapa itu? Aku takut...," bisik Beki sambil berlindung di balik tubuh kelinci. "Heh siapa itu? Jangan mencoba menakuti kami ya!" Kelinci memberanikan diri. "Ho ho ho…, jangan takut! Aku Boo, penjaga kebun ini. Aku baik kok, Aku ada di atasmu!" kata suara tadi. Beki dan Kelinci masih takut-takut. Dilihatnya ke atas. Ternyata sebuah orang-orangan dari jerami. Boo tersenyum. "Pasti kalian kebingungan. Memangnya kalian mau ke mana?" tanyanya ramah. "Ke kolam…" Kelinci dan Beki hampir berbarengan menjawab. "Aha… karena aku lebih tinggi, aku bisa melihat kolam itu. Kalian berjalan saja lurus. Di sana ada pohon nangka. Nah, di balik pohon itulah kolam yang kalian cari," ujar Boo. "Terima kasih ya Boo…" ucap mereka terburu. Akhirnya mereka berlari menyusuri jalan yang ditunjukkan Boo. Sesampai di sana, Beki, bebek kecil bisa bertemu kembali dengan Mamanya. Sementara Kelinci Lincah kembali menuju rumahnya yang ternyata tak jauh dari kolam itu. Wah senangnya bisa bantu teman dan keluarga. Ternyata tolong menolong itu indah ya?*** CERITA SIANAK IKAN Ceritanya mengisahkan seekor anak ikan dan ibunya yang sedang berenang-renang dilautan dalam. Ibu ikan sedang mengajar anak kesayangannya akan erti kehidupan danrealiti yang mereka hadapi. Anak ikan ini bertanya, "Apa banyakkah perkara yang anakanda tidak ketahui wahai ibu?". Ibu ikan ini pun berkata, "Duhai anakku yang ku kasihi, sesungguhnya terdapat suatuperkara yang amat penting yang ibu ingin sampaikan...ajaran ini telah disampaikan olehpendita-pendita ikan yang terulung sejak zaman berzaman, telah disebarkan kepadaseluruh warga alam air ini dan ibu harap anakanda juga ambil berat apa yang ingin ibu katakan...Suatu hari nanti, anakanda akan beruji dengan godaan-godaan yang mengelirukan akal... akan anakanda jumpa cacing yang sungguh enak sedang dicucukoleh mata kail dan diikat pada tali yang tidak nampak oleh mata kasar. Cacing itu kelihatan sungguh mengiurkan, sungguh lazat sehinggakan anakanda tidak terfikir akanapapun kecuali utk menikmati juadah yang enak itu... tetapi anakanda kena ingat ituhanyalah muslihat manusia, mengumpan anakanda ke alam lain yang penuh sengsara." "Alam apa itu ibu?" "Jika anakanda terjerumus ke perangkap manusia itu.. leher anakanda akan disentapoleh besi yang bercangkuk tajam dan akananda akan merasa kesakitan di muluanakanda. Kemudian, mereka akan tarik anakanda ke arah sesuatu yang menyilaupandangan sehingga anakanda rasa anakanda akan buta... anakanda akan di campakumpama sampah di perut perahu mereka dan anakanda akan berasa sesak keranaanakanda bukan lagi dikelilingi oleh air tetapi udara... Kemudian mereka akan membawaanakanda ke pasar, mereka letakkan harga..ada manusia yang datang danmencocok-cocok badan anakanda sebelum ada yang membawa anakanda ke rumahmereka. Siksaan mereka belum selesai...manusia itu akan mengelar- ngelar anakanda,menghiris daging dan meletakkan garam dan .. pedihnya ibu tak dapat bayangkan danceritakan..", sambil si ibu tunduk sayu dan ketakutan. "Setelah dikelar-kelar... anakanda akan melihat minyak yang panas mengelegak, sehingga percikannya bisa meleburkan kulit anakanda yang halus itu... manusia kemudiannya akan menurunkan anakanda ke dalam minyak yang panas itu sehingga segala daging dan kulit anakanda melecur dan bertukar warna... Akhirnya.. anakanda akan dilapah, dimamah dan dikunyah oleh gigi-gigi manusia yang tidak mengenal erti belas kasihan itu... Semua siksaan itu berpunca dari godaan yang sedikit... ibu berpesan agar anakanda ingat dan berhati-hati di laut lepas tu..." Si anak..hanya mengangguk-anggukkan kepalanya... dalam hatinya masih tidak yakin..kerana belum pernah ketemu cacing yang sebegitu... Suatu hari.. setelah di anak ini remaja..dan bersiar-siar dengan kawan-kawannya..mereka terlihat seekor cacing yang amat besar, tampak lazat berseri-seri... semuaikan-kan itu telah mendengar cerita dari orang tua masing-masing.. cuma baru sekarangmelihatnya dengan mata kasar sendiri.. masing- masing menolak satu sama lain.. dan mencabar-cabar agar pergi menjamah juadah itu.. akhirnya si anak yang tidak yakindengan ceritaibunya tadi berkata, " Ahhhh...masakan benar kata-kata ibuku.. makanan selazat ini tidak akanmendatangkan apa-apa kecuali kenyang perutku. Ini habuanku....", terlintas nafsu yangdtg menggoda... lalu.. setelah si anak itu mengangakan mulutnya luas-luas dan denganrakusnya membaham cacing itu... mulut dan tekaknya terasa kesakitan yang amatsangat...setelah puas cuba melepaskan diri.. si anak tadi berasa kesal dan sedih dalamdirinya.. kerana dia tahu...apa yang ibu katakan memang benar...cuma segalanya sudah terlambat..hanya kerana nafsu. TO GREY CATS Elizabeth had two cats. Their names were Micki and Minnie. They looked exactly alike. Micki was a grey cat. Minnie was a grey cat. Micki had a white spot on her chest. Minnie had a white spot on her chest. Elizabeth never knew which one was in her lap. She looked for her brother. He was on his way outside to wash his car. "How do you tell the cats apart?" Elizabeth asked him. "I think Micki's tail is a little longer," her brother said. He went out the door. Elizabeth took a ruler from her desk. She measured the cats' tails. Micki's tail was 11 inches long. Minnie's tail was 11 inches long. There must be some way to know which is which, Elizabeth thought. She meowed at the cats. They meowed back at her. Micki had a high, soft meow. Minnie had a high, soft meow. She looked deep into their eyes. Micki's eyes were green, with a little yellow. Minnie's eyes were green, with a little yellow. Elizabeth's mother was on her way into the bathroom to take a shower. "How do you tell the cats apart?" Elizabeth asked. "I don't," her mother replied. She closed the door. Elizabeth sat down on the sofa with a big sigh. She didn't know what to do. I will never be able to tell these cats apart!, she thought. She looked down at the cat who sat nearest her feet. "Which one are you?" she asked. "I'm Minnie," the cat replied. "All you had to do was ask." "Oh," Elizabeth blinked. The cat jumped into her lap. Elizabeth smiled and began to pet her. "Hi, Minnie," she said. KISAH BINTANG KUTUB Dongeng dari India Kuno, diceritakan kembali oleh Elisabeth Widyaningrum (Bobo No. 35/XXVIII) Di langit malam yang gelap, ada sebuah bintang yang tak pernah berpindah. Orang-orang menyebutnya Bintang Kutub. Bintang ini dapat menjadi pedoman untuk menetukan arah bagi para pelaut dan nelayan di laut lepas. Di India, bintang ini disebut Bintang Dhruva. Mengapa demikian? Begini ceritanya… Pada jaman dahulu, hiduplah seorang anak bersama Dhruva. Ia tinggal di tengah hutan bersama ibunya. Ibu Dhruva bernama Ratu Suniti. Ya! Dhruva memang putra mahkota seorang raja! Ayahnya bernama Raja Uttanapada. Seharusnya Dhruva dan ibunya tinggal di dalam istana. Tapi, karena kedengkian seorang kerabat istana yang ingin anaknya kelak menjadi raja, Dhruva dan ibunya di usir dari istana. Dalam kehidupannya, Dhruva sangat merindukan ayahnya. Tapi, tiap kali Ratu Suniti menghiburnya, "Dhruva, anakku," kata Ratu Suniti. "Ada seorang ayah yang sangat menyayangimu. Kelak suatu hari nanti, kau akan bertemu dengannya." "Siapa dia , Bu?" tanya Dhruva. "Dia adalah Dewa Wishnu," jawab Ratu Suniti. "Kapan saya bisa bertemu denganya, Bu?" tanya Dhruva lagi. "Nanti, bila kau sudah dewasa dan menjadi orang yang bijaksana," sahut Ratu Suniti sambil membelai kepala Dhruva. Dhruva termenung. Ia benar-benar merindukan seorang ayah! Beberapa bulan yang lalu, ia memang pergi ke istana. Tapi ia tidak bertemu dengan ayahnya. Ia malah bertemu dengan Suruchi, kerabat istana yang dengki itu. Suruchi langsung mengusir Dhruva. Dan dhruva pun kembali ke hutan. "Saya tidak mau menunggu sampai jadi dewasa dan bijakasana, Bu," kata Dhruva kemudian. "Saya ingin bertemu dengan Dewa Wishnu sekarang." Ratu Suniti mengetahui betapa kuatnya keinginan Dhruva. "Anakku Dhruva," ucap Ratu Suniti akhirnya. "Kalau kau memang ingin bertemu Dewa Wishnu, pergilah. Tapi ingat, segera kembali ke sini begitu keinginanmu berkurang walau cuma sedikit." Dhruva sangat berterima kasih atas kebijaksanaan ibunya. Ia kemudian pamit, lalu meninggalkan ibu dan gubuknya. Ia terus melangkah makin jauh masuk ke dalam hutan. Ya! Dhruva memang sangat ingin bertemu Dewa Wishnu! Berhari-hari Dhruva berjalan, tapi ia belum juga bertemu Dewa Wishnu. Pada suatu malam, Dhruva merasa sangat lelah dan lapar. Ia berbaring di bawah sebuah pohon besar. Di tengah kegelapan itu, ia melamun. Terbayang di matanya wajah ibunya yang sedih dan kesepian tanpa dirinya. Tapi keinginan Dhruva tak pernah berkurang sedikit pun. Dan dalam kegelapan itu, tiba-tiba seseorang muncul di depan Dhruva. Orang itu adalah Narada yang bijaksana. "Anak kecil, sedang apa kau malam-malam begini berada di tengah hutan?" tanya Narada. Lalu Dhruva menceritakan keinginannya untuk bertemu Dewa Wishnu. Kepala Narada mengangguk-angguk begitu cerita Dhruva selesai. "Kalau begitu, ikutlah denganku," kata Narada kemudian. Sejak saat itu, Dhruva mengikuti Narada. Narada mengajari Dhruva berdoa dan bertapa. Dhruva sangat tekun belajar bertapa. Ia duduk tak bergerak di atas batu, menutup matanya, kemudian memusatkan pikiran pada satu hal, yaitu Dewa Wishnu. Suatu hari, terdengarlah suara, "Anaklku Dhruva, aku ada di sini." Dhruva membuka matanya. Di depan Dhruva, berdirilah seorang laki-laki. Cahaya kemilau menyelimuti tubuh laki-laki itu. Saat itu juga Dhruva tahu bahwa doanya terkabul. Laki-laki itu adalah Dewa Wishnu. Dhruva sangat gembira. "Anakku," kata Dewa Wishnu. "Kau sudah melakukan segala hal agar bisa bertemu denganku. Kau sudah memegang teguh keinginan itu, dan mengatasi semua rintangan yang menghadangmu. Nah, sekarang apa yang kau inginkan setelah bertemu denganku?" "Dewa, saya sangat merindukan seorang ayah. Ibu saya berkata bahwa Dewa Wishnu-lah ayah yang terbaik di dunia ini. Saya ingin selalu dekat dengan Dewa," jawab Dhruva. "Selain itu, saya ingin Ibu saya kembali ke istana. Saya ingin Ibu saya bahagia, Dewa." "Baiklah," sahut Dewa Wishnu. "Ibumu akan kembali ke istana, dan kau akan selalu dekat denganku." Lalu Dewa Wishnu mengubah Dhruva menjadi sebuah bintang yang amat terang, dan meletakkannya di langit. Beberapa saat setelah Dhruva menjadi Bintang Kutub, datanglah utusan istana untuk menjemput Ratu Suniti, Ibu dhruva. Raja Uttanapada sudah mengetahui kedengkian Suruchi. Ratu Suniti pun kembali ke istana. Bila malam tiba, Ratu Suniti selalu menyempatkan diri untuk melambaikan tangan ke arah Bintang Kutub, yang kemudian diketahuinya merupakan penjelmaan dari Dhruva. Dhruva pun membalas lambaian tangan itu dengan kerlipan yang indah. Bintang Kutub itu tak pernah berpindah, tak seperti bintang-bintang lain yang selalu bergiliran untuk muncul di langit. Bintang Kutub itu ada sepanjang tahun, sebagai lambang keinginan yang begitu kuat, yaitu keinginan Dhruva bertemu dengan Dewa Wishnu. (Dongeng dari India Kuno, diceritakan kembali oleh Elisabeth Widyaningrum) KISAH SEMUT HITAM Di sebuah desa kecil yang di kelilingi oleh hutan besar, hiduplah seorang Nenek dan cucunya yang bernama Anggun. Mereka tinggal di desa itu. Walaupun desa itu sepi dan tidak aman, mereka tidak menghiraukan karena tempat itu tempat mereka mencari nafkah. Setiap hari si Nenek dan Anggun mencari kayu yang sangat jauh dari tempat tinggal mereka. Tempat itu adalah desa kuno. Suatu hari Nenek pergi ke desa kuno sendirian untuk menukar kayu, karena Anggun cucunya sakit. Anggun sangat kuatir dengan Neneknya karena hari hampir malam Neneknya belum pulang juga. Lalu Anggun ketiduran menunggu Neneknya. Haripun sudah pagi ketika Anggun bangun, Neneknya belum pulang juga. Ia langsung pergi ke desa kuno tempat Neneknya menukar kayu dengan makanan. Setelah sampai di sana Anggun menanyakan kepada orang itu. Apakah Neneknya kemarin ke sini, Anggun menjadi kaget karena jawaban tuan itu, dan ia langsung menangis. Lalu tuan itu bertanya ada apa dengan nenekmu nak ?. Anggun menjawab Nenek tidak ada, dari kemarin Nenek tidak pulang. Lalu tuan itu berkata , “ Nenekmu pasti di makan oleh makhluk srigala ”. Lalu Anggun bertanya, “Apa maksud Tuan ? ”. “ Saya sudah sering memberi tahu kepada Nenekmu kalau hutan besar itu sangat seram, karena di huni oleh seekor srigala. Tetapi Nenekmu tidak percaya, Nak “. “ Kenapa Nenek tidak pernah cerita sama aku ” kata Anggun. “ Mungkin ia takut Anggun tidak mau tinggal di desa itu “ kata tuan itu lagi. Setelah mendengar cerita itu Anggun lalu pulang mencari Neneknya di hutan besar itu. Ketika sampai di tengah hutan Anggun melihat seikat kayu bakar yang biasa dibawa Neneknya dan sandal jepit yang penuh dengan darah yang sudah kering. Anggun menjadi takut, ia ingin pulang tetapi Anggun tersesat di hutan besar. Ia tidak tahu lagi jalan pulang. Yang bisa dilakukan Anggun cuma menangis. Ketika hari mulai gelap Anggun ketiduran di bawah pohon besar. Lalu datang seekor semut hitam yang ingin membangunkan Angun dengan cara menggigit batang hidung Anggun dan Anggun terbangun. Lalu semut hitam itu berkata “ Adik kecil kamu jangan tidur di bawah pohon karena berbahaya, sebaiknya kamu tidur di atas pohon saja , karena lebih aman ” dan Anggun menuruti kata-kata semut hitam itu dan langsung naik sampai di atas pohon dan menceritakan semua tentang srigala yang telah memakan Neneknya Anggun. Anggun semakin ketakutan dengan cerita semut hitam dan ia tidak bisa tidur di atas batang karena ia takut jatuh. Setelah malam berakhir bumi menjadi terang. Angun turun dari batang untuk menemui si semut yang sedang mencari makan di bawah pohon. Anggun berkata kepada semut. “ Mut, aku mau pulang, tetapi aku takut kalau srigala itu belum mati. Bagaimana cara membunuh srigala itu.” tanya Anggun lagi. “Tidak mungkin Gun, srigala itu sangat kuat dan besar “ Setelah berfikir-fikir Anggun tahu bagaimana cara membunuh srigala itu. “Bagai-mana Gun?” kata semut. “Kamu panggil dulu teman-teman kamu dan suruh mereka berkumpul disini ” sambung Anggun. Si semut lalu meniupkan terompet dan datanglah semua teman semut. Anggun terkejut ternyata semut-semut itu lebih banyak dari dugaannya. Lalu Anggun menyuruh semut-semut itu naik ke atas untuk membicarakan cara membunuh serigala itu. “Kalian harus menggigit tubuh serigala itu bersama-sama ” kata Anggun. “ Kami setuju ” kata semut. “ Tetapi, bagaimana cara memanggil srigala itu ” tanya semut lagi. “ Begini, aku akan menjerit-jerit ia pasti akan datang mendengar suaraku, karena suaraku sangat besar bukan seperti suara kalian ” jawab Anggun. Hari pun sudah mulai akan gelap, semua semut-semut mulai beraksi begitu juga dengan Anggun. Ia berteriak-teriak di atas pohon. Srigala berlari mencari suara itu dan srigala berkata. “ Hei di mana kamu ? ”. “ Aku di atas kamu srigala bodoh ” kata Anggun. Srigala itu menjadi ketakutan, lalu Anggun menyuruh semut-semut turun sebelum pohonnya tumbang. Semut-semut itu lalu turun diam-diam untuk mendekati tubuh srigala. Tanpa di ketahui srigala itu, semut-semut sudah ada di atas tubuh srigala. Dengan hitungan Anggun, semut-semut itu serentak menggigit tubuh srigala. Srigala berteriak kesakitan karena gigitan semut-semut itu sangat sakit dan akhirnya srigala itu pun mati. Anggun kembali ke desanya tanpa ada rasa takut. SAUDAGAR JERAMI Dahulu kala, ada seorang pemuda miskin yang bernama Taro. Ia bekerja untuk ladang orang lain dan tinggal dilumbung rumah majikannya. Suatu hari, Taro pergi ke kuil untuk berdoa. "Wahai, Dewa Rahmat! Aku telah bekerja dengan sungguh-sungguh, tapi kehidupanku tidak berkercukupan". "Tolonglah aku agar hidup senang". Sejak saat itu setiap selesai bekerja, Taro pergi ke kuil. Suatu malam, sesuatu yang aneh membangunkan Taro. Di sekitarnya menjadi bercahaya, lalu muncul suara. "Taro, dengar baik-baik. Peliharalah baik-baik benda yang pertama kali kau dapatkan esok hari. Itu akan membuatmu bahagia." Keesokan harinya ketika keluar dari pintu gerbang kuil, Taro jatuh terjerembab. Ketika sadar ia sedang menggenggam sebatang jerami. "Oh, jadi yang dimaksud Dewa adalah jerami, ya? Apa jerami ini akan mendatangkan kebahagiaan…?", pikir Taro. Walaupun agak kecewa dengan benda yang didapatkannya Taro lalu berjalan sambil membawa jerami. Di tengah jalan ia menangkap dan mengikatkan seekor lalat besar yang terbang dengan ributnya mengelilingi Taro di jeraminya. Lalat tersebut terbang berputar-putar pada jerami yang sudah diikatkan pada sebatang ranting. "Wah menarik ya", ujar Taro. Saat itu lewat kereta yang diikuti para pengawal. Di dalam kereta itu, seorang anak sedang duduk sambil memperhatikan lalat Taro. "Aku ingin mainan itu." Seorang pengawal datang menghampiri Taro dan meminta mainan itu. "Silakan ambil", ujar Taro. Ibu anak tersebut memberikan tiga buah jeruk sebagai rasa terima kasihnya kepada Taro. "Wah, sebatang jerami bisa menjadi tiga buah jeruk", ujar Taro dalam hati. Ketika meneruskan perjalanannya, terlihat seorang wanita yang sedang beristirahat dan sangat kehausan. "Maaf, adakah tempat di dekat sini mata air ?", tanya wanita tadi. "Ada dikuil, tetapi jaraknya masih jauh dari sini, kalau anda haus, ini kuberikan jerukku", kata Taro sambil memberikan jeruknya kepada wanita itu. "Terima kasih, berkat engkau, aku menjadi sehat dan segar kembali". Terimalah kain tenun ini sebagai rasa terima kasih kami, ujar suami wanita itu. Dengan perasaan gembira, Taro berjalan sambil membawa kain itu. Tak lama kemudian, lewat seorang samurai dengan kudanya. Ketika dekat Taro, kuda samurai itu terjatuh dan tidak mampu bergerak lagi. "Aduh, padahal kita sedang terburu-buru." Para pengawal berembuk, apa yang harus dilakukan terhadap kuda itu. Melihat keadaan itu, Taro menawarkan diri untuk mengurus kuda itu. Sebagai gantinya Taro memberikan segulung kain tenun yang ia dapatkan kepada para pengawal samurai itu. Taro mengambil air dari sungai dan segera meminumkannya kepada kuda itu. Kemudian dengan sangat gembira, Taro membawa kuda yang sudah sehat itu sambil membawa 2 gulung kain yang tersisa. Ketika hari menjelang malam, Taro pergi ke rumah seorang petani untuk meminta makanan ternak untuk kuda, dan sebagai gantinya ia memberikan segulung kain yang dimilikinya. Petani itu memandangi kain tenun yang indah itu, dan merasa amat senang. Sebagai ucapan terima kasih petani itu menjamu Taro makan malam dan mempersilakannya menginap di rumahnya. Esok harinya, Taro mohon diri kepada petani itu dan melanjutkan perjalanan dengan menunggang kudanya. Tiba-tiba di depan sebuah rumah besar, orang-orang tampak sangat sibuk memindahkan barang-barang. "Kalau ada kuda tentu sangat bermanfaat," pikir Taro. Kemudian taro masuk ke halaman rumah dan bertanya apakah mereka membutuhkan kuda. Sang pemilik rumah berkata,"Wah kuda yang bagus. Aku menginginkannya, tetapi aku saat ini tidak mempunyai uang. Bagaimanan kalau ku ganti dengan sawahku ?". "Baik, uang kalau dipakai segera habis, tetapi sawah bila digarap akan menghasilkan beras, Silakan kalau mau ditukar", kata Taro. "Bijaksana sekali kau anak muda. Bagaimana jika selama aku pergi ke negeri yang jauh, kau tinggal disini untuk menjaganya ?", Tanya si pemilik rumah. "Baik, Terima kasih Tuan". Sejak saat itu taro menjaga rumah itu sambil bekerja membersihkan rerumputan dan menggarap sawah yang didapatkannya. Ketika musim gugur tiba, Taro memanen padinya yang sangat banyak. Semakin lama Taro semakin kaya. Karena kekayaannya berawal dari sebatang jerami, ia diberi julukan "Saudagar Jerami". Para tetangganya yang kaya datang kepada Taro dan meminta agar putri mereka dijadikan istri oleh Taro. Tetapi akhirnya, Taro menikah dengan seorang gadis dari desa tempat ia dilahirkan. Istrinya bekerja dengan rajin membantu Taro. Merekapun dikaruniai seorang anak yang lucu. Waktu terus berjalan, tetapi Si pemilik rumah tidak pernah kembali lagi. Dengan demikian, Taro hidup bahagia bersama keluarganya. GROWING TOMATOES Walter Rice cupped the little tomato plant in his hand and showed his grandson how to nip off the bottom branchlets with a thumbnail. Now, you bury it right up to the leaves, boy, so's you get a nice bushy plant, and you'll have your twenty-five baskets on the first pickin'." Twenty-five baskets of ripe tomatoes, delivered to the A&P canning plant, would bring enough to buy a Western Flyer bicycle. Steven Rice thought of red, white and blue handlebar streamers in the wind as he set in the new plants where the old man punched the mounded soil with his cane. In June the mornings were cool, and Steven hoed out the weeds, and inspected his plants for signs of blossoms. A dry spell came in July, and he passed the afternoons on the long slow swing under the elm tree, looking out at the green rows in the shimmering heat, listening for thunder through the drone of locusts. Finally, it rained a little in the night, then a lot more the next night. Then the yellow blossoms came, more than he had ever seen; and a long time afterward the tiny green tomatoes appeared. One day he found a tomato that had escaped his notice before. It had ripened before all the others, and Steven proudly bore it to his mother's kitchen. The thing was so big and sweet that she made sandwiches for the two of them, and had enough left to make one for Steven to take to his grandfather, working in his own tomato field. Walter Rice sat in the shade beside his field, and ate the sandwich Steven had brought him. "A&P's gonna start takin' tomatoes in a couple more weeks, boy. It seems we just put those plants in, and now it's almost pickin' time. "It's been a long time, Grandpa," said Steven. "A long time to wait for a bicycle." Walter smiled at the boy. "It didn't seem long to me. But then, I wasn't waitin' for a bicycle." The mornings had become cool again, and it was barely dawn the day Steven loaded twenty-five baskets of bright tomatoes on his grandfather's old pickup truck. They were third in line at the A&P plant, and waited in the steam clouds that smelled of ketchup. Later, as they drove home with a new Western Flyer carefully tied upright in the back of the pickup, Walter asked his grandson, "Did you notice that toboggan they had hangin' on the wall, Steven? If you start savin' now, maybe you could have that by winter time." Steven was on his knees, looking back at the red, white and blue handlebar streamers playing in the wind. "It'll be a long time before it snows, Grandpa," he said. ALADIN DAN LAMPU WASIAT Dahulu kala, di kota Persia, seorang Ibu tinggal dengan anak laki-lakinya yang bernama Aladin. Suatu hari datanglah seorang laki-laki mendekati Aladin yang sedang bermain. Kemudian laki-laki itu mengakui Aladin sebagai keponakannya. Laki-laki itu mengajak Aladin pergi ke luar kota dengan seizin ibu Aladin untuk membantunya. Jalan yang ditempuh sangat jauh. Aladin mengeluh kecapaian kepada pamannya tetapi ia malah dibentak dan disuruh untuk mencari kayu bakar, kalau tidak mau Aladin akan dibunuhnya. Aladin akhirnya sadar bahwa laki-laki itu bukan pamannya melainkan seorang penyihir. Laki-laki penyihir itu kemudian menyalakan api dengan kayu bakar dan mulai mengucapkan mantera. "Kraak…" tiba-tiba tanah menjadi berlubang seperti gua. Dalam lubang gua itu terdapat tangga sampai ke dasarnya. "Ayo turun! Ambilkan aku lampu antik di dasar gua itu", seru si penyihir. "Tidak, aku takut turun ke sana", jawab Aladin. Penyihir itu kemudian mengeluarkan sebuah cincin dan memberikannya kepada Aladin. "Ini adalah cincin ajaib, cincin ini akan melindungimu", kata si penyihir. Akhirnya Aladin menuruni tangga itu dengan perasaan takut. Setelah sampai di dasar ia menemukan pohon-pohon berbuah permata. Setelah buah permata dan lampu yang ada di situ dibawanya, ia segera menaiki tangga kembali. Tetapi, pintu lubang sudah tertutup sebagian. "Cepat berikan lampunya !", seru penyihir. "Tidak ! Lampu ini akan kuberikan setelah aku keluar", jawab Aladin. Setelah berdebat, si penyihir menjadi tidak sabar dan akhirnya "Brak!" pintu lubang ditutup oleh si penyihir lalu meninggalkan Aladin terkurung di dalam lubang bawah tanah. Aladin menjadi sedih, dan duduk termenung. "Aku lapar, Aku ingin bertemu ibu, Tuhan, tolonglah aku !", ucap Aladin. Aladin merapatkan kedua tangannya dan mengusap jari-jarinya. Tiba-tiba, sekelilingnya menjadi merah dan asap membumbung. Bersamaan dengan itu muncul seorang raksasa. Aladin sangat ketakutan. "Maafkan saya, karena telah mengagetkan Tuan", saya adalah peri cincin kata raksasa itu. "Oh, kalau begitu bawalah aku pulang kerumah." "Baik Tuan, naiklah kepunggungku, kita akan segera pergi dari sini", ujar peri cincin. Dalam waktu singkat, Aladin sudah sampai di depan rumahnya. "Kalau tuan memerlukan saya panggillah dengan menggosok cincin Tuan." Aladin menceritakan semua hal yang di alaminya kepada ibunya. "Mengapa penyihir itu menginginkan lampu kotor ini ya ?", kata Ibu sambil menggosok membersihkan lampu itu. "Syut !" Tiba-tiba asap membumbung dan muncul seorang raksasa peri lampu. "Sebutkanlah perintah Nyonya", kata si peri lampu. Aladin yang sudah pernah mengalami hal seperti ini memberi perintah,"kami lapar, tolong siapkan makanan untuk kami". Dalam waktu singkat peri Lampu membawa makanan yang lezat-lezat kemudian menyuguhkannya. "Jika ada yang diinginkan lagi, panggil saja saya dengan menggosok lampu itu", kata si peri lampu. Demikian hari, bulan, tahunpun berganti, Aladin hidup bahagia dengan ibunya. Aladin sekarang sudah menjadi seorang pemuda. Suatu hari lewat seorang Putri Raja di depan rumahnya. Ia sangat terpesona dan merasa jatuh cinta kepada Putri Cantik itu. Aladin lalu menceritakan keinginannya kepada ibunya untuk memperistri putri raja. "Tenang Aladin, Ibu akan mengusahakannya". Ibu pergi ke istana raja dengan membawa permata-permata kepunyaan Aladin. "Baginda, ini adalah hadiah untuk Baginda dari anak laki-lakiku." Raja amat senang. "Wah..., anakmu pasti seorang pangeran yang tampan, besok aku akan datang ke Istana kalian dengan membawa serta putriku". Setelah tiba di rumah Ibu segera menggosok lampu dan meminta peri lampu untuk membawakan sebuah istana. Aladin dan ibunya menunggu di atas bukit. Tak lama kemudian peri lampu datang dengan Istana megah di punggungnya. "Tuan, ini Istananya". Esok hari sang Raja dan putrinya datang berkunjung ke Istana Aladin yang sangat megah. "Maukah engkau menjadikan anakku sebagai istrimu ?", Tanya sang Raja. Aladin sangat gembira mendengarnya. Lalu mereka berdua melaksanakan pesta pernikahan. Nun jauh disana, si penyihir ternyata melihat semua kejadian itu melalui bola kristalnya. Ia lalu pergi ke tempat Aladin dan pura-pura menjadi seorang penjual lampu di depan Istana Aladin. Ia berteriak-teriak, "tukarkan lampu lama anda dengan lampu baru !". Sang permaisuri yang melihat lampu ajaib Aladin yang usang segera keluar dan menukarkannya dengan lampu baru. Segera si penyihir menggosok lampu itu dan memerintahkan peri lampu memboyong istana beserta isinya dan istri Aladin ke rumahnya. Ketika Aladin pulang dari berkeliling, ia sangat terkejut. Lalu memanggil peri cincin dan bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. "Kalau begitu tolong kembalikan lagi semuanya kepadaku", seru Aladin. "Maaf Tuan, tenaga saya tidaklah sebesar peri lampu," ujar peri cincin. "Baik kalau begitu aku yang akan mengambilnya. Tolong Antarkan kau kesana", seru Aladin. Sesampainya di Istana, Aladin menyelinap masuk mencari kamar tempat sang Putri dikurung. "Penyihir itu sedang tidur karena kebanyakan minum bir", ujar sang Putri. "Baik, jangan kuatir aku akan mengambil kembali lampu ajaib itu, kita nanti akan menang", jawab Aladin. Aladin mengendap mendekati penyihir yang sedang tidur. Ternyata lampu ajaib menyembul dari kantungnya. Aladin kemudian mengambilnya dan segera menggosoknya. "Singkirkan penjahat ini", seru Aladin kepada peri lampu. Penyihir terbangun, lalu menyerang Aladin. Tetapi peri lampu langsung membanting penyihir itu hingga tewas. "Terima kasih peri lampu, bawalah kami dan Istana ini kembali ke Persia". Sesampainya di Persia Aladin hidup bahagia. Ia mempergunakan sihir dari peri lampu untuk membantu orang-orang miskin dan kesusahan. KISAH SIKODOK KECIL DAN ULAR KECIL Pada zaman dahulu kala, ada seekor katak kecil melompat-lompat di dekat semak-semak di tepi hutan, ketika dia melihat ada seekor makhluk panjang menjalar di dekatnya. Bentuknya panjang, kulitnya licin dan berwarna belang-belang. "Hai, apa kabar," katak kecil menyapa, "Apa yang sedang kamu kerjakan di situ." "Oh.. aku hanya menghangatkan tubuhku di bawah sinar matahari," jawab makhluk itu. "Nama saya Ular Kecil, kamu siapa," tanya makhluk yang ternyata adalah ular kecil. "Nama saya Kodok Kecil, Maukah kamu bermain dengan saya?" Akhirnya Kodok Kecil dan Ular Kecil bermain bersama di dekat semak-semak itu. "Lihat apa yang bisa ku lakukan," kata Kodok Kecil, "Aku bisa mngejarimu kalau kamu mau." Kemudian dia mengajarkan kepada Ular Kecil bagaimana cara melompat. "Aku juga bisa mengajarimu menjalar pakai perut," kata Ular Kecil. Mereka saling mengajari bagaimana mereka berjalan, sampai akhirnya perut mereka lapar dan mereka memutuskan untuk pulang. "Besok ketemu lagi ya?" kata Kodok Kecil. "Iya, aku tunggu di sini," jawab Ular Kecil. Sesampainya di rumah, Kodok Kecil mencoba mempraktekkan apa yang diajarkan oleh kawan barunya, Ular Kecil. Induk Kodok terkejut dan bertanya, "Hai, siapa yang mengajarkan cara berjalan seperti itu?" "Ular Kecil yang mengajarimu, kita tadi bermain bersama di dekat semak-semak sana itu," jawab Kodok Kecil. "Apa? Tidakkah kau tahu anakku, bahwa keluarga ular itu jahat. Mereka mempunyai racun di taringnya. jangan sampai Ibu melihat kamu bermain dengan mereka lagi, dan juga jangan pernah berjalan seperti itu lagi. Itu nggak baik," Ibu Kodok agak marah. Sementara itu di rumah Ular, Ular Kecil juga mencoba cara berjalan seperti yang diajarkan oleh Kodok Kecil. Ibu Ular terkejut dan bertanya, "Siapa yang mengajari kamu cara berjalan seperti itu?" "Kodok Kecil Bu, tadi kita main bersama di dekat semak-semak di sebelah sana itu." "Apa? Tidakkah kamu tahu bahwa keluarga Ular itu sudah sejak lama bermusuhan dengan keluarga Kodok? Lain kali kalau kamu ketemu dengan mereka, tangkap dan makan saja. Dan jangan melompat-lompat seperti itu lagi. Ibu tak mau melihatnya." Keesokan harinya, Kodok Kecil datang lagi ke tempat dimana dia bermain bersama Ular Kecil kemarin, namun dia hanya diam dari kejauhan. Ular Kecil juga demikian, dia ingat pesan Ibunya, "Begitu dekat dia, tangkap dan makan." Tapi sebenarnya dia pingin bermain seperti kemarin lagi. "Kodok Kecil, kayaknya aku nggak bisa bermain seperti kemarin lagi," dia berteriak kepada Kodok Kecil. "Aku juga nggak bisa kayaknya," sahut Kodok Kecil dari kejauhan. Akhirnya mereka berbalik dan menghilang di balik semak. Sejak itu mereka nggak pernah main bersama lagi. Tapi dalam ingatan mereka, bermain bersama waktu itu sangatlah menyenangkan. Nah,....sampai di sini dulu ceritanya. Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah tersebut? THE FLYING LESSON "Grandma?", Amanda Gray wandered into the kitchen with a thoughtful look on her face. "What is it, Dear?" "Do you know how to fly?" Amanda's grandmother, who was a rather young looking grandmother, as grandmothers go, raised her eyebrows ever so slightly, and continued spooning chocolate chip cookie dough onto the cookie sheet. "I've been wondering when you'd ask, Dear", she said with a smile. "Would you like me to teach you how?". "Would you!!?!", Amanda squealed with delight. "Well, of course Dear", smiled her grandmother. "When your Mommy was a little girl I taught her how to fly too, but I expect she's forgotten how by now". "You taught Mommy how to fly?", Amanda marveled. "Why yes, Dear". The last bit of dough dropped from Grandma's wooden spoon. "I learned how to fly myself when I was just about your age". "Neat!", said Amanda, her eyes sparkling. She reached up to brush a smudge of flour from Grandma's cheek. "When?", Amanda demanded. "When what, Dear?", Grandma bent down to open the oven door and slide the cookie sheet onto the rack. "Oh, Graaannnndma!", Amanda huffed impatiently. "When will you teach me how to fly?". "Oh....that". Grandma set the oven timer and glanced at her watch. Amanda rolled her eyes. "Well, let's see", her grandma mused. "We've still got a bit of daylight left, and the cookies will be in the oven for oh...about twelve minutes or so...hmmmm. Oh well, how about a quick lesson right now?" Bewildered, Amanda asked, "Now?" "No time like the present", announced Grandma, untying her apron. "But first...where's Mr. Sam Cat?". "Uhhh...he's curled up in the rocking chair on the front porch, taking a nap", replied Amanda, a tinge of confusion coloring her tone. "Well run get him, Dear, tell him we're going flying. He'll never forgive us if we leave him home". Amanda giggled and did as she was told. A moment later Amanda reappeared with a sleepy Sam Cat draped casually over her shoulder. Sam Cat had one eye open. "Somebody had best have a good reason for waking me up", Sam grumbled as he was unceremoniously plunked down on a kitchen chair. He promptly slid off the chair, yawned and stretched out on the rug. "Wake up you lazy kitten", warned Grandma. "Or, we'll leave you home while we go flying". Sam's eyes popped open. Amanda's Grandma opened the door leading to the flower-filled yard. Sam Cat trotted obediently out the door after Amanda and her grandma. Grandma paused for a moment by a lush green bush covered with saucer-sized pink roses. Her yard was almost always ablaze with wonderfully fragrant flowers. "Amanda Dear", said Grandma, "I forgot to ask you where you wanted to go". "Oh!", said Amanda. "Ummm, I don't know exactly". Sam Cat peered intently at a small green lizard who was cautiously making his way under a hedge laden with delicately scented lavender blossoms. "Sam!", scolded Grandma. "Don't you go wandering off now!". She turned to Amanda. "Amanda, take hold of Sam Cat's tail so he doesn't bother that poor lizard". The tiniest spark of static electricity jolted Amanda as she grabbed hold of Sam's tail. He turned and gave her a withering look. "Spoilsport", he muttered to himself. "Think, Dear", said Grandma. "Where would you like to go?". "Close your eyes, you'll think more clearly", she suggested. Amanda closed her eyes and thought for a moment. "I'd like to fly over to the other side of the lake to see where Mrs. Duck spends her days when she's not paddling around in her duck pond", said Amanda decidedly. "....Oh, and then I'd like to see what your house looks like from the air....and then I'd like to fly over the strawberry patch, and then......" "Well, we don't want the cookies to burn, and we do want to get back before it gets too dark", Grandma interrupted, "so you may as well open your eyes and we'll decide where we want to go first". Amanda, still tightly clutching Sam Cat's tail, opened her eyes and promptly yelped with delight. "We're floating!, we're floating, Grandma!", Amanda shrieked. "Mind you hold tight to Sam Cat's tail until you get the hang of flying, Dear", Grandma said calmly. And off they flew, the three of them, to go find Mrs. Duck on the other side of the big blue lake. About ten minutes later, Amanda and her grandma and Sam Cat landed gently in the back yard, next to the big stone bird bath. "That was sooooo cool!", breathed Amanda. The air was thick with the scent of chocolate chip cookies and Grandma hurried inside to pull them from the oven. Sam Cat glanced hopefully under the hedge, on the off chance that the lizard had waited around to play tag. A short while later, Amanda sat at the kitchen table, happily working her way through a still-warm cookie and a cold glass of milk. Across from her sat Sam Cat with a napkin tied under his chin. He had a saucer of milk and his own cookie. Amanda's grandma stood at the sink, washing the cookie bowl. "Amazing", thought Amanda to herself. "Totally amazing". "Grandma?", she said. "Yes, Dear?." "You know a little while ago, when I asked you if you knew how to fly?" Amanda began hesitantly. "Yes, Dear." Amanda giggled. "I meant, did you know how to fly an airplane". Amanda's grandma looked the tiniest bit startled. And Sam Cat began to laugh. KISAH SEEOKR BURUNG PIPIT ManajemenQolbu.Com : Ketika musim kemarau baru saja mulai, seekor Burung Pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat.Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara yang konon kabarnya, udaranya selalu dingin dan sejuk. Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi. Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si Burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat. Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor Kerbau yang kebetulan lewat datang menghampirinya. Namun si Burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor Kerbau, dia menghardik si Kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya. Si Kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat diatas burung tersebut. Si Burung Pipit semakin marah dan memaki maki si Kerbau. Lagi-lagi Si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung.Seketika itu si Burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati tak bisa bernapas.Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si Burung Pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya-nya. Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu bulunya bersih, Si Burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si Burung, dan tamatlah riwayat si Burung Pipit ditelan oleh si Kucing. # Dari kisah ini, banyak pesan moral yang dapat dipakai sebagai pelajaran: 1. Halaman tetangga yang nampak lebih hijau, belum tentu cocok buat kita. 2. Baik dan buruknya penampilan, jangan dipakai sebagai satu satunya ukuran. 3. Apa yang pada mulanya terasa pahit dan tidak enak, kadang kadang bisa berbalik membawa hikmah yang menyenangkan, dan demikian pula sebaliknya. 4. Ketika kita baru saja mendapatkan kenikmatan, jangan lupa dan jangan terburu nafsu, agar tidak kebablasan. 5. Waspadalah terhadap Orang yang memberikan janji yang berlebihan LORO JONGGRANG Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso. Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. "Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!", ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. "Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku," pikir Bandung Bondowoso. Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. "Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?", Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. "Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya", ujar Loro Jongrang dalam hati. "Apa yang harus aku lakukan ?". Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso. "Bagaimana, Loro Jonggrang ?" desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. "Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya," Katanya. "Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?". "Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. "Seribu buah?" teriak Bondowoso. "Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam." Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. "Saya percaya tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!", kata penasehat. "Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!" Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. "Pasukan jin, Bantulah aku!" teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. "Apa yang harus kami lakukan Tuan ?", tanya pemimpin jin. "Bantu aku membangun seribu candi," pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah. Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. "Wah, bagaimana ini?", ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. "Cepat bakar semua jerami itu!" perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung... dung...dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing. Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. "Wah, matahari akan terbit!" seru jin. "Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari," sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin. Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. "Candi yang kau minta sudah berdiri!". Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. "Jumlahnya kurang satu!" seru Loro Jonggrang. "Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan". Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. "Tidak mungkin...", kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. "Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!" katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah dan disebut Candi Loro Jonggrang. (Semua cerita di posting dari berbagai sumber)

0 komentar:

Posting Komentar